MEMPERKUAT PERLINDUNGAN SOSIAL BIDANG KESEHATAN DI INDONESIA DENGAN MENANGKAL PROPAGANDA NEGATIF

0
1275

Pernyataan Pers Koalisi Perempuan Indonesia

MEMPERKUAT PERLINDUNGAN SOSIAL BIDANG KESEHATAN DI INDONESIA DENGAN MENANGKAL PROPAGANDA NEGATIF

Pada 18 Desember 2018 di Jakarta, telah diselenggarakan Seminar dan Lokakarya Nasional, yang diikuti oleh 95 orang perempuan dan 7 laki-laki, perwakilan dari 14 provinsi yaitu : DI Aceh, Sumatra Barat, Jambi, Bengkulu, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Seminar ini  membahas tentang Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) khususnya Strategi Memperkuat dan Menangkal Propaganda Negatif Perlindungan Sosial Bidang Kesehatan Di Indonesia. Kegiatan ini diinsiasi oleh Koalisi Perempuan Indonesia sebagai bagian upaya memperjuangkan Hak Atas Kesehatan dan Hak Perlindungan Sosial bagi semua warga, Koalisi Perempuan Indonesia aktif memantau dan melakukan advokasi penyelenggaraan program Perlindungan Sosial bidang Kesehatan.

Dian Kartikasari, Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia, menilai bahwa saat ini, pelaksanaan perlindungan sosial bidang kesehatan, khususnya sistem penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional oleh BPJS maupun imunisasi terancam oleh propaganda negatif. Antara lain gerakan anti vaksin atau imunisasi yang disampaikan melalui websites, atau media sosial seperti Youtube, Facebook, maupun Whatsapp. Dampak dari kampaye negatif ini antara lain,  timbulnya Kejadian Luar Biasa kasus difteri (600 kasus). Dimana sebelumnya Indonesia telah dinyataan bebasa dari difteri. Adapula kampanye yang menyatakan bahwa BPJS haram karena menggunakan menggunakan sistem riba, pernyataan sejumlah tokoh agama di dalam Youtube dan ditonton dan dibagikan oleh ratusan ribu netizen.

Penolakan ini semakin membahayakan karena telah terlegitimasi oleh organisasi-organisasi agama, antara lain Majelis Ulama  Indonesia (MUI) yang pada intinya menyatakan jika umat Islam memiliki keragu-raguan terhadap kehalalan vaksin maka sebagiknya ditinggalkan. Bahkan MUI di beberapa daerah termasuk  Kepulauan Riau dengan tegas menyatakan menolak vaksin.

Maraknya kampanye negatif lebih banyak dilakukan oleh laki-laki, baik sebagai pemimpin agama maupun pembuat isi kampanye. Perempuan menjadi korban dari kampanye negatif ini, karena jika ada anak yang sakit karena tidak mendapatkan imunisasi maka tugas perempuanlah untuk mengurusnya sesuai peran gender yang dilekatkan pada perempuan. Di sisi lain, perempuan juga memiliki andil dalam menjadi agen untuk memperluas kampanye negatif kepada angota keluarga dan lingkungannya.

Peran gender perempuan sebagai pengurus keluarga menjadikannya sebagai aktor strategis untuk melakukan pendidikan kesehatan bagi keluarga. Untuk itu, perempuan perlu mendapatkan pendidikan kritis atas interpretasi agama Islam yang kosnservatif. Kelompok perempuan menjadi pihak yang strategis untuk berperan sebagai motivator dan fasilitator untuk perempuan, sekaligus untuk melakukan advokasi untuk mendesak pemerintah mengambil kebijakan menangkal propaganda negatif atas BPJS.

Musdah Mulia, ICRP, menyatakan bahwa pemerintah selayaknya mengambil langkah tegas untuk mengatasi propaganda negatif terhadap program-program pemerintah khususnya di bidang kesehatan. Karena propaganda yang dilakukan telah membahayakan kesehatan anak-anak dari keluarga yang menolak, maupun anak-anak lain yang dapat tertular. Lebih jauh Musda menambahkan bahwa negara perlu melakukan penyebaran pemahaman agama yang lebih sejalan dengan nilai Islam, yaitu Memberikan pedoman hidup, Menjanjikan harapan hidup, Memberdayakan masyarakat, Menguatkan kesadaran kemanusiaan, dan Membangun masa depan lebih baik.

Sebagai pegiat Reformasi Humum Pidana, Anggara (ICJR) menyatakan dalam situasi ini penggunaan hukum dapat diperluas selain Hukum Pidana. Ketentuan pidana yang dapat digunakan adalah Undang-undang Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, Pasal 14 dan 15 tentang perbuatan menyiarkan kebohongan sehingga menimbulkan keonaran di masyarakat. Sementara untuk ketentuan non-pidana yang dapat digunakan adalah pencabutan kuasa asuh/hak perwalian orang tua atas anak karena telah melakukan penelantaran (kesehatan) anak, sesuai pasal 45 B Undang-Undang Perlindungan Anak. Sanksi ini perlu ditindaklanjuti dengan melakukan penyadaran kritis bagi orang tua, dan menghindari hukuman penjara.

Pendidikan kritis para pengguna internet sudah semestinya menjadi prioritas pemerintah mengingat masyarakat Indonesia adalah pengguna internet. Widuri, ICT Watch, menyampaikan bahwa rata-rata orang Indonesia menghabiskan waktu 8 jam untuk berselancar di dunia maya. Bandingkan dengan jumlah buku yang dibaca oleh orang Indonesia, yaitu 5 –  9 buku per tahun. Dengan literasi digital yang masih rendah, masyarakat Indonesia cenderung memahami berita yang tersebar di internet tanpa membaca isinya secara baik, atau lebih jauh lagi menggali kebenaran cerita tersebut. Perilaku ini kemudian menjadi perilaku kelompok, dimana kebenaran sebuah berita disandarkan pada seberapa viral sebuah berita tersebar di internet. Semakin viral sebuah berita maka semakin benarlah berita tersebut.

Lebih lanjut Widuri menambahkan bawah perilaku ini menyumbang pada terbentuknya perilaku  anonimitas, yaitu keenganan untuk bertanggung jawab dari berita yang disebar. Selain itu, menyumbang pada perilaku egois, mendengar sepihak, semaunya sendiri, enggan dikritik, tidak bertanggung jawab, enggan mencari informasi lengkap, dan mudah marah. Perilaku seperti ini pula yang membuat masyarakat Indonesia dengan mudah menelan propaganda negatif mengenai program Jaminan Kesehatan Nasional, dan kemudian mengeluarkannya kembali dalam sikap menolak imunisasi/vaksin serta menolak BPJS karena bertentangan dengan syariat Islam.

Melihat situasi ini, Koalisi Perempuan Indonesia merekomendasikan:

  1. Presiden Republik Indonesia, menjadikan pembangunan masyarakat Indonesia sebagai salah satu prioritas pembangunan, dengan strategi pelayanan kesehatan semesta (Universal Health Coverage) yang memberi perhatian khusus pada kampanye positif tentang program kesehatan pemerintah, dan menghambat propaganda negative atas program JKN.
  2. Menteri Agama bekerjasama dengan Menteri Pendidikan, melakukan upaya rekonstruksi budaya, dengen melakukan reinterpretasi dan menyebarluaskan ajaran agama yang lebih ramah kepada perempuan dan kelompok rentan;
  3. Menteri Pendidikan bekerjasama dengan Menteri Komunikasi dan Informasi untuk melakukan pendidikan literasi digital, dan kesadaran kritis dalam membaca sebaran berita di dunia maya. Sehingga dapat menangkal propaganda negatif yang merugikan program pemerintah.
  4. Organisasi Perempuan perlu meningkatkan literasi Teknologi Informasi dan pendidikan kritis terkait penggunaan agama dalam berbagai aspek kehidupan.

Sehingga Indonesia dapat melaksanakan program Jaminan Kesehatan Nasional yang berkelanjutan, serta membangun masyarakat Indonesia yang sehat dan kritis dalam menyikapi informasi.

Jakarta, 19 Desember 2018

Dian Kartikasari

Sekretaris Jenderal

NO COMMENTS