Kekerasan terhadap perempuan di politik dapat terjadi dimana saja baik di ruang privat maupun ruang publik. Demokrasi seharusnya bersifat inklusif dan setara, sayangnya dalam kenyataan teknologi digital dan platform online pun kini menjadi ancaman terhadap kebebasan perempuan untuk mengekspresikan dirinya secara politik. Kekerasan terhadap perempuan di politik merupakan fenomena tersembunyi, hal inilah yang menjadi masalah besar dalam memperkuat demokrasi dunia. Kekerasan terhadap perempuan yang aktif dalam dunia politik membuat demokrasi yang berkelanjutan menjadi semakin sulit.
Adanya beberapa penelitian tentang pelecehan secara online kepada perempuan semakin meningkat (Online Harassment, 2014 oleh Pew Research Center dan Online harassment, digital abuse and cyberstalking, 2016 oleh Data & Society). Berdasarkan penelitian ini pelecehan secara online sangat berdampak pada perempuan. Dengan menutup atau tidak mengindahkan suara perempuan, pelecehan secara online terhadap perempuan memberikan tantangan besar bagi kegiatan politik perempuan.
Koalisi Perempuan Indonesia mendapatkan kesempatan untuk hadir dalam kegiatan workshop dua hari yang diadakan National Democratic Institute dengan tema Examining the Anti-Democratic Nature of Online Violence. Dalam workshop ini dibahas mengenai arti dari kekerasan terhadap gender, istilah-istilah yang merujuk pada kekerasan gender, dan melakukan analisa twitter terkait kekerasan gender.
Tahun 2019 bagi Indonesia adalah tahun politik, dimana banyak pihak yang akan memanfaatkan tahun tersebut untuk menduduki kursi pemerintahan. Nyatanya usaha-usaha untuk menarik perhatian calon pemilih sudah dimulai dari tahun ini. Penggunaan sosial media pun digencarkan untuk mengekspresikan pandangan politik. Calon kandidat maupun relawan akan melakukan kampanye secara bebas dan sulit untuk dikendalikan sehingga akan berpotensi terjadinya pelecehan dan kekerasan terhadap calon kandidat maupun relawan lainnya. Tak dapat dihindari sosial media merupakan tempat yang tak aman bagi perempuan apalagi untuk menyuarakan pandangan politiknya.
Dalam forum workshop Examining the Anti-Democratic Nature of Online Violence kami sebgai peserta workshop bersepakat bahwa sepanjang yang kami ketahui di Indonesia kekerasan terhadap perempuan melalui media online dalam ranah politik belum begitu banyak muncul. Hal tersebut mungkin terjadi karena penggunaan teknologi atau platform seperti Twitter kurang digunakan oleh perempuan untuk menyuarakan pandangan politiknya atau mungkin ada tekanan dari partai politik sehingga mengupayakan agar kasus kekerasan online terhadap perempuan di ranah politik tidak diketahui publik demi menjaga elektabilitas dan citra partai.
Tak dapat dipungkiri bahwa kekerasan terhadap perempuan melalui media online sangat banyak ditemui, beragam kekerasan verbal yang tak layak dipandang mata bertebaran di media online yang kami pantau selama sehari. Secara umum, kekerasan di media online dalam ranah politik banyak terjadi contohnya untuk kasus Pilkada Jakarta.
Perserikatan Bangsa Bangsa mendefinisikan kekerasan terhadap perempuan sebagai tindakan apapun yang merupakan kekerasan berbasis gender yang mengakibatkan atau mungkin menimbulkan luka atau penderitaan fisik, seksual atau mental terhadap perempuan, termasuk ancaman tindakan, pemaksaan atau pengurangan secara semena-mena kebebasan dalam kehidupan sosial atau pribadi seseorang.
Kekerasan terhadap perempuan di politik merupakan penghambat utama partisipasi perempuan di dunia politik dan digunakan untuk memaksakan norma patriarki gender terkait dengan peran perempuan di tengah masyarakat, digunakan untuk menghentikan perempuan dalam berpartisipasi di politik.
Kekerasan terhadap perempuan di politik tidak hanya merupakan ancaman terhadap hak asasi perempuan, karena merupakan salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan, tapi juga mengancam hak politik dan kewarganegaraan perempuan yang pada akhirnya juga akan menimbulkan masalah bagi demokrasi
Kekerasan terhadap Perempuan di ranah Politik terdiri dari segala bentuk agresi, pemaksaan dan intimidasi terhadap perempuan sebagai aktor politik hanya karena mereka perempuan, dirancang untuk membatasi partisipasi politik perempuan sebagai sebuah kelompok, diarahkan kepada perempuan sebagai pemimpin, anggota partai politik, kandidat, representatif terpilih dan pejabat yang ditunjuk serta menyasar perempuan aktifis, pemilih, serta penyelenggara pemilu. Kekerasan Terhadap Perempuan di ranah Politik ada 5 kategori yaitu fisik, seksual, psikologis, ancaman dan paksaan, dan ekonomi.
Kekerasan politik juga terjadi terhadap perempuan dan laki-laki, yang membedakannya secara khusus adalah Kekerasan Terhadap Perempuan di Politik memiliki 3 karakteristik, yaitu:
- Menyasar perempuan karena gender mereka
- Bentuknya dapat sengaja dirancang khusus untuk gender tertentu
- Terutama mencegah perempuan menjadi aktif di politik
Semua kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak perempuan merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan harus dihentikan. Kekerasan terhadap perempuan di politik adalah salah satu hambatan yang paling serius dari partisipasi politik perempuan secara utuh dan setara, serta memengaruhi pembangunan masyarakat yang kuat, inklusif dan demokratis. Kekerasan terhadap perempuan di politik memengaruhi kemajuan global menuju kesetaraan gender dan memiliki dampak yang buruk terhadap ambisi dan partisipasi perempuan muda dan perempuan yang belum masuk ranah politik.
Kekerasan online terhadap perempuan di ranah politik merupakan sebuah fenomena global—dunia fisik dan maya. Memiliki konteks, budaya, dan dampak yang berbeda. Pada negara yang terdampak konflik, jumlah perempuan yang duduk di parlemen empat poin di bawah rata-rata global sebesar 22% dan hanya menduduki 13% dari posisi kementerian. Perempuan pemilih memiliki kemungkinan empat kali lebih besar dari pemilih laki-laki mengalami intimidasi di pemilu pada negara-negara yang rentan dan pada periode transisional.
Penyebab-penyebab Kekerasan Terhadap Perempuan di Politik:
- Budaya kekerasan baik di politik atau lainnya.
- Perlawanan akan kepemimpinan perempuan.
- Struktur dan perilaku yang diskriminatif dan patriarkis
- Ketiadaan dukungan dari struktur administratif dan kehakiman—kurangnya supremasi hukum dan lembaga pemerintah
- Tidak dianggapnya kekerasan terhadap perempuan sebagai tindak pidana/budaya impunitas
- Status yang lebih rendah dan semakin meningkatnya kerentanan perempuan
- Irisan antara ketimpangan dan marginalisasi
Meskipun tindak kekerasan terhadap perempuan di ranah politik ditujukan pada perempuan-perempuan individual, niat sesungguhnya melampaui target itu: untuk menakut-nakuti perempuan lain yang sudah aktif di dunia politik, untuk membuat gentar perempuan yang mungkin berniat masuk ke politik, dan mengkomunikasikan kepada masyarakat bahwa perempuan tidak seharusnya aktif di kehidupan bermasyarakat dalam kapasitas apapun.
PELUANG AKSI BAGI PARTAI POLITIK UNTUK MENCEGAH KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DI RANAH POLITIK
- Meningkatkan kesadaran di kalangan anggota parpol.
- Menyepakati resolusi di tingkat parpol yang mengutuk kekerasan terhadap perempuan di ranah politik.
- Mengembangkan kode etik partai politik.
- Mengubah statuta atau kebijakan partai untuk menerapkan sanksi terhadap pelaku tindak kekerasan.
- Membentuk komite atau badan tingkat partai yang bertanggungjawab untuk mengatasi hal ini.
- Menandatangani deklarasi lintas partai dengan parpol lain untuk mendefinisikan kekerasan terhadap perempuan di ranah politik sebagai sesuatu yang tidak dapat diterima.
MENGUBAH ATURAN UNTUK MELINDUNGI PEREMPUAN ONLINE: AKSI OLEH KOMUNITAS DIGITAL
- Teknologi merupakan ruang yang semakin sering digunakan untuk diskursus politik, dan melindungi perempuan dari pelecehan online merupakan isu yang semakin penting.
- Berbeda dengan kebijakan konvensional, platform teknologi dapat diubah untuk melindungi semua perempuan, termasuk mereka yang aktif di politik, tanpa mengganggu kebebasan berpendapat yang ditumbuhkan oleh konektifitas global.
-Gabrella Sabrina