Hentikan Ekstremisme/Radikalisme Agama karena
Mengancam Reformasi dan Penegakan Hak-Hak Perempuan
Kami, masyarakat sipil yang bergabung dalam “Gerakan Perempuan Mewujudkan Indonesia BERAGAM”, sebuah gerakan perempuan mewujudkan peradaban Indonesia yang bersih dari korupsi, bebas dari kemiskinan, bebas dari segala bentuk kekerasan dan rasa takut untuk mencapai keadilan dan kedaulatan bagi rakyat miskin, perempuan dan kelompok marginal. Reformasi 1998, telah menunjukkan capaian penting dalam hal perlindungan hukum bagi perempuan, penguatan institusi perempuan dan peran pejuang HAM perempuan dalam mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender di Indonesia. Disisi lain, penegakan hukum yang lemah, telah menjadi lahan subur bagi tumbuhnya intoleransi dan radikalisme dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam kehidupan berpolitik.
Penelitian Wahid Foundation tahun 2016 tentang intoleransi menunjukkan 59,9% dari 11520 responden memiliki kelompok yang dibenci, diantaranya adalah LGBT, Yahudi, Kristen, Shiah, Wahabi, Buddha dan China. 92,2% tidak setuju kelompok yang dibenci masuk dalam pemerintahan dan 82,4% tidak ingin hidup berdampingan dengan mereka. PPIM juga mengkonfirmasi bahwa 84,7% dari 1200 responden menyatakan setuju negara NKRI tapi 62,7% keberatan dipimpin Presiden non muslim. 51,6% tidak setuju pendirian Gereja di daerahnya. Tampaknya penyebaran radikalisme cukup masif, salah satunya dilakukan di masjid. Sebuah studi dilakukan oleh Center for Study on Religion and Culture (CSRC) menunjukkan 250 masjid di Jakarta dan Solo yand disurvey mengindikasikan penyebaran bibit-bibit radikalisme sejak tahun 1998.
Data diatas terkonfirmasi dengan baik, dalam kurun waktu 2009-2016, KOMNAS Perempuan mengkompilasi sejumlah 421 perda-perda diskriminatif terhadap perempuan dan minoritas agama. Ini artinya paham intoleran telah masuk ke tubuh parlemen. Ratusan pengikut Ahmadiyah dan Shiah yang diusir oleh kelompok intoleran, kini masih menunggu kejelasan nasib mereka untuk kembali ke kampung halaman. Perempuan dan anak-anak yang paling merasakan ekslusi sosial, ketergantungan ekonomi pada jatah hidup, akses pendidikan yang susah, dan ketidakjelasan masa depan. Ada puluhan orang telah menjadi korban penafsiran tunggal dan sempit terhadap UU No. 1 tahun 1965 tentang penodaan agama. Setara Institute melaporkan sejak tahun 1965-2017, ada 97 kasus penodaan agama dan 88 kasus terjadi di era reformasi. Warga GKI Yasmin masih belum bisa beribadah di Gerejanya meskipun PTN memenangkan mereka. Penyegelan gereja, pembakaran gereja, pembongkaran patung-patung yang dianggap tidak bernormakan agama. 2016, kita menyaksikan 10 wihara dibakar di Tanjung Balai. Terlihat bahwa semua yang melakukan tindakan intoleran dilakukan oleh mereka yang mengaku beragama. Intoleransinya bukan saja ditujukan kepada yang berbeda agama tapi juga yang “seagama” tapi berbeda aliran atau pilihan politik.
Politisasi agama dan penyebaran kebencian di masjid-masjid berpontesi besar memecah belah kesaturan antar agama dan bangsa dan kekerasan berbasis gender. Koalisi berbahaya FPI, HTI, politisi dan pengusaha pragmatis pada Pilkada Jakarta, contoh konkrit politisasi agama yang dimenangkan oleh mobokrasi. Kita semua harus menelan ludah pahit atas 2 tahun penjara vonis hukuman bagi Gubernur Basuki Tjahaya Purnama (AHok) atas tuduhan penodaan agama.
Prosekusi minoritas atas nama “penodaan agama” dan “ajaran sesat” secara nyata dimobilisasi oleh masa intoleran yang melakukan tekanan politik dan proses hukum. Dalam banyak konteks, institusi hukum dikalahkan oleh desakan masa yang tidak jarang menggunakan ancaman kekerasan. Dalam teori Piramida Genosida, intoleransi yang kuat menjadi pintu masuk menguatnya radikalisme yang berujung pada klaim kebenaran tunggal, diskriminasi dan kekerasan serta genosida minoritas. Oleh karena itu, lembaga negara (eksekutif, legislatif dan yudikatif) sudah semenstinya menegakkan UUD 1945 dan semua produk Undang-Undang dan peraturan yang memberikan rasa aman kepada seluruh rakyat Indonesia, serta untuk terus memastikan pondasi kebangsaan berupa dasar negara Pancasila, Bhineka tunggal Ika dan bentuk NKRI.
Berdasar situasi diatas, kami Gerakan Perempuan Mewujudkan Indonesia BERAGAM menuntut pada:
1. Presiden Republik Indonesia untuk segera mengambil langkah-langkah strategis mempersempit ruang gerak kelompok-kelompok radikal dengan menegakkan konstitusi dan menggunakan alat negara TNI dan Polisi untuk mengawal hasil keputusan hukum yang sejalan dengan konstitusi
2. Menteri Dalam Negeri untuk melakukan sinkronisasi semua regulasi daerah dengan instrumen hukum nasional dan membatalkan segala bentuk aturan yang disktriminatif terhadap perempuan dan kelompok minoritas
3. Kepala Polisi Republik Indonesia secara konsisten melakukan penegakan hukum pada Surat Edaran ujaran kebencian untuk menindak tegas oknum dan intitusi yang konsisten menyebarkan kebencian di media online, media sosial, masjid-masjid, dan institusi pendidikan yang berdampak pada ekslusivme beragama yang berujung pada perpecahan dan kekerasan
4. Menteri Hukum dan HAM untuk memastikan bahwa segala keputusan pembubaran ormas atau institusi penyebar kebencian dilakukan dalam koridor ranah hukum dan disosialisasikan hasilnya sampai tingkat akar rumput melalui Surat
5. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan untuk memastikan sistem dan kurikulum sekolah menerapkan nilai-nilai inklusif dan secara praktikal membersihkan bibit-bibit radikalisme yang masih ada dalam sistem dan kurikulum sekolah, bahan ajar siswa, perspektif guru-guru dan pengelolah sekolah.
6. Menteri Pemberdayaan Perempuan untuk mengadvokasi RUU Kesetaraan dan Keadilan gender sebagai payung segala bentuk aturan yang melindungi perempuan dan anak dari ancaman kekerasan berbasis gender,
7. Menteri Komunikasi dan Informasi untuk mendorong peran aktif Komisi Penyiaran dan Infomasi untuk memastikan kode etik komunikasi publik, agar semua informasi tidak mengandung konten ujaran kebencian dan sektarianisme agama atau etnik serta mengarah pada pendidikan publik
8.Menteri Aparatur Negara untuk memastikan loyalitas aparatur negara dari pusat dan daerah pada NKRI, Pancasila, UUD 1945 dan Bhineka Tunggal Ika, dengan cara melakukan penguatan pendidikan kewarganegaraan kembali dan pengukuhan nilai-nilai Pancasila pada pegawai negeri, aparat pemerintah pusat dan daerah
9. Ketua DPR RI untuk memastikan independensi lembaga legislatif dalam menjalankan mandat melahirikan produk hukum tidak diskriminatif terhadap warga negara dan menjaga posisi tidak berpihak, apalagi kepada kelompok intoleran
10. Ketua Mahkamah Agung untuk menjaga akuntabilitas dan transparansi proses peradilan dan tidak terintervensi oleh pihak manapun, termasuk gerakan mengatasnamakan agama
Jakarta, 21 Mei 2016
Tim Indonesia BERAGAM
Missiyah
Dian Kartikasari
Ruby Kholifah
Anies Hidayah