Beberapa partai politik mengajukan usulan mengembalikan sistem pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada pemillu mendatang dengan sistem proporsional tertutup dalam paket RUU Pemilu yang saat ini sedang dibahas di DPR RI.  Penentuan siapa yang berhak duduk sebagai wakil rakyat berdasarkan keputusan partai. Berbeda dengan sistem saat ini, masyarakat menentukan langsung wakilnya saat pemilihan legislatif. “Seperti membeli kucing dalam karung,†kata Dian Kartikasari, Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia di Jakarta, Selasa (24/1).
Sistem ini dilakukan pada masa pernah dilakukan dalam pemilihan langsung pertama pascareformasi pada pemilu 1999 dan 2004. Dia mengatakan usulan partai ini adalah kemunduran. Masyarakat tidak mempunyai kesempatakan menelusuri rekam jejak calon wakil mereka. Yang paling dirugikan dalam sistem ini, kata Dian, adalah masyarakat di antaranya perempuan.
Perempuan kehilangan kesempatan menempatkan wakil-wakil perempuan di parlemen karena kondisi partai yang masih sangat patriarki. “Rentan terjadi bias gender dalam penentuan wakil rakyat,†katanya.
Dirga Ardiansa, Dosen Politik Universitas Indonesia menyampaikan hal yang sama. Selain perempuan, kelompok marginal juga berpotensi kehilangan ruang partisipasi dalam menentukan wakilnya. Ia mengatakan sistem proporsional tertutup hanya akan merepresentasikan kelompok tertentu dalam partai.
Karena itu dia mendorong publik terlibat aktif mengawasi proses pembahasan. Pengawasan diperlukan karena proses legislasi RUU ini yang cenderung tertutup. Jika sistem ini disahkan, kata Dirga, potensi keberagaman berdasarkan gender atau keragamanan masyarakat dalam parlemen akan semakin berkurang. Pilihan-pilihan masyarakat akan semakin terbatas.
Melihat keterwakilan perempuan yang belum mencapai 30 persen, ia mengatakan tetap diperlukan afirmatif action keterwakilan perempuan dalam proses pemilihan. Menyikapi penurunan persentase wakil perempuan yang terpilih di parlemen pada pemilu legistlatif 2014 dari 18 persen menjadi 17 persen, dengan mengubah sistem pemilihan bukan menjadi jalan keluar yang tepat. Yang diperlukan adalah pendidikan politik bagi perempuan. “Agar perempuan dapat mengejar ketertinggalannya,†katanya.
Berharap dengan afirmatif action partai dengan menempatkan perempuan pada nomor strategis saat penerapan sistem proporsional tertutup, menurut Dirga, bukanlah proses yang mudah. Lobi untuk mendapatkan nomor strategis, “Prosesnya jauh lebih susah dan berlapis. Hanya akan memunculkan perempuan pada level simbolik,†katanya.
Karena itu Dian pun meminta anggota parlemen tetap mempertahankan kuota 30 persen dalam RUU Pemilu. Selain itu KPI meminta ketentuan terkait partai politik juga mengatur keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen di kepengurusan partai pada semua level struktur.
Data KPU pada Pemilu 2014 lalu, jumlah pemilih perempuan sekitar 93 juta orang. Hampir setara dengan dengan jumlah pemilih laki-laki. Sedangkan jumlah perempuan di DPR RI ini saat ini 97 orang dari 560 orang anggota parlemen.
Global Gender Gap Report 2016 yang dikeluarkan World Economic Forum, dalam hal penguatan politik perempuan menempatkan Indonesia pada ranking 72 dari 144 negara. Turun satu peringkat jika dibandingkan laporan yang sama pada 2015.
Data Global Gender Gap di Indonesia 2006-2015
Sumber: independen.id oleh Y. Hesthi Murthi