JAKARTA— Yayasan Pemantau Hak Anak, Koalisi Perempuan Indonesia, serta pemerhati anak lainnya mendesak agar pemerintah segera merevisi Undang-Undang Perkawinan yang menyebutkan bahwa usia minimal perkawinan adalah 16 tahun untuk perempuan dan 19 untuk laki-laki.
Jika tidak, dapat dikatakan bahwa negara telah melegalkan praktik pemerkosaan terhadap anak. Hal tersebut disampaikan Ketua Yayasan Pemantau Hak Anak, Atarini Arna, dalam diskusi Hari Anak Nasional bertajuk “Perkawinan Anak Kepentingan Siapa?” di Jakarta, Rabu (22/7/2010).
Menurutnya, usia 16 tahun yang ditetapkan sebagai usia minimal untuk melakukan perkawinan dalam Undang-Undang Perkawinan masih tergolong usia anak menurut Konvensi Hak Anak. “Dalam undang-undang, perkawinan harus kehendak bebas dan persetujuan orang yang mau kawin. Kehendak bebas dan persetujuan kan hanya bisa disebut orang dewasa,” katanya.
Untuk itulah, negara didesak agar mengubah batas minimal usia perkawinan menjadi 18 tahun untuk laki-laki dan perempuan. Jika tidak, negara dinilai gagal melindungi hak anak. “Negara lalai, abai, dan gagal melindungi hak anak karena mengeset batasan umur perkawinan 16 dan 19. Dengan begitu, negara ini melegalisir perkosaan anak. Dan itu tidak diubah sampai hari ini sehingga praktik-praktik ini makin menggila,” katanya.
Praktik perkawinan anak di Indonesia tersebut, kata Atarini, diperkuat dengan praktik kultural masyarakat yang mendorong orangtua mengawinkan anaknya. “Ada pemahaman dari masyarakat di Jatim kalau anakmu itu dilamar pertama kali tidak diberikan, seumur-umur tidak akan ada yang melamar. Celakanya, dilamar pertama kali umur 12, 13, itu tidak dikendalikan pemerintah,” tuturnya.
Dengan demikian, Atarini juga menyampaikan agar pemerintah memberikan pendidikan publik sehingga praktik kultural tersebut tidak terus subur.
sumber:Â KOMPAS