Jakarta – Menyambut  Hari Buruh Internasional yang dikenal sebagai May Day, Komite Aksi Perempuan (KAP) melakukan konferensi Pers bersama yang dihadiri oleh anggota KAP terdiri dari Konde Institute, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Arus Pelangi, Cedaw Working Group Indonesia (CWGI), Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP), Institute Perempuan, JALA PRT, Kalyanamitra, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Migran Care, Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), Perempuan Mahardhika, Solidaritas Perempuan dan PurpleCode. Kegiatan tahunan yang dilakukan KAP memasuki tahun ke 4 untuk menyampaikan Catatan Hitam Buruh Perempuan 2016 di LBH Jakarta pada tanggal 29 April 2016.
Catatan Hitam Buruh Perempuan antara lain disampaikan oleh Dian Novita Perempuan Mahardika banyaknya buruh pabrik perempuan yang kehilangan hak maternitynya mulai dari hak cuti haid, cuti melahirkan dan laktasi, selain belum adanya ruang laktasi di pabrik yang melanggar hak anak untuk mendapatkan ASI selama 6 bulan, dimana tidak jarang konsekwensi dari menuntut hak tersebut berakibat pada pemecatan.
Dian Septi dari  Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP) merupakan salah satu dari 23 buruh (selain 2 pengacara publik LBH Jakarta dan 1 mahasiswa) yang menjadi korban kriminalisasi aparat dalam aksi penolakan PP No. 78 tentang Pengupahan karena dianggap melakukan aksi melebihi jam pemberlakuan aksi pada tanggal 30 Oktober 2015 di depan Istana Negara. Dian Septi menceritakan kornologi kejadian dan menyampaikan bahwa kriminalisasi tersebut merupakan bentuk pengekangan terhadap kebebasan berserikat dan menyatakan pendapat.
Lini dari Arus Pelangi menyampaikan catatan dari buruh perempuan yang mengalami diskriminasi karena orientasi seksual dan ekspresi gender mereka. Sampai dengan tahun ini banyak transgender perempuan atau waria yang tidak dapat bekerja di sektor formal seperti institusi pemerintahan dan sektor formal lain. Sanggar SWARA Muda, sebuah organisasi waria muda di Jakarta mendampingi 300 lebih waria muda di Jakarta dan mencatat 55% dari mereka bekerja sebagai pekerja seks, 27% nya sebagai pengamen, 10% bekerja di salon rumahan, 11% dari mereka bekerja sebagai karyawan dan sisanya sebagai karyawan lepas seperti make up dan penghibur di klub malam. Pengamatan Arus Pelangi menunjukkan bahwa banyak diskriminasi yang dialami oleh kelompok Lesbian,  Biseksual dan Transgender (LBT). “Baru-baru ini kami mendapat pengaduan dari seorang perempuan lesbian yang mendapat ancaman pemecatan dari atasan karena yang bersangkutan diketahui sebagai seorang lesbian. Kondisi ini membuat individu perempuan lesbian dan perempuan biseksual tidak mau coming out atas identitasnya,†ujar Lini Zurlia dari Arus Pelangi.
Koalisi perempuan Indonesia yang diwakili Dewi Komalasari menyampaikan hasil temuan permasalahan buruh perempuan di Jawa Tengah dan DIY. Pemahaman buruh perempuan atas program perlindungan sosial adalah program yang diberikan kepada rakyat miskin, walaupun dirasakan jalannya program belum mengatasi kemiskinan namun sebagian besar anggota buruh perempuan ini berharap tetap ada jaminan kesehatan dan pendidikan bagi rakyat miskin. Sementara itu berkaitan dengan perlindungan sosial bagi kepentingan buruh maka yang disoroti adalah ketidakadanya jaminan tentang upah minimal (UMR), fasilitas dalam bekerja (ruang bekerja, ruang istirahat, transportasi), serikat buruh. Upah buruh dirasakan masih rendah bahkan banyak yang tidak sampai UMR, cuti bagi buruh sering ditiadakan, cuti haid tidak ada (bagi buruh perempuan), tidak ada serikat buruh di tempat kerja. Selain itu ada juga perusahaan yang mengangap hanya buruh laki-laki sebagai kepala keluarga maka itu mereka diberikan asuransi berikut keluarganya, namun untuk buruh perempuan dianggap bukan kepala keluarga jadi tidak ada asuransi buat keluarganya.
Solidaritas Perempuan menunjukan bahwa praktek penempatan calon buruh migran sarat dengan aspek perdagangan manusia. Ketimpangan relasi kuasa di tengah sistem migrasi yang tidak aman telah menempatkan Buruh Migran pada posisi rentan terhadap resiko mengalami berbagai gangguan kesehatan, termasuk kerentanan terhadap penularan HIV/AIDS. Risca juga menyampaikan perkembangan terkini dari pembahasan revisi UU PPTKILN, salah satunya mengenai usulan pemerintah mengenai perlindungan terhadap Buruh Migran yang dimulai setelah yang bersangkutan berada di luar negeri, ujar Dewi Risca.
Pekerja perempuan di media juga mengalami hal yang sama, menurut catatan AJI Jakarta terjadi pelecehan seksual yang dialami sejumlah jurnalis perempuan di tempat kerja dimana perempuan dirayu oleh atasannya dan kemudian dilecehkan. Pemecatan jurnalis perempuan, sistem kontrak yang mengakibatkan tidak dapat cuti hamil . Selain itu jurnalis perempuan masih juga mengalami kekerasan karena streotipe gender dan relasi yang tidak setara dengan redaksi yang kebanyakan laki-laki disamping sebagaimana buruh lainnya jurnalis perempuan juga mengalami ketimpangan dalam pemenuhan hak berorganisasi disampaikan Kustiyah dari AJI Jakarta dalam konferensi Pers tersebut.
Laporan : Kokom & Ida
Link :Â http://www.konde.co/2016/04/buku-hitam-buruh-perempuan.html
Foto : konde.co