Jumat, 17/08/2012 – 15:15:50 WIB
RIAUKITAÂ – Makna kemerdekaan jika merujuk pada Undang-Undang
Dasar 1945, selayaknya tidak berjarak jauh dari 3 prinsip yaitu;
terbebas dari segala bentuk penjajahan; dapat menikmati kehidupan yang
adil, setara, dan sejahtera; dan memiliki kesejatian sebagai bangsa yang
merdeka dan berdaulat. Tentu saja tiga tersebut harus dinikmati oleh
semua rakyat Indonesia, laki-laki dan perempuan, untuk semua generasi,
untuk semua suku, etnis dan agama yang menetap di Indonesia tanpa
pengecualian.
Namun setelah lebih dari enam dasawarsa kemerdekaan Indonesia, potret
kehidupan perempuan Indonesia belum lagi memenuhi prinsip kemerdekaan
yang sebenarnya. Beberapa hal telah dilakukan oleh negara untuk memenuhi
tujuan dari kemerdekaan, tetapi kemerdekaan yang sedang dijalani di
Republik ini terlupa pada budaya dan cara pandang masyarakat yang masih
bias gender, pola pembangunan yang dijalankan masih cenderung
diskriminatif pada perempuan dan kelompok-kelompok masyarakat tertentu.
Sehingga sebagian besar perempuan di Indonesia masih berkutat dalam
kemiskinan, kesulitan mengakses layanan publik, dan berpartisipasi penuh
dalam pembangunan.
Di bidang publik dan politik, perempuan belum sepenuhnya memahami hak
politiknya sebagai bagian dari warga negara, sehingga perempuan kurang
memiliki kepercayaan diri untuk berkiprah di bidang politik maupun
publik. Situasi ini diperkuat dengan kultur politik dan publik yang
masih sangat maskulin, sehingga perempuan yang telah berkiprah di
parlemen ataupun tingkat pengambil keputusan dan perumus kebijakan
cenderung ditempatkan secara parsial dalam proses-proses politik dan
upaya-upaya penyelenggaraan negara. Meskipun prosentase keterwakilan
perempuan meningkat dalam 2 periode, 11.8 % pada periode 2004-2009 dan
18 % pada periode 2009-2014, jumlah tersebut masih belum menjangkau
kuota minimal 30% keterwakilan perempuan di Parlemen. Ditambah lagi
sistem partai politik dan pemilu yang belum mengakomodir prinsip-prinsip
kesetaraan dan keadilan gender sehingga perempuan memiliki
pertimbangan-pertimbangan khusus untuk memutuskan terjun langsung ke
arena politik, dikarenakan tugas ganda yang melekat utuh pada perempuan.
sistem dan mekanisme PEMILU yang kurang demokratis dan mahal juga
semakin memperkuat perempuan untuk tidak mengambil bagian dalam
kerja-kerja politik.
Di bidang kesehatan dan layanan publik, sampai dengan tahun 2010
Indonesia masih memiliki Angka Kematian Ibu (AKI) melahirkan yang cukup
serius 288/100.000 kelahiran hidup per tahunnya. Angka ini berbanding
lurus dengan kenyataan bahwa perempuan masih belum mendapatkan layanan
bersalin yang terjangkau bahkan berkualitas. Di berbagai daerah akses
transportasi masih menjadi kendala, jalanan yang rusak, jembatan yang
roboh, jika ada kondisinya tidak aman dan tidak menjamin keselamatan
masyarakat yang menggunakan.
Pemerintah telah mencanangkan Jaminan Kesehatan bagi masyarakat miskin,
tetapi dalam prakteknya tetap saja sulit diperoleh karena birokrasi yang
berbelit dan pungutan-pungutan tak resmi yang memberatkan rakyat. Dalam
catatan alokasi APBN dan APBD sampai 2011 pemerintah melakukan
revitalisasi dan renovasi Pusat Kesehatan Masyarakat (PUSKESMAS) Pusat
Kesehatan Terpadu (PUSTU) sampai Rumah Umum Sakit Daerah (RSUD) namun
upaya ini tidak diimbangi dengan ketersediaan petugas kesehatan dan
pemahaman gender dan HAM petugas yang kerap melakukan diskriminasi dalam
melayani warga miskin khususnya perempuan.
Di bidang pendidikan dan kesempatan kerja, sampai dengan tahun 2012
menurut Departemen Pendidikan Nasional Buta huruf tertinggi ada di
kelompok perempuan, jumlah perempuan buta aksara sekitar 6,5 juta orang,
sisanya laki-laki atau 3,5 juta orang. Mayoritas perempuan buta aksara
berada pada usia 30-40 tahun, hal ini memprihatinkan mengingat usia
tersebut masih merupakan usia produktif, karena jika perempuan dalam
usia produktif saja masih buta huruf tentunya ke depan jumlah buta huruf
berdasarkan tingkat usia akan berkembang ke usia yang jauh lebih muda,
sebab perempuan memiliki tugas mendidik anak yang bebannya jauh lebih
besar dari pada laki-laki dalam keluarga.
Analisis lainnya menunjukkan bahwa angka buta aksara ke depan akan jauh
lebih serius dikarenakan persoalan tingginya biaya pendidikan, dan
kemiskinan yang multidimensi. Implikasi dari situasi buta huruf adalah,
perempuan tidak memiliki peluang kerja yang layak dan mencukupi
kebutuhan keluarga, sistem perekrutan kerja yang mensyaratkan pendidikan
minimal SMA atau Sarjana S1 akan menyulitkan perempuan mendapatkan
pekerjaan dengan upah standart dan mendapatkan jaminan sosial lainnya.
Akhirnya sebagian besar perempuan terjun harus memenuhi kebutuhan hidup
dengan pekerjaan yang kurang layak dan aman, seperti menjadi buruh
sektor industri atau perkebunan dengan upah minimal atau menjadi Pekerja
Rumah Tangga, Buruh Migran, yang tidak mendapatkan jaminan dan
perlindungan yang berkualitas.
Di bidang ekonomi, meskipun pasar dan dunia usaha mengakui sangat
didominasi oleh perempuan tentunya fenomena ini tidak menyertakan
keseluruhan profil perempuan yang ada di Indonesia. Faktanya perempuan
miskin dan masyarakat kelas menengah ke bawah jumlahnya jauh lebih besar
dan tinggal di daerah dan pedesaaan, kelompok ini yang dalam prakteknya
sulit untuk memperoleh akses bantuan kredit untuk mengembangkan
perekonomian. Persyaratan pengajuan kredit pada umumnya harus diajukan
oleh kepala keluarga yang dalam mainset publik saat ini adalah “suami”
atau laki-laki mempersulit perempuan untuk mengajukan dan mengelola
secara mandiri modal usahanya. Program pengentasan kemiskinan untuk
perempuan lewat proyek PNPM dalam realitasnya tidak menolong perempuan
untuk mandiri dan berdaya, tetapi memasukkan perempuan dalam
permasalahan jeratan hutang karena program pemberian pinjaman modal
tidak disertai dengan bantuan kapasitas bagi perempuan untuk membangun
dan mengelola usaha yang realistis untuk dilaksanakan juga memiliki
nilai kesinambungan.
Disamping faktor-faktor besar diatas kondisi buruk perempuan di
Indonesia diperparah dengan kebijakan yang menempatkan perempuan tidak
setara, sampai saat ini tercatat lebih dari 200 peraturan yang
dikeluarkan di tingkat daerah yang diskriminatif terhadap perempuan,
selain itu praktek-praktek tradisi lokal yang tidak ramah terhadap
perempuan, sebut saja adat merari di Pulau Lombok, kelas/kasta maramba
di sumba, dan pelbagai kebijakan lokal lain yang masih memposisikan
perempuan sebagai simbol roh jahat atau asset yang bisa
diperjual-belikan. Sampai saat ini pun pemahaman setara gender masih
menjadi hal yang kontroversi di Indonesia, sebagian besar penyelenggara
negara,tokoh agama dan masyarakat beranggapan bahwa gender merupakan
upaya me-westernisasikan Indonesia, gender sebagai konsep yang dibawa
dari barat bermuatan liberal dan tidak sesuai dengan konsep ke-timur-an
yang dihayati di Indonesia. Maka ketika ada kasus pelecehan dan
pemerkosaan, penyiksaan, hukuman badan, dan hukuman mati yang dilakukan
kepada perempuan, tidak jarang tanggapan dari pejabat dan penyelenggara
negara justru menempatkan perempuan sebagai pencetus terjadinya
kekerasan, bukan sebagai korban warga negara yang harus ditolong dan
dilindungi.
Menyingkap lebih potret perempuan Indonesia seolah mengurai benang
panjang yang bergumpal, yang pada akhirnya harus mengembalikan mata,
hati dan kesadaran logika, bahwa makna kemerdekaan yang sejati belum
diperoleh setiap perempuan di Indonesia. Untuk merayakan kemerdekaan
Republik Indonesia yang ke -67 Koalisi Perempuan Indonesia untuk
Keadilan dan Demokrasi mengajak keseluruhan perempuan untuk saling
peduli, saling menguatkan komitmen, dan berjuang lebih keras lagi untuk
merebut kemerdekaan perempuan yang sejati. Walaupun demikian perjuangan
yang akan dilakukan juga dibutuhkan komitmen tinggi dari semua pihak,
untuk itu Koalisi Perempuan Indonesia menyusun rekomendasi sebagai
berikut;
1. Pemerintah Indonesia menjalankan komitmen yang telah dimandatkan oleh
Konstitusi dan Ratifikasi Konvensi penghapusan segala bentuk
diskriminasi terhadap perempuan, dengan menerapkan prinsip keadilan dan
kesetaraan gender dalam segala proses penyelenggaraan negara, mulai dari
kebijakan, perencanaa, penyusunan anggaran, implementasi program, dan
pengawasan.
2. Pemerintah memberikan dukungan penuh kepada perbaikan kehidupan
perempuan dengan memfasilitasi dan menyelesaikan proses penyusunan
Rancangan Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender.
3. Pemerintah meninjau ulang dan mencabut berbagai kebijakan mulai dari
tingkat nasional sampai daerah yang mendiskriminasikan perempuan.
4. Pemerintah memperhatikan keseimbangan pembangunan yang telah
dijalankan, dengan memperhatikan kebijakan-kebijakan global dan pasar
seperti mekanisme utang, penentuan harga konsumsi rakyat, dan tarif
dasar lainya mulai dari kota sampai desa.
5. Pemerintah bersama dengan aparaturnya dapat menegakkan hukum secara
tegas, terutama bagi pelaku-pelaku pidana yang berdampak pada kerugian
negara, dan kemiskinan, juga memperbaiki sistem birokrasi agar lebih
berpihak kepada rakyat.
6. Konsolidasi yang kuat antara masyarakat sipil dan multi stakeholder
dalam memperjuangkan kesetaraan gender, demokrasi, perlindungan,
pemenuhan, dan pemajuan hak asasi manusia di Indonesia.
(Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia, Dian Kartikasari, SH) |