Pemilu 2014 dan Keterwakilan Perempuan
- Written by  Issha Harruma
- Wed,28 August 2013 | 21:09
KBR68H – Isu keterwakilan perempuan di parlemen menjadi perhatian utama para aktivis perempuan. Salah satu organisasi yang berkonsentrasi dengan isu keterwakilan perempuan dalam lembaga parlemen adalah Jaringan Perempuan dan Politik. Lembaga ini menegaskan akan memperjuangkan keterwakilan perempuan dalam Pemilu 2014 mendatang.
“Jaringan perempuan dan politik terdiri dari hampir 60 organisasi perempuan, baik itu LSM/NGO, maupun organisasi perempuan berbasis keagamaan yang memiliki struktur di tingkat daerah. Nanti diharapkan geraknya itu masif,†jelas Dewi, salah satu anggota Jaringan Perempuan dan Politik dari Koalisi Perempuan Indonesia.
Dewi mengatakan semua anggota jaringan perempuan politik ini akan melakukan kampanye bersama untuk meningkatkan angka keterwakilan perempuan.
“Kita juga mengagendakan penguatan kapastitas caleg perempuan dan akan melakukan pendidikan untuk pemilih. Kita sudah memetakan siapa dan melakukan pendidikan politik dimana. Tentu semuanya harus di-cover,†kata Dewi.
Advokasi pun tidak hanya dilakukan menjelang pemilu. Ketika para caleg sudah terpilih, mereka tetap mendampingi untuk menghasilkan kebijakan-kebijakan yang non-diskriminatif dan pro perempuan.
Aturan soal keterwakilan perempuan dalam Pemilu 2014 mendatang sudah jelas. Partai politik wajib mengajukan minimal 30 persen perempuan sebagai calon legislatif. Aturan ini telah tercantum di dalam UU No 8 Tahun 2012 dan dikukuhkan dalam Peraturan KPU nomor 7 tahun 2013 tentang Pencalonan Anggota Legislatif. Hal ini bukan saja sebagai bentuk dorongan kepada kaum perempuan untuk berpolitik, tapi juga sebagai jaminan kesetaraan kesempatan antara laki-laki dan perempuan untuk dipilih dalam pemilu.
Kekhawatiran Politik Uang
Beragam hambatan diperkirakan akan dihadapi para caleg perempuan untuk dapat masuk ke parlemen. Menurut Dewi, adanya praktik politik uang dan kecurangan-kecurangan pada saat pencoblosan dan penghitungan suara merupakan bentuk kekhawatiran yang dirasakan bukan hanya oleh caleg perempuan, namun juga caleg laki-laki.
Kecurangan inilah yang membuat suara pemilih bisa hilang dan merugikan caleg. Selain itu, dana kampanye yang tidak murah juga menjadi masalah bagi para caleg perempuan yang mayoritas tidak memiliki dukungan finansial yang besar.
Hambatan ini dibenarkan oleh salah satu anggota jaringan perempuan politik dari Migrant Care, Anis Hidayah. Anis mengatakan hambatan lainnya yaitu partai politik yang saat ini masih sangat patriarkis.
“Walaupun secara administratif semua partai sudah memenuhi syarat 30 persen caleg perempuan, tetapi apakah nanti partai politik mendorong secara penuh semua itu bisa terpilih secara maksimal. Saya juga khawatir nanti jangan-jangan dukungannya lebih banyak ke caleg laki-laki,†kata Anis.
Biasanya, caleg perempuan hanya bermodalkan semangat dan kesadaran serta kemauan untuk mengubah keadaan Indonesia saat ini. Untuk itulah dibutuhkan organisasi-organisasi untuk menyokong para caleg perempuan, salah satunya jaringan perempuan dan politik ini.
Migrant Care mengungkap, sekitar 70 persen buruh migran yang bekerja di luar negeri adalah perempuan. Hal inilah yang membuat mereka membutuhkan wakil yang lebih “mengerti†dan kemudian bergabung bersama jaringan perempuan dan politik.
“Selama ini apa yang dihadapi buruh migran itu rata-rata kekerasan berbasis gender. Karena mereka perempuan kemudian mereka mengalami pelanggaran hak-hak khusus. Mereka punya kerentanan yang berbeda dari buruh migran laki-laki. Jadi mau tidak mau harus menggunakanan pendekatan berbasis gender. Kan tidak semua caleg punya itu. Jadi kita mendorong bukan hanya perempuan, tapi juga laki-laki yang punya perspektif kesetaraan perempuan kita pilih. Tapi, kita utamakan perempuan yang punya persepektif kesetaraan itu,†jelas Direktur Migrant Care Anis Hidayah mengenai alasan bergabungnya Migrant Care.
Anis mengatakan selama ini, KPU sebagai penyelenggara pemilu belum memberikan informasi yang signifikan mengenai caleg di daerah pemilihan (Dapil) DKI Jakarta II tempat suara pemilih luar negeri digabungkan di Dapil ini. Informasi seperti latar belakang caleg, bagaimana agenda mereka, dan apa yang mau diperjuangkan dilakukan sendiri oleh Migrant Care, seperti pada pemilu 2009 lalu.
Saat ini, Migrant Care tengah mengidentifikasi daftar caleg tetap (DCT) Dapil II. Selanjutnya, mereka akan memberikan rekomendasi mengenai caleg yang berkualitas, punya agenda yang jelas dan berpihak kepada mereka. Mereka juga harus memastikan caleg perempuan memiliki kepentingan yang lebih fokus untuk memperjuangkan nasib perempuan terutama buruh migran di berbagai negara.
Editor: Anto Sidharta