KEKERASAN BERBASIS AGAMA BERLANJUT, AKIBAT KELALAIAN PEMERINTAH DALAM PERLINDUNGAN, PEMAJUAN, PENEGAKAN,DAN PEMENUHAN HAM
Konstitusi Indonesia (UUD1945) secara tegas mengatur bahwa Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.
Tanggung jawab tersebut termasuk di dalamnya ketentuan yang diatur dalam Pasal 28 UUD1945, yaitu hak bagi setiap orang atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi, berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat dan berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
Namun, Peristiwa Kekerasan terhadap Jemaat HKBP Filadelphia dan masyarakat yang hadir dalam ritual keagaamaan pada 6 Mei 2012, serta kekerasan terhadap peserta diskusi bedah buku Love, Liberty, and Allah dan narasumber Irshad Manji, yang terjadi di Jakarta (Gedung Salihara) pada 5 Mei dan di Yogyakarta (Kantor LKIS ) pada 9 Mei 2012, merupakan bukti nyata bahwa pemerintah, lalai terhadap tanggung jawab konstitusionalnya dalam perlindungan pemenuhan Hak Asasi Manusia.
Tiga peristiwa di bulan Mei tersebut menambah panjang daftar peristiwa hitam: Kekerasan Berbasis Fundamentalisme Agama, yang terjadi dalam lima tahun terakhir ini.
Adalah tugas dan tanggung jawab pemerintah untuk memastikan aparat kepolisian, sebagai alat kelengkapan negara, melaksanakan fungsinya untuk menjaga dan memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberi perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.
Namun, dari peristiwa-peristiwa kekerasan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok yang menggunakan Identitas Agama tertentu sebagai alasan pembenaran untuk melakukan kekerasan, polisi cenderung berpihak terhadap pelaku kekerasan atau sekurang-kurangnya, polisi melakukan pembiaran dan tidak melakukan upaya antisipasi maupun penghentian terhadap tindak kekerasan yang terjadi.
Patut disayangkan, bahwa pemerintah tidak bertindak tegas untuk memberikan sanksi atau sekurang-kurangnya teguran terhadap sikap dan tindakan aparat kepolisian ini. Demikian juga, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang mengemban tugas pengawasan terhadap jalannya pemerintahan tidak mempermasalahkan sikap aparat kepolisian dan pemerintah.
Padahal penyerangan dan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok yang mengatasnamakan agama adalah nyata-nyata merupakan tindak pidana, sebagaimana diatur dalam Pasal 170 ayat 3 KUHP tentang penyerangan terhadap barang dan/atau barang yang dapat diancam pidana di atas lima tahun.
Pembiaran oleh Pemerintah, aparat Kepolisian dan DPR terhadap tindak pidana penyerangan orang dan barang tersebut, menunjukkan bahwa pejabat negara yang berwenang tidak taat terhadap hukum yang berlaku, yang pada gilirannya akan merusak sendi-sendi negara sebagai negara hukum dan negara demokratis.
Koalisi Perempuan Indonesia, dengan ini menuntut Pemerintah, Kepolisian dan DPR untuk tunduk dan menegakkan hukum di Indonesia terhadap kasus-kasus penyerangan barang dan orang yang terjadi pada tanggal 5, 6 dan 9 Mei 2012 sebagaimana tersebut di atas.
Koalisi Perempuan Indonesia menuntut pihak Kepolisian, agar:
1. Mengusut, memeriksa dan memproses secara hukum kelompok-kelompok pelaku tindak pidana penyerangan.
2. Memastikan kelompok penyerang memberikan ganti kerugian terhadap kerugian yang dialami oleh pihak-pihak yang diserang.
3. Memastikan bahwa peristiwa serupa, termasuk berbagai tindak kekerasan lain berbasis agama –yang kini marak terjadi, tidak akan pernah terulang kembali, di mana pun di wilayah Indonesia
4. Menjalankan Fungsi keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakkan hukum, serta perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat tanpa diskriminasi
Koalisi Perempuan Indonesia menuntut Pemerintah dan DPR, agar:
1. Hak-hak Konstitusional Warga Negara Indonesia dan setiap orang yang ada di Indonesia dapat dinikmati tanpa adanya ancaman dari pihak lain untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang merupakan HAM
2. Memastikan Aparat Keamanan, khususnya Kepolisian Republik Indonesia melaksanakan fungsi dan tugasnya, dan menghentikan segala bentuk diskriminasi
Tuntutan ini didasarkan pada cita-cita Koalisi Perempuan Indonesia Untuk Keadilan dan Demokrasi untuk mencapai Terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender menuju masyarakat yang demokratis, sejahtera dan beradab di Indonesia.
Jakarta, 10 Mei 2012
Dian Kartikasari,SH
Sekretaris Jenderal