Ketersediaan energi merupakan elemen penting dalam berbagai aspek kehidupan manusia serta merupakan kebutuhan mutlak untuk menunjang pembangunan nasional yang berkelanjutan. Bagi perempuan ketersedian energi sangat berpengaruh pada kesehatan reproduksi, proses produksi rumah tangga, rasa keamanan individu, dan terkait pada tingkat kesejahteraan perempuan.
Energi listrik bagi perempuan membantu mempermudah aktifitas rumah tangga mulai dari menghidupkan pompa air untuk mempermudah ketersediaan air hingga membantu meringkankan pekerjaan rumah tangga karena listrik merupakan sumber tenaga untuk menghidupkan alat elektronik yang membantu kegiatan memasak di dapur. Lilis anggota Koalisi Perempuan Indonesia dari Balai Perempuan Kluting Jaya, Halmahera Tengah, Maluku Utara berbagi pengalamannya sebagai konsumen energi, “walau belum terang benderang pada awal tahun 2000 sudah ada aliran listrik, listrik berguna untuk memompa air dari sungai, sehingga saya tak harus menimba air dari sumur.”
Sayangnya, konflik antar agama terjadi dan berpengaruh pada kehidupan masyarakat Kluting Jaya yang merupakan transmigran asal Pulau Jawa. Saat terjadi kerusuhan, pipa air dan kawat sambungan dijadikan sebagai senjata rakitan dan wayer panah, sejak itu aliran air ke rumah-rumah terhenti. Lilis bercerita bahwa dulu dia sempat menggunakan tungku kayu bakar untuk memasak karena kayu bakar sangat mudah diperoleh oleh suaminya ketika membersihkan lahan. Namun sejak 2005 Lilis telah menggunakan penanak nasi otomatis (rice cooker) karena aliran listrik telah tersedia di Kluting Jaya.
Bagi Lilis energi listrik tak sepenuhnya dapat diandalkan untuk menunjang pekerjaan rumah tangga yang harus dilakukannya, “hingga sekarang, listrik kadang semalam menyala, kadang tidak karena aliran listrik ini bergiliran sesuai SP (Satuan Pemukiman), jika dirata-rata aliran listrik tersedia hanya 6 jam per hari. Lilis menjelaskan bahwa tagihan penggunaan listrik yang dia bayarkan perbulan berkisar antara Rp15.000 hingga Rp70.000. Aliran listrik yang tak stabil ini juga membuat peralatan dapur cepat rusak,” ungkap Lilis kecewa.
Jika listrik padam maka penerangan di rumahnya akan menggunakan mesin diesel dan dibutuhkan solar sebagai sumber energi penerangan. Lilis harus membeli minimal 3 liter solar untuk menerangi rumahnya dalam semalam.
Mari kita hitung pengeluaran Lilis jika listrik tak menjadi sumber energi di rumahnya!
Lilis harus mengeluarkan setengah dari pendapatannya untuk membeli bahan bakar minyak, bagaimana dengan biaya sandang, pangan, dan pendidikan anaknya? Ketidaktersediaan listrik bagi masyarakat berpenghasilan rendah tentu dapat dikatakan sebagai pelanggengan kemiskinan.
Dengan adanya Strategic Partnership untuk energi bersih dan inklusif, Lilis berharap partisipasi dan pengendalian energi listrik dapat meningkat, misalnya penyedia energi listrik memberikan kejelasan tentang standar minimum pelayanan sehingga konsumen tak merasa dirugikan. Tak hanya itu, Lilis juga berharap energi listrik dapat menyala siang dan malam untuk membantu menggerakan roda perekonomian di rumah tangga, “pada siang hari ibu-ibu rumah tangga bisa membuat kue dengan peralatan listrik sehingga tidak lagi menggunakan tangan.”
Ketergantungan Indonesia terhadap energi fosil terutama minyak bumi menimbulkan kekhawatiran mengingat energi tersebut bukan energi yang terbarukan. Potensi energi terbarukan seperti biomasa, panas bumi, energi surya, energi air, dan energi angin cukup besar. Hanya saja sampai saat ini pemanfaatannya masih sangat terbatas. Lilis menyatakan bahwa ada potensi energi terbarukan di sekitarnya yaitu air terjun, “menurut saya air terjun di satuan pemukiman 2B, Desa Sumbersari dapat menjadi sumber pembangkit listrik, irigasi lahan, hingga air minum bersih.”
Berbeda Pulau, Sama Nasib
Senin mungkin adalah hari menuju kegelapan bagi Ade Kasim, anggota Koalisi Perempuan Indonesia kelompok kepentingan petani asal Kelurahan Gambesi, Ternate Selatan. Nyatanya hampir setiap Senin subuh, ketika dia dan anak-anaknya bersiap untuk pergi ke sekolah aliran listrik akan padam. “Pengaruhnya kepada anak-anak saya, mereka bangun jam 5 subuh untuk belajar dan biasanya subuh itu saya menyetrika seragam mereka,” ujar Ade.
Keluarga Ade juga masih bergantung kepada energi fosil seperti minyak tanah untuk memasak. Setiap bulannya Ade membutuhkan minyak tanah sekitar 30 liter. “Subsidi minyak tanah yang harganya Rp3.800 yang diberikan pemerintah maksimal 25 liter/ keluarga, jika kurang saya harus membeli minyak tanah dengan harga Rp5000-Rp6000/liternya,” ceritanya.
Terkadang Ade lebih memilih menggunakan kayu bakar untuk memasak karena mudah dia kumpulkan serta pasokan minyak tanah yang tak tentu keberadaannya. Ketika ditanya mengenai penggunaan kompor gas, Ade berkata bahwa dia masih takut untuk menggunaan kompor gas, “sudah ada kompor gasnya namun belum ada sosialisasi kepada masyarakat sehingga masyarakat masih takut menggunakan gas untuk memasak.”
Dari pengalaman Lilis dan Ade terlihat bahwa pengetahuan perempuan terkait energi bersih dan terbarukan masih sangat minim, perempuan merupakan konsumen energi utama dalam rumah tangga, tetapi pengetahuan akan adanya efek negatif dari konsumsi energi fosil yang terus menerus belum mereka ketahui. Sudah saatnya perempuan mengetahui sumber energi bersih dan terbarukan yang dapat mereka konsumsi. Perempuan perlu dilibatkan sebagai konsumen untuk energi bersih dan terbarukan karena jika dunia hanya terus membangun tanpa melihat konsekuensi dikemudian hari maka tak akan ada kehidupan yang berkelanjutan untuk semua umat manusia.
-Gabrella Sabrina