Statement Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi
Pada Hari Kemerdekaan RI, 17 Agustus 2012
67 Tahun Kemerdekaan Indonesia:
Perempuan Wajib Berperan Aktif Mewujudkan Kemerdekaan yang Setara dan Berkeadilan Gender
Makna kemerdekaan jika merujuk pada Undang-Undang Dasar 1945, selayaknya tidak berjarak jauh dari 3 prinsip yaitu; terbebas dari segala bentuk penjajahan; dapat menikmati kehidupan yang adil, setara, dan sejahtera; dan memiliki kesejatian sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat. Tentu saja tiga tersebut harus dinikmati oleh semua rakyat Indonesia, laki-laki dan perempuan, untuk semua generasi, untuk semua suku, etnis dan agama yang menetap di Indonesia tanpa pengecualian,
Namun setelah lebih dari 6 (enam) dasawarsa kemerdekaan Indonesia, potret kehidupan perempuan Indonesia belum lagi memenuhi prinsip kemerdekaan yang sebenarnya. Beberapa hal telah dilakukan oleh negara untuk memenuhi tujuan dari kemerdekaan, tetapi kemerdekaan yang sedang dijalani di Republik ini terlupa pada budaya dan cara pandang masyarakat yang masih bias gender, pola pembangunan yang dijalankan masih cenderung diskriminatif pada perempuan dan kelompok-kelompok masyarakat tertentu. Sehingga sebagian besar perempuan di Indonesia masih berkutat dalam kemiskinan, kesulitan mengakses layanan publik, dan berpartisipasi penuh dalam pembangunan.
Di bidang publik dan politik, perempuan belum sepenuhnya memahami hak politiknya sebagai bagian dari warga negara, sehingga perempuan kurang memiliki kepercayaan diri untuk berkiprah di bidang politik maupun publik. Situasi ini diperkuat dengan kultur politik dan publik yang masih sangat maskulin, sehingga perempuan yang telah berkiprah di parlemen ataupun tingkat pengambil keputusan dan perumus kebijakan cenderung ditempatkan secara parsial dalam proses-proses politik dan upaya-upaya penyelenggaraan negara. Meskipun prosentase keterwakilan perempuan meningkat dalam 2 periode, 11.8 % pada periode 2004-2009 dan 18 % pada periode 2009-2014, jumlah tersebut masih belum menjangkau kuota minimal 30% keterwakilan perempuan di Parlemen. Ditambah lagi sistem partai politik dan pemilu yang belum mengakomodir prinsip-prinsip kesetaraan dan keadilan gender sehingga perempuan memiliki pertimbangan-pertimbangan khusus untuk memutuskan terjun langsung ke arena politik, dikarenakan tugas ganda yang melekat utuh pada perempuan. sistem dan mekanisme PEMILU yang kurang demokratis dan mahal juga semakin memperkuat perempuan untuk tidak mengambil bagian dalam kerja-kerja politik.
Di bidang kesehatan dan layanan publik, sampai dengan tahun 2010 Indonesia masih memiliki Angka Kematian Ibu (AKI) melahirkan yang cukup serius 288/100.000 kelahiran hidup per tahunnya. Angka ini berbanding lurus dengan kenyataan bahwa perempuan masih belum mendapatkan layanan bersalin yang terjangkau bahkan berkualitas. Di berbagai daerah akses transportasi masih menjadi kendala, jalanan yang rusak, jembatan yang roboh, jika ada kondisinya tidak aman dan tidak menjamin keselamatan masyarakat yang menggunakan. Pemerintah telah mencanangkan Jaminan Kesehatan bagi masyarakat miskin, tetapi dalam prakteknya tetap saja sulit diperoleh karena birokrasi yang berbelit dan pungutan-pungutan tak resmi yang memberatkan rakyat. Dalam catatan alokasi APBN dan APBD sampai 2011 pemerintah melakukan revitalisasi dan renovasi Pusat Kesehatan Masyarakat (PUSKESMAS) Pusat Kesehatan Terpadu (PUSTU) sampai Rumah Umum Sakit Daerah (RSUD) namun upaya ini tidak diimbangi dengan ketersediaan petugas kesehatan dan pemahaman gender dan HAM petugas yang kerap melakukan diskriminasi dalam melayani warga miskin khususnya perempuan.
Di bidang pendidikan dan kesempatan kerja, sampai dengan tahun  2012 menurut Departemen Pendidikan Nasional Buta huruf tertinggi ada di kelompok perempuan, jumlah perempuan buta aksara sekitar 6,5 juta orang, sisanya laki-laki atau 3,5 juta orang. Mayoritas perempuan buta aksara berada pada usia 30-40 tahun, hal ini memprihatinkan mengingat usia tersebut masih merupakan usia produktif, karena jika perempuan dalam usia produktif saja masih buta huruf tentunya ke depan jumlah buta huruf berdasarkan tingkat usia akan berkembang ke usia yang jauh lebih muda, sebab perempuan memiliki tugas mendidik anak yang bebannya jauh lebih besar dari pada laki-laki dalam keluarga. Analisis lainnya menunjukkan bahwa angka buta aksara ke depan akan jauh lebih serius dikarenakan persoalan tingginya biaya pendidikan, dan kemiskinan yang multidimensi. Implikasi dari situasi buta huruf adalah, perempuan tidak memiliki peluang kerja yang layak dan mencukupi kebutuhan keluarga, sistem perekrutan kerja yang mensyaratkan pendidikan minimal SMA atau Sarjana S1 akan menyulitkan perempuan mendapatkan pekerjaan dengan upah standart dan mendapatkan jaminan sosial lainnya. Akhirnya sebagian besar perempuan terjun harus memenuhi kebutuhan hidup dengan pekerjaan yang kurang layak dan aman, seperti menjadi buruh sektor industri atau perkebunan dengan upah minimal atau menjadi Pekerja Rumah Tangga, Buruh Migran, yang tidak mendapatkan jaminan dan perlindungan yang berkualitas.
Di bidang ekonomi, meskipun pasar dan dunia usaha mengakui sangat didominasi oleh perempuan tentunya fenomena ini tidak menyertakan keseluruhan profil perempuan yang ada di Indonesia. Faktanya perempuan miskin dan masyarakat kelas menengah ke bawah jumlahnya jauh lebih besar dan tinggal di daerah dan pedesaaan, kelompok ini yang dalam prakteknya sulit untuk memperoleh akses bantuan kredit untuk mengembangkan perekonomian. Persyaratan pengajuan kredit pada umumnya harus diajukan oleh kepala keluarga yang dalam mainset publik saat ini adalah “suami†atau laki-laki mempersulit perempuan untuk mengajukan dan mengelola secara mandiri modal usahanya. Program pengentasan kemiskinan untuk perempuan lewat proyek PNPM dalam realitasnya tidak menolong perempuan untuk mandiri dan berdaya, tetapi memasukkan perempuan dalam permasalahan jeratan hutang karena program pemberian pinjaman modal tidak disertai dengan bantuan kapasitas bagi perempuan untuk membangun dan mengelola usaha yang realistis untuk dilaksanakan juga memiliki nilai kesinambungan.
Disamping faktor-faktor besar diatas kondisi buruk perempuan di Indonesia diperparah dengan  kebijakan yang menempatkan perempuan tidak setara, sampai saat ini tercatat lebih dari 200 peraturan yang dikeluarkan di tingkat daerah yang diskriminatif terhadap perempuan, selain itu praktek-praktek tradisi lokal yang tidak ramah terhadap perempuan, sebut saja adat merari di Pulau Lombok,  adat belis di NTT, dan pelbagai kebijakan lokal lain yang masih memposisikan perempuan sebagai simbol roh jahat atau asset yang bisa diperjual-belikan. Sampai saat ini pun pemahaman setara gender masih menjadi hal yang kontroversi di Indonesia, sebagian besar penyelenggara negara,tokoh agama dan masyarakat beranggapan bahwa gender merupakan upaya me-westernisasikan Indonesia, gender sebagai konsep yang dibawa dari barat bermuatan liberal dan tidak sesuai dengan konsep ke-timur-an yang dihayati di Indonesia. Maka ketika ada kasus pelecehan dan pemerkosaan, penyiksaan, hukuman badan, dan hukuman mati yang dilakukan kepada perempuan, tidak jarang tanggapan dari pejabat dan penyelenggara negara justru menempatkan perempuan sebagai pencetus terjadinya kekerasan, bukan sebagai korban warga negara yang harus ditolong dan dilindungi.
Menyingkap lebih potret perempuan Indonesia seolah mengurai benang panjang yang bergumpal, yang pada akhirnya harus mengembalikan mata, hati dan kesadaran logika, bahwa makna kemerdekaan yang sejati belum diperoleh setiap perempuan di Indonesia. Untuk merayakan kemerdekaan Republik Indonesia yang ke -67 Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi mengajak keseluruhan perempuan untuk saling peduli, saling menguatkan komitmen, dan berjuang lebih keras lagi untuk merebut kemerdekaan perempuan yang sejati. Walaupun demikian perjuangan yang akan dilakukan juga dibutuhkan komitmen tinggi dari semua pihak, untuk itu Koalisi Perempuan Indonesia menyusun rekomendasi sebagai berikut;
- Pemerintah Indonesia menjalankan komitmen yang telah dimandatkan oleh Konstitusi dan Ratifikasi Konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, dengan menerapkan prinsip keadilan dan kesetaraan gender dalam segala proses penyelenggaraan negara, mulai dari kebijakan, perencanaa, penyusunan anggaran, implementasi program, dan pengawasan.
- Pemerintah memberikan dukungan penuh kepada perbaikan kehidupan perempuan dengan memfasilitasi dan menyelesaikan proses penyusunan Rancangan Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender.
- Pemerintah meninjau ulang dan mencabut berbagai kebijakan mulai dari tingkat nasional sampai daerah yang mendiskriminasikan perempuan.
- Pemerintah memperhatikan keseimbangan pembangunan yang telah dijalankan, dengan memperhatikan kebijakan-kebijakan global dan pasar seperti mekanisme utang, penentuan harga konsumsi rakyat, dan tarif dasar lainya mulai dari kota sampai desa.
- Pemerintah bersama dengan aparaturnya dapat menegakkan hukum secara tegas, terutama bagi pelaku-pelaku pidana yang berdampak pada kerugian negara, dan kemiskinan, juga memperbaiki sistem birokrasi agar lebih berpihak kepada rakyat.
- Konsolidasi yang kuat antara masyarakat sipil dan multi stakeholder dalam memperjuangkan kesetaraan gender, demokrasi, perlindungan, pemenuhan, dan pemajuan hak asasi manusia di Indonesia.
Jakarta, 16Agustus 2012
Dian Kartikasari, SH
Sekretaris Jenderal