Jakarta, 15 Juli 2019. Pasca putusan MK tentang Pengujian Pasal 7 Ayat 1 Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan), masyarakat sipil kembali mendesak Pemerintah dan DPR RI untuk melakukan Revisi Terbatas. Hal tersebut dilakukan karena Perubahan UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tidak masuk ke dalam daftar Prolegnas pada periode 2014-2019. Mahkamah Konstitusi telah mengamanatkan para pembuat kebijakan untuk segera merevisi terkait Pasal 7 Ayat 1 UU No. 1/1974 tentang Perkawinan, serta memberikan waktu 3 tahun setelah dibacakannya putusan atas perkara nomor 22/PUU-XV/2017.
Hingga saat ini batas usia yang ideal untuk melakukan pernikahan pada anak masih menjadi polemik di masyarakat. Jika mengacu pada Pasal 7 Ayat 1 UU No. 1/1974 maka terdapat perbedaan terkait dengan batasan usia pada kedua calon mempelai, dimana usia calon mempelai perempuan 16 (enam belas) tahun dan calon mempelai laki-laki 19 (Sembilan belas) tahun. Hal ini dirasa sangat diskriminatif bagi anak perempuan, karena anak perempuan akan banyak kehilangan hak-haknya serta kesempatan untuk mendapatkan hidup yang lebih baik.
Sejak 2014, Koalisi Perempuan Indonesia telah berupaya untuk menyuarakan isu pencegahan dan penghentian anak, hal ini dilakukan mengingat banyaknya dampak negatif yang dihasilkan dari perkawinan anak. Koalisi Perempuan Indonesia kembali melakukan upaya untuk mempercepat pembahasan Perubahan Pasal 7 Ayat 1 UU No. 1/1974 tentang Perkawinan dengan mengadakan Seminar Nasional pada 15 Juli 2019. Kegiatan tersebut dihadir oleh berbagai tokoh penting baik dari Pemerintah Maupun DPR RI. Ibu Lenny N Rosaline selaku Deputi Tumbuh Kembang Anak dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dalam pidato kuncinya menyampaikan bahwa “Anak adalah yang belum lulus (sekolah), jumlah anak hampir 80 juta jiwa di Indonesia, jutaan anak perlu diselamatkan”. Beliau juga menyampaikan bahwa Perkawinan anak adalah salah satu bentuk pelanggaran hak, karena menimbulkan dampak pada pendidikan, kesehatan, ekonomi dan lainnya. Pada saat yang sama beliau juga memaparkan bahwa KPPPA sangat serius dalam melakukan advokasi guna mencegah dan menghentikan pernikahan anak, hal ini dengan dilakukannya kerjasama antara KPPPA dan 63 Lembaga Masyarat dan bersinergi dengan Kementerian lainnya.
Rahayu Saraswati Dhirakanya Djojohadikusumo selaku Anggota DPR RI dari Komisi VIII menyampaikan bahwa “Pentingnya prespektif gender dan perlindungan anak bagi Anggota Legislatif dalam membuat suatu kebijakan”. Beliau memaparkan bahwa Ia menjadi salah satu dari 3 (tiga) perempuan anggota legislatif di Komisi VIII sangat berkomitmen untuk memperjuangkan hak perempuan dan perlindungan anak. Terkait dengan batas usia perkawinan bagi anak perempuan, beliau juga menyampaikan bahwa “Kita akan fokus pada pasal dan ayat tersebut”, kemudian beliau juga menambahkan bahwa pada intinya mereka selaku mayoritas pejuang RUU, akan menyepakati batas usia minimal harus 18 tahun apabila harus disamakan antara calon mempelai perempuan dan calon mempelai laki-laki. Hal ini agar tidak tumpang tidih dengan UU Perlindungan Anak, jika di dalamnya mengatur usia 18 (delapan belas) tahun untuk dapat melakukan pernikahan, karena usia itu masih anak. Rahayu Saraswati kembali mengingatkan bahwa DPR RI bisa saja membuat kebijakan, namun perlu dipikirkan kembali tentang pencegahan terjadinya perkawinan anak, data pendukung serta anggaran yang disediakan, sehingga DPR RI tidak dipersalahkan dikemudian hari.
Eva Kusuma Sundari selaku Anggota Badan Legislatif DPR RI menjelaskan bahwa pada Rapat baleg hanya fokus membahas agenda prolegnas, tidak ada pembahasan untuk menindaklanjuti revisi UU perkawinan. “Saya angkat isu perkawinan anak untuk ingatkan semua, harusnya dapat segera ditindak lanjuti karena tidak butuh efort besar”. Terkait dengan Revisi Terbatas akan UU Perkawinan beliau menjelaskan bahwa “Ada peluang, namun sempit sekali. Tugas saya mengingatkan dan mengingatkan”. Terkait dengan Revisi Terbatas, saat ini Pemerintah sudah standby dan on call. Pada pembahasan Prolegnas sudah direspon oleh Kemenkum HAM agar segera meminta Surat Perintah Presiden (Supres) dan memastikan pihak Pemerintah sudah jalan. Koalisi Perempuan Indonesia sangat berharap agar Pemerintah dan DPR RI dapat segera melakukan Revisi Terbatas akan Pasal 7 Ayat 1 UU Perkawinan, sehingga upaya masyarakat untuk mengurangi dan mencegah terjadinya Perkawinan anak dapat menjadi perhatian bersama.
Laporan Ria Yulianti
Staf POKJA Reformasi Kebijakan Publik – SETNAS Koalisi Perempuan