Mari Bertemu dengan Rasminah yang Menikah sejak Usia 13 Tahun
Penulis: R. Diantina Putri
Editor: Fahri Salam
September 1998, saat ibu kota masih hanyut dalam euforia reformasi dan perekonomian diguncang krisis hebat, di Indramayu, seorang gadis 13 tahun tengah menghadapi nasibnya di hadapan lebe—sebutan lokal untuk penghulu. Jika semuanya berjalan sesuai rencana, hari itu ia akan dinikahkan dengan pria yang hampir dua kali lipat dari umurnya. Ironis? Belum. Karena ini bukan satu-satunya pernikahan gadis itu.
Mari, temui Rasminah.
Babak Satu: ‘Hei, Ras. Jangan main dingklik dulu! Kamu habis lahiran’
Rasminah mengeduk-ngeduk lemari TV mencari surat-surat nikah. Tak lama, empat jilid surat nikah dari pernikahan pertama dan ketiganya ia sodorkan kepada saya. Dua surat nikah suami dan dua surat nikah istri.
Surat nikah pertama tertanggal 23 September 1998. Rasminah menikah pada usia 18 tahun.
“Itu dipalsukan. Umur saya seharusnya 13 tahun,” ujarnya.
Saya menemui Rasminah di rumahnya pada awal Desember lalu di sebuah kampung bernama Blok Karang Malang. Terletak di Desa Krimun, Kecamatan Losarang, atau sekitar satu kilometer dari Jalan Raya Pantura yang menghubungkan Indramayu dan Jakarta, rumah Rasminah terlihat paling sederhana di antara tetangganya, di tengah perkampungan padat sesudah melewati sebilah ratusan meter jalan yang sepi dan tanpa lampu penerangan.
Rumah Rasminah terdiri dari tiga ruangan. Satu ruangan belakang tempat dipan untuk tidur anak-anaknya, satu ruangan samping tempat ayahnya terbaring karena stroke, dan satu ruangan depan. Di ruangan itu terdapat teve dan rak dan selembar kasur. Lantai rumah beralas tanah dan adonan semen seadanya tempat sehari-hari Rasminah rebahan sembari mengurus anak.
Perpaduan bau ompol dan susu bayi menyeruak di ruangan berukuran 3×2 meter itu. Sementara di halaman rumah ada dapur terbuka tempat Rasminah memasak sehari-hari.
Rifky, anak keempatnya, sedari tadi mondar-mandir meningkahi perbincangan kami sore itu. Rifky mengeluarkan sepeda roda tiga dari kamar belakang untuk dibawa main ke luar.
“Kelas 3 SD, ayah saya stroke. Lumpuh, enggak bisa jalan lagi. Akhirnya, setelah lulus SD, saya menikah demi membantu ekonomi keluarga.” Rasminah melanjutkan kisahnya setelah Rifky anteng bermain.
Rasminah mengiyakan saja saat diminta menikah dengan Suyanto, pemuda 25 tahun asal Semarang. Keuangan orangtuanya sulit waktu itu. Tak ada biaya untuk meneruskan ke jenjang SMP. “Ijazah SD saja tak mampu ditebus,” ujarnya.
Selama seminggu setelah ijab kabul, Rasminah kerap kabur untuk tidur di rumah orangtuanya. Ia takut lantaran tak siap berumah tangga.
“Perasaan saya hancur. Hancurnya ya karena saya masih ingin sekolah. Masih ingin main,” katanya.
Sang suami pun sempat mengajak Rasminah ke Jakarta. Ia terpaksa menurut kendati enggan. Namun, hal ini tak berlangsung lama karena Rasminah sungkan pisah dengan ibunya.
Setahun berikutnya, Rasminah melahirkan Karyamin. Rasminah bingung. Ia tak punya ide apa pun soal mengasuh anak. Maka, putra pertamanya itu akhirnya diasuh oleh sang nenek. Sementara Rasminah asyik saja kembali bermain dengan teman dan tetangganya. Padahal jahitan selepas melahirkan belum juga mengering.
“Hei, Ras. Jangan main dingklik dulu! Kamu habis lahiran,” sekali waktu ibunya memperingatkan.
Usai melahirkan, ajakan Suyanto untuk pindah datang lagi. Kali ini ke Semarang, kampung halaman sang suami. Tapi Rasminah menolak karena ia belum berani berpisah dengan ibunya. Terlebih setelah melahirkan, ibunyalah yang mengasuh sang bayi.
“Ya, takut aja. Namanya masih kecil. Belum siap berumah tangga,” kata Rasminah, kini berumur 32 tahun.
Suyanto yang kala itu bekerja di Bantar Gebang, Bekasi, pun jarang pulang. Nafkah terhenti. Memasuki usia Karyamin dua tahun, ia ditinggalkan begitu saja bersama sang buah hati. Keinginan memperbaiki perekonomian keluarganya pupus sudah.
Rasminah habis akal. Tapi tidak ibunya.
Babak Dua: Ditinggal Kembali
Solusi instan yang terpikir ibunya saat itu hanyalah menikahkan Rasminah lagi. Bagaimanapun juga harus ada yang menafkahi Karyamin. Seorang tetangga, duda cerai beranak dua, bersedia menikahinya.
Lantaran belum bercerai secara sah oleh Suyanto, ia dinikahi siri oleh Dartiman. Usianya saat itu masih 16-an tahun.
Dari pernikahan dengan suami keduanya, Rasminah dikaruniai seorang bayi perempuan bernama Julina.
Namun, lagi-lagi, nasib baik belum berpihak kepada Rasminah. Selama pernikahan, Rasminah tak pernah dinafkahi Dartiman.
“Kalau mau jajan, ya minta orangtua saya.”
Dua tahun setelah melahirkan Julina, ia ditinggalkan kembali.
Meski begitu, ditinggalkan bukan terminologi yang tepat untuk menggambarkan situasi Rasminah pada waktu itu karena Dartiman hanya pulang ke rumah yang letaknya berdekatan dari rumah Rasminah.
“Ya ditinggalin aja, gitu. Enggak dinafkahin.”
Entah apa musabab yang jadi keputusan Dartiman, tetapi Rasminah memilih pasrah dan melanjutkan hidup. Ada dua mulut mungil yang masih harus diberi makan olehnya.
Ia kemudian menjajal nasib ke daerah Cilincing, kawasan utara Jakarta yang dikenal keras dan menjadi salah satu kantong perantauan orang-orang dari utara Indramayu, dan tinggal bersama adiknya. Selang dua bulan, ia kembali ke kampung untuk menengok kedua anaknya. Di kampung, ia bertemu Sumitra, laki-laki yang akan menjadi suami ketiganya.
Rasminah tak pernah kembali ke Jakarta.
Babak Tiga: ‘Saya seperti budak’
Sumitra adalah seorang juragan tanah dari Cikedung, Terisi—sekitar 20-an kilometer ke arah selatan dari desa tempat tinggal Rasminah. Sawahnya luas. Keluarganya terpandang. Kakak Sumitra bahkan jadi kepala desa.
Pikir Rasminah: Kebanggaan mana lagi yang bisa Rasminah dustakan jika diperistri Sumitra?
Gagal dalam dua perkawinan sebelumnya tak bikin Rasminah jera. Ia realistis. Kedua anaknya butuh dinafkahi, sementara ia tak punya keterampilan apa pun untuk bekerja.
Usianya memasuki 20 tahun, sementara Sumitra berumur 42 tahun.
Harapannya agak mengembang karena ia menikahi seorang juragan tanah. Namun, alih-alih diperlakukan layaknya seorang putri di istana, ia harus mengurus, selain anaknya, juga suaminya yang mulai sakit-sakitan karena diabetes, mertua, hingga nenek suaminya. Selain itu, ia juga harus bekerja di sawah, mencuci, dan memasak.
“Saya jadi seperti budak. Kayak bukan rumah tangga, gitu,” ujarnya sambil menyusui si bungsu, Anita.
Satu hari saat tengah bekerja di sawah, sekitar lima tahun setelah pernikahan, kaki kanan Rasminah digigit ular. Merasa sakit luar biasa, ia dibawa ke rumah sakit. Terlambat, pergelangan kakinya sudah menghitam akibat bisa ular.
Selagi pusing memikirkan kondisi kakinya, Rasminah harus menerima kenyataan sang suami meninggal akibat komplikasi penyakit diabetes. Sumitra meninggalkannya bersama seorang anak perempuan, anak ketiganya, bernama Wita.
Tak lama setelah itu, pergelangan kakinya copot sendiri lantaran membusuk.
Rasminah kembali menjanda untuk kali ketiga. Melihat fisiknya yang pincang, dunianya seakan rontok.
“Keluarga (Sumitra) bilang saya tetap akan dikirimi uang tiap bulan. Tapi enggak ada sampai sekarang juga. Cucunya aja enggak dipeduliin,” ujar Rasminah, membetulkan kain yang menutupi kakinya sembari tetap menyusui Anita.
Babak Empat: “Saya mau ini yang terakhir’
Dari tiga perkawinan pertamanya, agaknya cinta adalah urusan kesekian bagi Rasminah asalkan ada yang bersedia menafkahi keluarganya.
Tiga bulan ditinggal wafat Sumitra, Rasminah bertemu Runata, buruh tani berusia 28 tahun. Runata mengajaknya menikah. Usia Rasminah sudah 25 tahun.
Rasminah putus asa. Tubuhnya tak lagi sempurna. Tak akan ada yang mau memperkerjakan orang seperti dirinya. Ia bertaruh pada takdir. Bisa saja, yang satu ini akan berakhir seperti yang sudah-sudah. Atau … bisa juga tidak. Ia pun menerima lamaran Runata.
Tapi, kali ini, agaknya Rasminah memenangkan pertaruhan. Runata, meski bukan orang kaya, adalah sosok yang bertanggung jawab, kata Rasminah.
Laki-laki itu juga bersedia menafkahi ketiga anak Rasminah dari pernikahan-pernikahan sebelumnya.
“Alhamdulillah dengan suami yang sekarang, mah. Saya mau ini yang terakhir.”
Dari pernikahan dengan Runata, mereka dikaruniai dua anak: Rifky, berusia dua tahun, dan Anita, masih berumur 9 bulan.
“Cukup saya aja yang kayak gini. Anak saya jangan sampe. Biar mereka sekolah dulu atau bekerja dulu baru menikah,” ujar Rasminah.
Ia menepuk-nepuk pantat anak bungsunya dengan lembut agar lekas tertidur. Anita menggeliat sebentar.
Tak hanya Rasminah, hampir seluruh teman sebayanya di Desa Krimun menikah terlalu dini.
Menurut Rasminah, selain faktor ekonomi dan budaya, perkawinan usia dini terjadi lantaran kehamilan di luar nikah.
“Cuma satu-dua teman yang lanjut ke SMP. Kebanyakan ya kayak saya,” kata Rasminah sembari meneruskan menyusui Anita.
Dampak buruk perkawinan anak: pendidikan terputus, angka perceraian dan kematian ibu meningkat