Penodaan Agama dengan Tafsir Diskriminatif Menyerang Kelompok Rentan & Harus Segera Dihapuskan
Lagi-lagi Pasal penistaan agama menyerang kelompok minoritas. Putusan Pengadilan PN Medan No. 1612/PID.B/2018/PN.Mdn pada Selasa 21 Agustus 2018 memutus Meiliana (44 tahun) 18 bulan penjara atas dakwaan Pasal 156a KUHP tentang permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama. Jauh lebih berat jika dibandingkan dengan vonis yang diterima oleh para pelaku pengrusakan rumah ibadah di Tanjungbalai, Sumatera Utara. Baik Penuntut umum dan Majelis Hakim dalam perkara tersebut, terlihat tidak mempertimbangkan secara hati-hati dan utuh terkait dengan fakta hukum yang terjadi guna memenuhi unsur tindak pidana yang didakwakan, terlebih terhadap pembuktian unsur “dengan sengaja” dan “pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia” yang merupakan pembuktian unsur yang paling penting. Atas putusan tersebut, kuasa hukum menyatakan banding dan hingga saat ini kasus Saudari Meliana masih dalam proses Banding di Pengadilan Tinggi Medan.
Meliana sendiri adalah seorang Warga Negara Indonesia keturunan Tiong Hoa dan perempuan beragama Budha. Meliana yang merupakan seorang ibu rumah tangga, sudah lama tinggal di Tanjung Balai. Akibat keluhan yang disampaikannya, Meliana dan keluarganya terpaksa harus meninggalkan kediamannya demi keselamatan nyawanya dan mendapatkan intimidasi dari masyarakat sekitar.
Kasus yang dialami Saudari Meliana bukanlah kasus pertama yang terjadi di Indonesia. Berdasarkan hasil riset yang dilakukan oleh Setara Institute, sepanjang 1965-2017 terdapat 97 kasus penistaan agama, dimana sebelum reformasi hanya ada 9 perkara penistaan agama, namun sehabis reformasi jumlah kasusnya membengkak menjadi 88 kasus. 76 perkara diselesaikan melalui jalur persidangan dan sisanya di luar persidangan atau non-yustisia. Dari 97 kasus tersebut, 62 (63%-nya) melibatkan tekanan massa.[1] Banyaknya kasus penodaan agama yang terjadi setelah tahun 2003 menunjukkan semakin melemahnya pemenuhan dan perlindungan kebebasan beragama.[2]
Pengadilan mempunyai kewajiban untuk menegakan hukum secara mandiri, dimana tidak terpengaruh oleh adanya tekanan massa. Prinsip ini tercantum dalam pasal 14 ayat 1 Konvenan Hak Sipil dan Hak Politik/ICCPR dan telah dijamin oleh UUD 1945 pasal 24 ayat 2. Selain itu, norma-norma HAM internasional yang ada dalam hukum internasional yang diterima oleh Indonesia diakui mengikat sebagaimana tertuang dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Serta terakhir, secara spesifik diatur dalam Pasal 3 ayat (1) dan (2) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan hakim dalam mejalankan tugas dan fungsinya wajib menjaga kemandirian peradilan, segala campur tangan diluar kekuasaan kehakiman dilarang, serta pengadilan dilarang melakukan diskriminasi. Salah satu aspek dari kemandirian peradilan adalah kemandirian para penegak hukum. Independensi peradilan menciptakan kewajiban yang absolut bagi hakim untuk tidak terpengaruh dan dipengaruhi oleh desakan, tekanan atau insentif dari pihak eksternal, melainkan semata-mata mendasarkan putusan akhir dan putusan hukumnya berlandaskan pada bukti-bukti yang dihadirkan di pengadilan.
Kebebasan beragama telah dijamin oleh UUD 1945, begitu juga kebebasan berpendapat dijamin oleh UUD 1945. Salah satu perlindungan beragama ditunjukkan dengan dijaminnya larangan tindakan penghasutan, permusuhan dan kekerasan yang menghasilkan diskriminasi atas dasar kebangsaan, ras atau agama dalam Pasal 20 ayat (2) ICCPR yang sudah diratifikasi oleh Indonesia. Konteks perlindungan beragama dalam hukum pidana harus diluruskan kembali pada perbuatan materil menghasut untuk melakukan diskriminasi, permusuhan atau kekerasan. Kerangka hukum tentang penistaan agama harus benar-benar secara ketat membatasi perbuatan yang dapat dipidana hanya dalam konteks terjadi penghasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan atau kekerasan berdasarkan agama.
Pasal 18 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR) membedakan kebebasan beragama atau berkeyakinan (forum internum) dari kebebasan untuk menjalankan agama atau keyakinannya (forum eksternum). Pembatasan apapun terhadap kebebasan untuk menganut atau menerima suatu agama atau keyakinannya sesuai dengan pilihannya (forum internum), tidak diperbolehkan. Kebebasan-kebebasan ini dilindungi tanpa pengecualian. Karakter mendasar dari kebebasan-kebebasan ini juga dicerminkan pada kenyataan bahwa ketentuan ini tidak dapat dikurangi (non-derogable) bahkan pada saat darurat publik.
Kini, dalam pembahasan RKUHP hadir Pasal 326, 327, 328 (draft 28 Mei 2018) yang mengatur pasal penghinaan agama lebih karet dan sumir dari rumusan dalam KUHP. Unsur “dengan sengaja melakukan penghasutan untuk permusuhan” yang menjadi safeguard dan syarat pengaturan hukum yang mengatur penistaan agama, justru dihilangkan, diganti hanya dengan unsur “penghinaan terhadap agama” dengan definsi yang sangat sumir dan karet. Padahal dalam konteks jaminan kebebasan berpendapat dan berekspresi yang telah dijamin dalam ICCPR, Dalam Komentar Umum Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik No 34, telah diserukan delik penghinaan bukan merupakan ranah hukum pidana. Kebebasan berekspresi menjadi kunci untuk mendorong setiap orang menyatakan pendapatnya secara bebas dan tanpa gangguan, dan mendorong terjadinya pertukaran gagasan. Bila ditilik lebih jauh, merupakan kunci bagi terbangunnya demokrasi elektoral dan membangun kepercayaan publik.
Atas dasar hal tersebut, Institute for Criminal Justice Reform, Koalisi Perempuan Indonesia, HUMAN RIGHTS WORKING GROUP, Setara Institute dan Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI-FHUI) memberikan catatan bahwa:
- Hakim Pengadilan Tinggi (PT) yang memeriksa perkara banding tersebut harus secara teliti dan cermat dalam melihat kasus Saudari Meliana. Kesalahan dalam memutus perkara banding kasus saudari Meliana akan menambah preseden buruk bagi iklim toleransi di masyarakat serta merugikan kepentingan kelompok minoritas lainnya yang seharusnya dilindungi.
- Sebagaimana dalam kasus penodaan agama, yang sarat dengan tekanan massa untuk mengukum pelaku, hakim PT harus tetap berpegang teguh pada fakta hukum demi menegakkan kebenaran dan keadilan, serta menjadi integritas pengadilan yang mandiri.
- Hakim PT yang memeriksa perkara ini wajib mengunakan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum, mengingat bahwa Saudari Meliana merupakan seorang perempuan yang wajib mendapatkan perlindungan dari tindakan ataupun penghukuman yang diskriminatif.
- Selain itu, kami merekomendasikan bahwa pasal penodaan agama, baik yang ada di dalam KUHP maupun RKUHP, dihapuskan karena sudah tidak relevan lagi diterapkan dan justru menjadi alat legitimasi kelompok mayoritas mengancam kelompok minoritas. Dalam praktiknya yang justru terjadi adalah pasal ini digunakan untuk menjadi alat berkonflik dan pengadilan sulit untuk menegakkan hukum secara bebas dan mandiri khususnya tidak terpengaruh oleh adanya tekanan massa.
Kontak Person:
Ria Yulianti (08117977099)
Sustira Dirga (085697285358)
[1] Lihat http://setara-institute.org/setara-institute-97-kasus-penistaan-agama-terjadi-di-indonesia/ diunduh pada 29 Agustus 2018 pukul. 22.10 WIB
[2] Berdasarkan hasil riset The Indonesia Legal Resources Center (ILRC), Pasal 156 a semakin agresif digunakan setelah era reformasi tahun 1998. Tercatat sejak tahun 2003-2012 sebanyak 34 kasus yang menggunakan pasal 156a KUHP. Lihat Uli Parulian Sihombing, dkk, Ketidakadilan Dalam Beriman: Hasil Monitoring Kasus-Kasus Penodaan Agama Dan Ujaran Kebencian Atas Dasar Agama Di Indonesia, Jakarta, ILRC, 2012, hal. 70-71
Komentar tertulis Sahabat Peradilan (Amicus Brief) Koalisi Perempuan Indonesia
Download KOMENTAR-TERTULIS-SAHABAT-PENGADILAN-AMICUS-BRIEF-KOALISI-PEREMPUAN-INDONESIA.pdf, 506KB