“KEKOSONGAN HUKUM: Negara lalai melindungi anak perempuan dari praktek Perkawinan Anak”

0
8132

Pernyataan Pers Koalisi Perempuan Indonesia Peringatan Hari Anak Nasional

“KEKOSONGAN HUKUM: Negara lalai melindungi anak perempuan dari praktek Perkawinan Anak”

 

Hari Anak Nasional, 23 Juli, didasari oleh pertimbangan bahwa anak merupakan generasi penerus cita-cita perjuangan bangsa dan oleh karenanya kepada anak perlu diberikan bekal keimanan, kepribadian, kecerdasan, keterampilan, jiwa dan semangat kebangsaan serta kesegaran jasmani agar dapat tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang berbudi luhur, bersusila, cerdas dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa (Keppres No. 44 tahun 1984). Namun, anak perempuan Indonesia berpotensi besar kehilangan kesempatan untuk tumbuh kembang karena negara lalai melindungi anak perempuan dari praktek perkawinan anak.

Saat ini Indonesia belum memiliki satu pun undang-undang yang mengatur tentang pencegahan dan penghapusan perkawinan di usia anak. Sebaliknya Undang-Undang No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, justru melegalkan perkawinan di usia anak.

Pasal 7 ayat (1) berbunyi

Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enambelas) tahun.”

Pasal 7 ayat (2) mengatur

“Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita

 

Pada tahun 2007, Komite CEDAW menyerukan agar Indonesia menaikan batas usia perkawinan perempuan, yang dibarengi dengan upaya pemerintah untuk menunda perempuan melakukan perkawinan sampai usia 20 tahun. Namun, sampai saat ini pemerintah nasional Indonesia belum menindaklanjuti seruan tersebut.

Maka tidak mengherankan jika praktek perkawinan anak masih banyak terjadi di Indonesia, dan anak perempuan adalah korban utama. Data BPS (2015) menunjukkan tahun 2012, 989.814 anak perempuan menjadi korban praktek perkawinan anak, tahun 2013 (954.518), dan tahun 2014 (722.518).  Pada tahun 2015, perkawinan anak di Indonesia adalah 23 persen dan BPS (2015) menyatakan bahwa ‘satu dari lima perempuan pernah kawin usia 20-24 tahun melakukan perkawinan pertama sebelum usia 18 tahun.’

Masyarakat sipil telah melakukan berbagai upaya untuk mengisi kekosongan hukum, upaya dan hasilnya adalah sebagai berikut:

  • Tahun 2014, mengajukan permohonan Judicial Review atas Undang-undang Perkawinan pasal 7 ayat 1, untuk menaikan usia minimal perkawinan perempuan dari 16 menjadi 18. Sayangnya majelis hakim menolak permohonan tersebut dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. No. 30-74/PUU/XII/2014. Pada tahun 2016,
  • Tahun 2016, mengajukan rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) tentang Pencegahan dan Penghapusan Perkawinan Anak. Pembahasan rancangan Perpu dilakukan bersama Deputi V (Bidang Anak) Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA). Masyarakat sipil telah menyampaikannya draft Perpu kepada presiden Joko Widodo, melalui Kantor Staf Presiden. Serta melakukan diskusi dengan Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin, pada 22 Desember 2016. Namun sampai saat ini Perpu tersebut terkatung-katung tanpa kejelasan sikap Presiden dan jadwal pembahasan Perpu di tingkat pemerintah.
  • Tahun 2017, mengajukan permohonan Judicial Review atas Undang-undang Perkawinan pasal 7 ayat 1, untuk menaikan usia minimal perkawinan perempuan dari 16 menjadi 19. Masih menunggu keputusan Sidang Pleno Hakim Mahkamah Konstitusi.

 

Pemerintah nasional juga lamban menanggapi keprihatinan dunia atas praktek perkawinan anak di berbagai negara. Persatuan Bangsa-bangsa telah menyetujui Resolusi PBB No. A/HRC/35/L.26 tentang Child Early and Forced Marriage in Humanitarian Settings (Resolusi Perkawinan Anak). Ada 80 negara yang telah mendukung resolusi Pekawinan Anak, dan Indonesia bukan salah satu di antaranya.

Respon cepat perlindungan anak dan perlawanan atas masalah perkawinan anak justru dilakukan dari berbagai daerah yang angka perkawinan anaknya tinggi di Indonesia seperti di Kabupaten Gunung Kidul melalui Peraturan Bupati Gunung Kidul Nomor 36 Tahun 2015 tentang Pencegahan Perkawinan Pada Usia Anak pada 24 Juli 2015 dan di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) melalui Surat Edaran Gubernur (NTB) nomor 150/1138/Kum tentang Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP). Peraturan tersebut bahkan merekomendasikan usia perkawinan untuk laki-laki dan perempuan minimal 21 tahun.

Kelalaian pemerintah membuat kebijakan untuk mencegah dan menghentikan perkawinan anak akan menyumbang pada kegagalan pencapaiaan Tujua Pembangunan Berkelanjutan, khususnya target Tujuan 5: Kesetaraan Gender, dimana target 5.3 adalah Menghapuskan semua praktik berbahaya terhadap perempuan seperti perkawinan usia anak. Situasi ini sungguh disayangkan, mengingat dalam diplomasi tingkat dunia Indonesia  menyatakan kesungguhan dalam pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.

 

Oleh karenanya dalam rangka peringatan Hari Anak Nasional, Koalisi Perempuan Indonesia menyatakan:

  1. Negara, terutama pemerintah bertanggung jawab untuk menghentikan Praktek Perkawinan Anak;
  2. DPR dan Pemerintah, harus segera menerbitkan hukum untuk menghentikan Perkawinan Anak;
  3. Pemerintah, secara partisipatif menyusun Rencana Aksi Nasional untuk mencegah dan menurunkan angka perkawinan anak di Indonesia.

Agar anak perempuan Indonesia memiliki hak dan kesempatan yang sama dengan anak laki-laki untuk tumbuh kembang serta terlindungi dari segala bentuk kekerasan.

 

Selamat Hari Anak Nasional,

Jakarta, 23 Juli 2017

Dian Kartikasari

Sekretaris Jenderal

NO COMMENTS