Fenomena kurangnya keterwakilan perempuan dalam lembaga politik telah berlangsung lama. Sejak Pemilu-pemilu Orde Baru jumlah perempuan yang menjadi anggota DPR rata-rata hanya berkisar 7 – 12 % atau sekitar 20-30 orang dari 500 anggota DPR.
Suatu jumlah yang tidak memadai jika dilihat dari perspektif perlunya mengedepankan pengalaman bersama – laki-laki- dan perempuan -dalam proses pengambilan kebijakan politik. Maka adanya aturan keterwakilan perempuan dalam pencalonan anggota DPR dalam pencalonan ini layak disikapi dengan positif .
Namun sikap positif saja ternyata tidak cukup. Pasal 65 ayat 1 UU No.12/2003 yang menyebutkan partai politk dapat mempertimbangkan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% dalam pencalonan legislatif. Pasal ini tidak secara imperatif meminta partai politik untuk mencalonkan sekuarng-kurangnya 30%. Kata dapat mengandung arti himbauan bukan bahasa hukum yang bersifat memaksa. Hal inilah yang perlu disikapi secara cermat oleh siapapun yang memiliki perhatian dalam mencipatakan proses demokrasi yang berkeadilan jender.
Mengapa Penting bagi perempuan untuk ikut menjadi pembuat keputusan politik ?
Perempuan memiliki kebutuhan-kebutuhan khusus yang hanya dapat dipahami paling baik oleh perempuan sendiri. Kebutuhan-kebutuhan ini meliputi :
a. isu-isu kesehatan reproduksi seperti cara KB yang aman
b. isu-isu kesejahteraan keluarga seperti harga sembilan bahan pokok yang terjangkau masalah kesehatan dan pendidikan anak.
c. isu-isu kepedulian terhadap anak kelompok usia lanjut dan tuna daksa.
d. isu-isu kekerasan dan pelecehan seksual.
Keikutsertaan perempuan sebagai pembuat keputusan politik dapat mencegah diskriminasi terhadap perempuan yang selama ini terjadi dalam masyarakat seperti ;
a. diskiriminasi ditempat kerja yang mengangap pekerja laki-laki lebih tinggi nilainya daripada perempuan . Misalnya penetapan upah yang berbeda antara laki-laki dan perempuan untuk beban kerja yang sama.
b. diskriminasi dihadapan hukum yang merugikan posisi perempuan . Misalnya kasus perceraian.
Lebih dari setengah total jumlah penduduk Indonesia adalah Perempuan. Mengabaikan perempuan Indonesia dalam pembuatan keputusan politik sama artinya dengan meminggirkan mayoritas penduduk Indonesia dari proses politik.
Selama puluhan tahun lembaga-lembaga politik di Indonesia beranggotakan sebagian besar laki-laki dan menghasilkan keputusan-keputusan yang sangat dibentuk oleh kepentingan serta cara pandang yang mengabaikan suara perempuan. Dalam jumlah yang sedikit suara perempuan tidak akan memiliki kesempatan untuk membawa perubahan yang berarti dalam proses pengambil keputusan politik.
Memahami Pentingnya keterwakilan perempuan dalam lembaga plitik dan mendukung jumlah perempuan yang duduk dalam lembaga-lembaga politik hingga mencapai jumlah yang signifikan agar dapat mempengaruhi proses pembuatan keputusa-keputsan politik.
Keterlibatan aktif perempuan dalam kancah politik bukanlah suatu hal yang berlebihan dan bisa mengancam para politisi laki-laki ( baca:kekuasaan). tetapi merupakan suatu kewajaran dalam kerangka hak azazi manusia . Karena keterlibatan perempuan dalam politik adalah hak politik warga negara. Bukan semata-mata dilihat dari soal jumlah perempuan yang lebih banyak dari laki-laki (52%). Tetapi merupakan HAK yang patut diberikan.