Perkawinan Anak, Semakin Permisif

0
1224

                                 

 

Perkawinan Anak: Semakin Permisif

 

Praktek Perkawinan Anak terus terjadi. Di Kecamatan Sinjai Utara, Kabupaten Jeneponto, Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel), seorang anak perempuan berusia 12 tahun akan menikah dengan laki-laki berusia 21 tahun[1]. Ayah anak perempuan menyatakan alasan mengawinkan anaknya, karena khawatir anak perempuannya akan berbuat terlampau jauh (melakukan seks bebas) yang melanggar hukum dan agama. Selain itu, perkawinan anak adalah hal yang biasa dilakukan masyarakat sekitarnya.

 

Kantor Urusan Agama telah menolak untuk mengawinkan, dan pemerintah setempat telah memberikan peringatan pada orang tua bahwa perkawinan yang dilakukan merupakan pelanggaran hukum. Namun, orang tua tetap melakukan perkawinan secara agama. Praktek ini mengingatkan pada praktek perkawinan anak yang terjadi di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan pada bulan lalu. Seorang anak perempuan (14 tahun) dan anak laki-laki (15 tahun) melakukan perkawinan, dengan alasan takut tidur sendirian. Sementara di Kabupaten Maros, seorang ayah mengawinkan anak laki-lakinya yang berusia 14 tahun, dengan anak perempuan berusia 16 tahun. Perkawinan ini terjadi karena keluarga anak laki-laki membutuhkan anak perempuan untuk merawat ibunya yang sedang sakit.

 

Perkawinan anak merupakan persoalan seluruh provinsi di Indonesia. Pada tahun 2016, provinsi Sulawesi Barat merupakan daerah tertinggi perkawinan anak Indonesia, dengan rata-rata 37 persen (BPS 2016) dari jumlah perkawinan yang terjadi di daerah itu. Sementara di Kabupaten Jember, Provinsi Jawa Timur kasus perkawinan anak yang tercatat di KUA meningkat di tahun 2017, menjadi 21.907 kasus, dibanding 2016 sebanyak 20.226 kasus.

 

Praktek Perkawinan Anak yang terjadi di masyarakat, umumnya dilakukan dengan laki-laki dewasa. Perkawinan anak di Kecamatan Sinjai, Sulawesi Selatan menunjukan jarak usia 11 tahun antara anak perempuan dan calon suaminya. Hal ini pula yang dialami ketiga pemohon Uji Materi UU Perkawinan, Rasminah, Endang dan Maryanti. Ketiganya dikawinkan di usia 14 – 15 tahun, dengan laki-laki yang minimal rentang jaraknya adalah 7 tahun. Serupa dengan temuan Koalisi 18+ dan Koalisi Perempuan Indonesia (2016), bahwa dalam kasus permohonan dispensasi perkawinan, perbedaan usia anak perempuan dengan calon suami  antara 6-10 tahun. Maka patutlah didugai bahwa perkawinan anak terjadi akibat adanya bujuk rayu, penyesatan, penyalahgunaan kekuasaan dan kekerasan.

 

Kasus dan data tentang perkawinan anak menunjukan bahwa:

 

  1. Praktek perkawinan anak terjadi karena kecurigaan berlebihan pada anak, terutama kecurigaan terhadap anak perempuan akan melakukan hubungan seks di luar nikah dan Kehamilan yang tidak diinginkan.

 

  1. Ketiga kasus perkawinan anak di Sulawesi Selatan , menunjukkan bahwa Perkawinan Anak tidak terjadi karena hubungan seks di luar nikah, sebagaimana kecurigaan orang dewasa terhadap anak. Kasus-kasus ini juga mengkonfirmasi bahwa perkawinan anak terjadi karena adanya kepentingan orang dewasa yang akan dibebankan pada anak. Bukan untuk kepentingan terbaik bagi anak.

 

  1. Lurah/Kepala Desa dan Kantor Urusan Agama (KUA) sebagai Pegawai Pencatat Nikah (PPN) telah melakukan upaya pencegahan terjadinya perkawinan anak, dengan cara memberi nasihat dan peringatan.

 

  1. Hakim Pengadilan Agama (PA) sesungguhnya dapat berperan aktif untuk mencegah perkawinan anak, dengan menggunakan kebijkasanaannya dan kewenangannya sebagai pembentuk hukum serta mengacu pada Pasal 26 Undang-undang No 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, yang menegaskan bahwa salah satu kewajiban dan tanggung jawab orang tua adalah mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak. Namun sayangnya, sebagian besar Hakim cenderung mempermudah terjadinya Perkawinan Anak, dengan mengabulkan  permohonan dispensasi Nikah.

 

  1. Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, tidak mengatur lebih jelas tentang batasan pemberian dispensasi bagi hakim pengadilan agama dalam memproses dan memutus permohonan dispensasi. Sehingga hakim pengadilan agama sebagai otoritas pemberi dispensasi tidak memiliki panduan dalam batas usia dispensasi, terkait persyaratan permohonan; pertimbangan dalam memberikan dispensasi; dan pembuktian permohonan dispensasi (Koalisi 18+, 2016).

 

Dalam situasi ini, Presiden Joko Widodo telah mendengar pemaparan kelompok perempuan pada pertemuan 20 April 2018. Presiden telah menyetujui untuk menindaklanjuti pembahasan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Perubahan Undang-undang Perkawinan. Pada intinya Perppu tersebut, menyasar pada tiga hal yaitu, menaikan usia perkawinan anak; pembatasan ketat pemberian dispensasi; dan peran para pemangku kepentingan, khususnya orang tua untuk mencegah perkawinan anak.

 

Paska persetujuan presiden tersebut, Koalisi Perempuan Indonesia masih menunggu langkah nyata Kementerian Koordinator Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan yang menjadi koordinator tindak lanjut Perppu Perubahan Undang-undang Perkawinan Anak.

 

Pembahasan Perppu perlu segera dimulai, dengan melibatkan berbagai pihak guna melahirkan keputusan berdasarkan kepentinganterbaik bagi Perlindungan Anak Indonesia serta menghentikan jebakan lingkaran kemiskinan, kegagalan menyelesaikan pendidikan 12 tahun, kematian ibu dan anak, serta penyakit kesehatan reproduksi. Demikian pula demi pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.

 

 

Jakarta, 10  Mei 2018

 

 

Dian Kartikasari                                                       Marselina May

Sekretaris Jenderal                                                   Sekretaris Wilayah Sulawesi Selatan

 

Narahubung: Dian Kartikasari (Sekjen KPI) : 0816759865

Marselina May (Sekwil KPI Sulsel) : 081241722336

 

[1] Sumber Artikel : https://makassar.terkini.id/murid-sd-sinjai-menikah-usai-ujian-nasional/

 

NO COMMENTS