Kliping Media

0
1891

Dari Temu Jejaring Advokasi Perlindungan Sosial Sumbar

Wartawan : Tim Padang Ekspres – Editor : Elsy – 30 March 2015 13:45 WIB

Program Belum Efektif, Data Amburadul 

Pemerintah boleh saja mengklaim alokasi anggaran pengentasan kemiskinan meningkat sejak lima tahun terakhir. Ironisnya, program pro-poor yang direalisasikan pemerintah pusat hingga daerah, dinilai belum berdampak optimal pada peningkatan kesejahteraan. Apa yang salah?

Salah satu penyebabnya, kebijakan perlindungan sosial yang belum terintegrasi dan komprehensif. Pemerintah pusat dan daerah tampak produktif  menciptakan berbagai program perlindungan sosial, tapi tumpang tindih antar instansi pemerintah dan program pertanggungjawaban sosial perusahaan (CSR).

Hanya indah di atas kertas, tapi mandul dalam pelaksanaan. Tak heran, berbagai program perlindungan sosial dan peningkatan anggaran untuk masyarakat miskin, belum signifikan outcome-nya bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Ini terungkap dalam Focus Group Discussion (FGD) Padang Ekspres kerja sama Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Sumbar  di Adinegoro Room, Graha Pena Padang, Lubukbuaya, Kamis (26/3).

FGD bertajuk “Temu Jejaring Advokasi Perlindungan Sosial Provinsi Sumbar” itu, hadir Sekjen KPI Pusat, Dian Kartikasari dan para aktivis perempuan dari KPI Sumbar, utusan sejumlah satuan perangkat kerja daerah (SKPD) di Sumbar, anggota DPRD dari Pariaman, dan beberapa aktivis Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia (IWAPI) di Sumbar.

Selain belum komprehensif, pada tataran pelaksanaan juga mengalami banyak distorsi dari makna perlindungan sosial sesungguhnya.

Perlindungan sosial masih dipahami sebatas bantuan sosial yang diberikan. Itu pun, pada kenyataannya banyak orang miskin, terutama perempuan yang seharusnya mendapatkan bantuan sosial, justru tidak menerima haknya.

Di Sumbar, tidak efektifnya sejumlah program bantuan sosial, dapat dilihat dari sejumlah program di Dinas Kesehatan dan Dinas Sosial. Yeni S Tanjung, advokat KPI mengatakan, jaminan kesehatan yang ada saat ini tidak berjalan seperti yang direncanakan Dinas Kesehatan dan Dinas Sosial.

Beberapa contoh yang tidak bisa dipungkiri kebenarannya, sebutnya, masih banyak desa yang belum menikmati pelayanan kesehatan yang layak.

“Jaminan kesehatan tidak banyak dirasakan masyarakat karena proses yang berbelit-belit. Banyak masyarakat yang masih tidak mengerti dengan berbagai program jaminan kesehatan yang diluncurkan pemerintah,” ujarnya.

KPI juga menyayangkan kurangnya perhatian Dinas Sosial dan Dinas Kesehatan terhadap ibu hamil. Dari survei KPI di sejumlah daerah, tidak seluruh wilayah di Sumbar bisa mendapat pelayanan layak. Jangankan di pelosok nagari, masyarakat miskin yang tinggal dekat pusat pemerintahan sekalipun, masih termarjinalkan.

Menjawab hal itu, Dinas Kesehatan Sumbar yang diwakili Kepala Seksi Gizi dan Kesehatan Keluarga, Fionaliza mengakui masih banyak lokasi yang tidak tersentuh bantuan jaminan kesehatan. Salah satunya, sulitnya akses dan minimnya anggaran untuk program pemberdayaan kesehatan masyarakat.

Selain itu, tidak maksimalnya pelayanan berbagai program sosial di tengah-tengah masyarakat, tak lepas dari kekurangtahuan masyarakat terhadap program-program tersebut. Contohnya dalam pelayanan jaminan kesehatan, hingga kini belum ada jaminan orang miskin terlayani pengobatan gratis.

Jangankan keluarga miskin, masyarakat kelas menengah saja rentan jatuh miskin bila salah seorang anggota keluarganya harus menjalani pengobatan di rumah sakit.

Tanti Herida, Sekretaris Wilayah KPU Sumbar, mengakui sering memfasilitasi pasien dari keluarga miskin untuk mendapatkan pelayanan pengobatan gratis di rumah sakit.

Dian Kartikasari berpendapat, bila pemerintah daerah bersungguh-sungguh melaksanakan berbagai program perlindungan sosial dari pemerintah pusat— khususnya program jaminan kesehatan—dia meyakini keluarga miskin Indonesia berkurang signifikan setiap tahun.

Anekdot “orang miskin dilarang sakit” hingga kini masih terjadi meski telah ada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BBJS) Kesehatan. Ini terlihat dari pemberitaan media lokal yang sering mengangkat kisah orang-orang miskin “menggendong penyakitnya ke mana-mana” karena tiada biaya berobat.

Fakta itu dibenarkan Zainal, Direktur Konsorsium Pengembangan Masyarakat Madani (KPMM).  Menurutnya, ada distorsi antara data riil orang miskin di lapangan, dengan yang dimiliki instansi pemerintah.

Data peserta penerima Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), Jamkesda, Jaminan Persalinan (Jampersal), bantuan langsung subsidi masyarakat (BLSM), hingga seaberek program perlindungan sosial lainnya, tak jarang melebihi dari data keluarga miskin di Sumbar.

Anehnya, hampir setiap saat terdengar orang miskin di daerah ini yang telantar karena tidak mendapat perlindungan sosial dari negara.

“Kalau untuk laporan ke pusat, semua pemda mengklaim sukses menekan kemiskinan. Giliran mendata penerima program perlindungan sosial, jumlahnya bisa berlipat ganda. Sudahlah begitu, masih saja ada orang-orang miskin yang tidak dapat BPJS Kesehatan, BLSM, raskin dan lainnya,” kritik Fitri Yanti, aktivis KPI Sumbar.

Fitri Yanti berani menyebut data penerima program perlindungan sosial di Sumbar, banyak salah sasaran. Data rumah tangga sasaran (RTS) penerima bantuan, tak jarang ditemui orang-orang yang memiliki akses dengan pengelola program. “Sebut saja Jampersal, malah dimiliki orang mampu,” tegasnya.

Fionaliza tak menampik realitas tersebut. “Kami juga sering menemukan pasien bergelang dan berkalung emas, pakai smartphone  yang mendapat fasilitas untuk orang miskin tersebut,” akunya.

Bagaimana program perlindungan sosial di sektor lain?  Setali tiga uang. KPI dan KPMM menilai program-program pemberdayaan masyarakat marjinal itu, masih setengah hati. Di Sumbar, program-program pro-rakyat tersebut berjalan sendiri-sendiri.

“Di sinilah peran Bappeda sebagai dirijen, mengkoordinasikan berbagai program perlindungan sosial lintas instansi. Kalau tidak, wajar saja bila yang dapat bantuan, kadang orangnya itu itu saja,” kata Pemred Padang Ekspres Nashrian Bahzein.

Sebut saja program pemberdayaan ekonomi masyarakat menengah ke bawah di Dinas Kelautan dan Perikanan, Dinas Koperasi dan UMKM, Dinas Pertanian, Peternakan dan lainnya, penyerapan anggarannya tidak maksimal di lapangan karena minimnya sosialisasi kepada masyarakat penerima.

“Saya menilai program pemerintah pusat dalam pemberdayaan masyarakat miskin relatif bagus. Yang lemah itu justru komitmen pemda bersungguh-sungguh merealisasikan program-program tersebut,” kata Yenny S Tanjung.

Ima Syarif Abidin, aktivis KPI Pariaman, tidak menampik muara dari amburadulnya program perlindungan sosial di Sumbar, adalah karut marutnya data penerima bantuan.

“Ketua Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD) itu kan kepala daerah. Makanya, wajar saja data orang miskin itu selalu tak akurat karena banyak kepentingan di dalamnya. Bantuan untuk orang miskin cenderung pencitraan, bukan bersungguh-sungguh membantu rakyatnya kekuar dari jeratan kemiskinan,” kata aktivis KPI yang juga anggota DPRD Pariaman, Fitri Nora.

Perlu diketahui, katanya, BPS (Badan Pusat Statistik) hanya melakukan survei ke masyarakat. Untuk penentuan akhir siapa yang dinyatakan miskin, dilakukan TKPKD.

“Tim tersebut diketuai wakil kepala daerah dari masing-masing daerah, yang tentu tak bisa dilepas dari ranah politik. Bisa saja data-data dari BPS tersebut diolah kembali sedemikian rupa untuk pencitraan. Bisa jadi dikurangi dan bisa jadi pula ditingkatkan,” ucapnya.

Untuk mengatasi persoalan itu, Fitri Nora berpendapat, penentuan seseorang miskin atau tidak mesti dilakukan bersama-sama secara terbuka. Mulai dari tingkat musrenbang di nagari, jorong, atau, kelurahan.

“Di sana diumumkan langsung kepada masyarakat, si A miskin atau si B miskin. Nah, kalau kenyataan tidak tepat, bisa langsung disanggah,” tuturnya.

“Orang miskin mesti mendapat label di rumahnya. Saya rasa itu akan bisa meminimalisir orang miskin palsu. Sebab, orang-orang yang sebenarnya mampu, akan malu bila dicap miskin,” tukas Ima.

Menanggapi itu, Elvita dari Dinas Sosial Sumbar, Jarnita dari Dinas Koperasi dan UMKM, Anastasia dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, dan Fionaliza dari Dinkes, lagi-lagi berdalih minim anggaran untuk melaksanakan program-program pemberdayaan tersebut.

Zainal menilai persoalan anggaran bukanlah masalah utama. Tapi, komitmen birokrasi sebagai eksekutor yang diragukan menjalani tugas mulia tersebut.

“Kalau dana pemda kurang, ka nada Baznas, dan dana CSR. Kalau ini disinergikan, saya yakin kelompok rentan di Sumbar berkurang drastis,” katanya.

Dian Kartikasari mengatakan, program pengentasan kemiskinan yang paling efektif adalah, memberdayakan kaum perempuan di setiap daerah.

“Ibu rumah tanggalah yang paling merasakan dampak kemiskinan di sebuah keluarga, dan mereka pula yang paling efektif diberdayakan untuk membantu ekonomi keluarga,” kata Dian. (*)

Sumber :http://www.koran.padek.co/read/detail/22158

NO COMMENTS