Rencana Pembangunan Indonesia Belum Akomodir Kesetaraan Gender

0
2132

Ada tujuh (7) langkah awal yang diambil pemerintah Indonesia dalam melaksanakan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB), dan dua di antaranya telah dikembangkan sejak tahun 2016 yaitu Kerangka Kebijakan dan Payung Hukum, serta Rencana dan Strategi. Sekretariat SDGs, di bawa koordinasi Kementerian Perencanaan Pembangunan/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Kemen PP/Bappenas), telah merumuskan Rancangan Rencana Aksi Nasional (RAN), Metadata Nasional, serta Pedoman Aksi Penyusunan Rencana Aksi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.

Dalam perumusannya Sekretariat SDGs kerap meminta partisipasi organisasi masyarakat sipil yang memperhatikan dan mengawal pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Koalisi Perempuan Indonesia adalah salah satu organisasi perempuan yang turut berpartisipasi dalam diskusi-diskusi perumusan kerangka kebijakan, kerangka konsep, indikator, hingga Voluntary National Review (VNR). Perhatian utama Koalisi Perempuan adalah mendorong pengarusutamaan gender dalam ke-17 tujuan Pembangunan Berkelanjutan, dan khususnya pada Tujuan 5: Kesetaraan Gender.

Di luar partisipasi dalam diskusi yang diorganisir oleh Sekretariat SDGs di bawah Bappenas, organisasi-organisasi masyarakat sipil dan lembaga negara melakukan kajian kritis atas kerangka kebijakan dan panduan teknis TPB. Di antaranya, INFID menyusun Analisa Kesenjangan antara Indikator Global dan Nasional. Koalisi Perempuan Indonesia turut mengambil peran untuk menganalisa kesenjangan indikator pada Tujuan 5. Hasil kajian ini telah disampaikan kepada Kementerian Luar Negeri, Badan Pusat Statistik Nasional, serta Sekretariat SDGs.

UNESCO dan UNCT melakukan Kerangka Analisa untuk Tujuan Pembangunan Berkelanjutan dari pandangan  Pemenuhan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Kerangka ini nantinya diharapkan akan bisa untuk memantau perkembangan atas tujuan-tujuan pembangunan di dalam Agenda 2030 dari sidut pandang HAM dengan usulan indicator berbasis HAM terutama untuk Tujuan 1, 2, 3, 4, 5, 6, 8, 10 dan 16. Selain itu, masyarakat sipil telah membentuk Kelompok Kerja TPB di tingkat nasional maupun kabupaten (Dompu dan Timor Tengah Selatan).

Untuk memperkaya kajian-kajian kritis yang telah dilakukan oleh masyarakat sipil, Koalisi Perempuan Indonesia merasa perlu mendiskusikan secara publik melalui radio KBR mengenai sejauh mana indikator nasional menjawab kebutuhan masyarakat, khususnya perempuan pada 29 Mei 2017 lalu. Diskusi via radio ini menghadirkan dua orang narasumber yaitu Yasmin Purba (Peneliti sektor HAM, Keadilan dan Pembanguan) dan Dewi Komalasari (Staf Pokja Reformasi Kebijakan Publik Koalisi Perempuan Indonesia).

Yasmin Purba memaparkan bahwa  indikator perencanaan pemerintah untuk mengakomodir kesetaraan gender dalam Tujuan Pembanguan Berkelanjutan masih kurang, ada beberapa temuan yang dia analisis ketika dirinya diminta untuk menyusun kerangka analisis untuk melihat kesetaraan gender, kemiskinan dan Hak Asasi Manusia oleh UNESCO dan UN Country Team. Setidaknya Yasmin menyoroti ada 9 tujuan yang sangat beririsan dengan pemenuhan hak asasi manusia, “dari 9 itu masih terlihat kurang aspek Hak Asasi Manusianya, di Indonesia yang mencuat adalah mengenai sunat perempuan (Female Genital Mutilation) dan dari sudut HAM itu adalah bentuk kekerasan terhadap perempuan, untuk di perempuan tidak ada aspek positif untuk kesehatan bagi perempuan, bahkan ditingkat internasional ini dikategorikan sebagai (harmful practice) praktik berbahaya terhadap perempuan,” ungkap Jasmin.

 

Penghapusan sunat perempuan (Female Genital Mutilation) hingga saat ini belum juga diprioritaskan oleh peremintah. Yasmin juga menyebutkan data dari UNICEF bahwa lebih dari 50% anak diusia 11 tahun pernah mengalami sunat perempuan, artinya sudah separuh anak perempuan di Indonesia yang menjadi korban perlukaan.
Dewi Komalasari juga menambahkan bahwa praktik sunat perempuan (Female Genital Mutilation) di Indonesia bersumber dari tradisi. Pada negara dengan mayoritas Islam lainnya praktik sunat perempuan ini bahkan mulai ditinggalkan,  di negara lain praktik ini sudah ditinggalkan, “ada anggapan bahwa kalau perempuan belum disunat dia belum sah jadi seorang muslimah, sayangnya ini berat sekali untuk dihentikan. Apakah ini bagian dari ajaran agama atau akidah islam atau sebenarnya ini hanya tradisi saja?”

Praktik sunat perempuan di Indonesia cenderung sulit dihapuskan bila berhadapan dengan ajaran agama. “Ada 4 bentuk praktik sunat terhadap perempuan, di Indonesia masih melakukan yang keempat misalnya hanya sampai keluar darah, ini tetap dianggap perlukaan terhadap perempuan,” jelas Dewi.

Tak hanya masih adanya praktik sunat perempuan, Indonesia juga masih menerapkan peraturan diskriminatif untuk perempuan mulai dari UU Perkawinan yang menyebutkan bahwa usia minimal perempuan untuk menikah adalah 16 tahun (dimana perempuan belum menyelesaikan pendidikan wajib 12 tahun serta ketidaksiapan mental dan fisik perempuan),  hingga peraturan yang membatasi cara perempuan berpakaian dan adanya aturan yang memperbolehkan poligami bagi laki-laki. “Setidaknya Komnas Perempuan mencatat ada 421 peraturan daerah diskriminatif untuk perempuan,” tambah Yasmin.

Dalam rekomendasi diskusi narasumber mendorong pemerintah untuk segera mengesahkan RUU Kekerasan Seksual. Salah satu faktor kekerasan terhadap perempuan meningkat karena tidak ada ketegasan hukum bagi pelaku kekerasan terhadap perempuan. Penyidikan dan proses hukum harus dilakukan dengan tegas agar para pelaku kekerasan disidik hingga ada efek jera atau tidak ada impunitas bagi para pelaku.

 

 

-Gabrella Sabrina

NO COMMENTS