Press Release Koalisi 18+

0
2603

Press Release
Koalisi 18+
Jakarta, 13 Desember 2018

Mahkamah Konstitusi Sepakat UU Perkawinan Bertentangan dengan Hak Asasi Manusia: Sesuai Perintah MK, Pemerintah Harus Segera Ubah UU Perkawinan!

Gugatan

Undang-undang No.1 tahun 1974 menyatakan bahwa perempuan boleh menikah pada usia 16 tahun. Pada tahun 2017, Pemohon yang terdiri dari Endang Wasrinah, Maryanti dan Rasminah yang merupakan penyintas dari perkawinan anak. Melalui gugatan No.22/PUU-XV/2017 yang berbeda dengan 30-74/PUU-XII/2014 dengan perkara pengujian UU Perkawinan, pemohon melalui Kuasa Hukumnya telah memaparkan alasannya yang menyatakan bahwa:
Ketentuan Pasal 7 ayat (1) sepanjang frasa 16 tahun Undang-Undang Perkawinan telah melanggar prinsip segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum sehingga bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;
Ketentuan a quo menimbulkan pembedaan kedudukan hukum dan diskriminasi terhadap anak perempuan di dalam hak kesehatan dan pendidikan;
Menimbulkan pembedaan kedudukan hukum dan diskriminasi terhadap anak perempuan dalam risiko eksploitasi anak.

Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan untuk mengubah Undang-undang sesuai dengan batu uji produk hukum yang lebih tinggi yaitu Undang-undang Dasar 1945. Pemohon melalui kuasa hukumnya menekankan bahwa UU No.1 pasal 7 bertentangan dengan UUD No.27 Pasal 1 “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Dengan alasan ini, pada pasal 1 UU No.1/1974 tidak menempatkan posisi perempuan sama dengan laki-laki dengan membedakan usia kawin perempuan lebih rendah. Hal ini membuat pemohon dinikahkan pada usia anak dan akhirnya membatasi hak terhadap akses kesehatan dan pendidikan pada anak.

Terdapat inkonsistensi mengenai peraturan umur “dewasa” atau “cukup umur” pada Undang-Undang Perkawinan. Di satu sisi, Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Perkawinan menetapkan umur 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki merupakan usia yang masak untuk melangsungkan perkawinan, sedangkan Pasal 47 ayat (1), Undang-Undang Perkawinan menetapkan umur 18 tahun sebagai batasan umur seorang anak berada di bawah pengawasan orangtuanya. Berbeda lagi pada UU Perlindungan Anak No.35/2014 Pasal 1 angka (26), menetapkan usia anak-anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun. Kedua undang-undang ini saling bertolak belakang dalam menerjemahkan konsep anak yang seharusnya negara konsisten dengan setidaknya menerapkan UU yang terbaru yaitu UU 35/2014.

Selain itu pada pasal 26 ayat 1(a) UU Perlindugan Anak No.35/2014 menyatakan bahwa kewajiban orang tua adalah mencegah terjadinya perkawinan pada usia Anak. Kewajiban ini mustahil dilaksanakan apabila Undang-Undang Perkawinan masih membuka peluang praktik perkawinan anak di bawah usia 16 tahun yang masih merupakan subjek dari Undang-Undang Perlindungan Anak.

Putusan MK

Mahkamah Konstitusi pada Kamis, 13 Desember 2018 akhirnya membacakan putusan terhadap gugatan No.22/PUU-XV/2017 yang memohonkan pengujian Pasal 7(1) UU Perkawinan Anak mengenai batas usia anak. Mahkamah Konstitusi sepakat bahwa usia perkawinan anak perempuan yang dibedakan dengan anak laki-laki bertentangan dengan HAM dan memerintahkan pembentuk UU untuk segera melakukan perubahan terhadap UU Perkawinan dalam jangka waktu 3 tahun. Apabila dalam jangka waktu 3 tahun pembentuk UU tidak segera melakukan perubahan terhadap UU Perkawinan, maka frasa “16 tahun” dalam Pasal 7 ayat (1) UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan harus dibaca 18 tahun, menyesuaikan ketentuan usia anak di dalam UU Perlindungan Anak.

Adapun rumusan Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan adalah sebagai berikut:

Pasal 7 (1)
Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.

Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangannya menyatakan bahwa perbedaan usia perkawinan untuk perempuan dan laki-laki ini, bertentangan dengan ketentuan dalam UUD 1945, khususnya karena ketentuan ini kemudian menghambat pemenuhan dari hak-hak konstitusional yang ada dalam Pasal 28D (1) mengenai persamaan di muka hukum dan juga hak untuk memperoleh pendidikan dasar.
MK juga menegaskan ketentuan ini tidak sejalan dengan program pemerintah yakni pendidikan dasar 12 tahun dan kebijakan ini jelas merupakan kebijakan diskriminatif dan kebijakan yang tidak sinkron dengan kebijakan-kebijakan lain seperti UU Perkawinan Anak.
Tidak hanya itu, MK menilai kebijakan ini juga bertentangan dengan SDGs serta CEDAW yang keduanya sudah diadopsi oleh Pemerintah Indonesia dan Pemerintah telah berkomitmen untuk melaksanakannya.
Mahkamah Konstitusi dalam perkara ini menyatakan dirinya tidak akan melakukan perubahan terhadap batas usia perkawinan sebagaimana dimohonkan oleh Pemohon, dengan alasan bahwa jika Mahkamah Konstitusi kemudian menetapkan batas usia Pemohon, maka dirinya justru akan menutup ruang pembentuk UU untuk pertimbangkan ketentuan yang lebih fleksibel sesuai perkembangan hukum dan masyarakat.
MK menyatakan apabila Pemerintah tidak melakukan perubahan, maka frasa “16 tahun” tidak memiliki ketentuan mengikat dan memerinthkan pemerinah untuk menyesuaikan usia perkawinan disesuaikan dengan UU Perlindungan Anak menjadi 18 tahun dalam waktu 3 tahun.
Mahkamah Konstitusi tidak sama sekali memberikan penjelasan mengenai pertimbangan pemberian batas waktu 3 tahun lamanya kepada pembuat undang-undang.

Koalisi 18+ menghargai putusan MK yang setidaknya mengatakan bahwa usia kawin perempuan bertentangan dengan UUD 45. MK juga dengan tegas menyatakan bahwa Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan bertentangan dengan Hak Asasi Manusia. Kami menyayangkan beberapa hal mengenai putusan MK ini:

Alasan MK menetapkan 3 tahun tidak berdasar. Tanpa ada penjelasan, MK menyatakan masa tunggu 3 tahun. Seharusnya MK mampu melihat kedaruratan praktik perkawinan anak di Indonesia. Data dari Unicef, per 2017, Indonesia menduduki peringkat 7 angka perkawinan anak terbanyak di dunia dan posisi ke-2 di Negara ASEAN berdasarkan data council of foreign Relation. Menurut Badan Pusat Statistik pada 2016, 17% anak Indonesia sudah menikah. Harusnya MK tidak perlu menyatakan masa tunggu 3 tahun;
Lewat putusan ini menjadi jelas bahwa Perkawinan Anak khususnya anak perempuan bertentangan dengan Hak Asasi Manusia. Pemerintah harus segera melakukan perubahan dalam UU Perkawinan Anak dengan mengatur batas usia perkawinan anak sesuai dengan UU Perlindungan Anak;
MK memutuskan jika tidak ada perubahan dalam kurun waktu 3 tahun akan mengikuti usia anak pada UU No.35/2014. Hal ini tidak sesuai dengan yang dimohonkan oleh pemohon untuk menyamakan batas usia perkawinan sama antara laki-laki dan perempuan, jika MK merujuk pada Pasal 28D ayat (1) UUD tentang perlakuan yang sama dihadapan hukum, maka seharusnya MK menyatakan pentingnya menyetarakan batas usia laki-laki dan perempuan;tidak sesuai dengan yang dimohonkan oleh pemohon untuk menyamakan batas usia perkawinan sama antara laki-laki dan perempuan, jika MK merujuk pada Pasal 28D ayat (1) UUD tentang perlakuan yang sama dihadapan hukum, maka seharusnya MK menyatakan pentingnya menyetarakan batas usia laki-laki dan perempuan;
Pemerintah sudah mewacanakan untuk mengesahakan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) untuk mencegah perkawinan anak sejak tahun 2016. Namun hingga kini tidak ada tindak lanjut dari upaya ini. Semangat menghentikan perkawinan anak dari pemerintah seolah hilang timbul hanya karena euporia munculnya kasus-kasus perkawinan anak yang mengkhawatirkan. Lewat putusan ini, Pemerintah harus mampu melihat bahwa perubahan UU Perkawinan ataupun upaya pengesahan perpu mutlak diperlukan;
Perlu diketahui pada perkara ini, prroses menunggu putusan ini selama 1 tahun 8 bulan, seharusnya dengan jangka waktu pemeriksaan di internal MK selama itu, hakim MK mampu melihat permohonan ini secara lebih berdasar dan mengakomodir kepentingan Hak Asasi Anak, khususnya anak perempuan.

 

Jakarta, 13 Desember 2018
Hormat Kami,
Koalisi 18+

 

Untuk Informasi lebih lanjut hubungi :
Kuasa Hukum/Koalisi 18+
Anggara (ICJR) – 081290005456
Lia Anggiasih (Koalisi Perempuan Indonesia) – 081289823702

NO COMMENTS