Pernyataan Sikap di Hari Perempuan International 2011

0
1061

PERNYATAAN
KOALISI PEREMPUAN INDONESIA
BERTEPATAN DENGAN 100 TAHUN HARI PEREMPUAN INTERNASIONAL
PEREMPUAN BERSATU MENUNTUT DIAKHIRINYA KRISIS

Seratus tahun lalu, ketika gerakan perempuan di seluruh dunia melakukan aksi damai untuk menuntut pemenuhan hak-haknya, para pemimpin negara-negara memandangnya sebagai gerakan radikal. Namun seiring berjalannya waktu, pada 16 Desember 1977, Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT)nya menerbitkan Resolusi PBB No 32/142, sebagai pengakuan atas Peran Perempuan dalam Memperkuat Keamanan dan Perdamaian dunia dan dalam perjuangan melawan kolonialisme, diskriminasi rasial serta semua bentuk  agresi, penguasaan dan dominasi asing.  PBB memberikan penghargaan kepada gerakkan perempuan di seluruh dunia, yang bekerja secara nyata menentang segala bentuk ketidak adilan terhadap perempuan, anak dan kelompok yang termarjinal, yang telah dilakukan sejak tahun 1911 an.

Seratus tahun sudah, perempuan tanpa henti mendesakkan berbagai tindakan dan kebijakan untuk mengakhiri ketidak adilan. Namun hingga hari ini, perempuan, anak-anak-terutama anak perempuan dan kelompok termarjinal tetap dihadapkan kepada ketidak adilan.

Dalam hal pendidikan jutaan perempuan di muka bumi masih mengalami buta huruf dan kehilangan kesempatan untuk menikmati pendidikan dasar. Karena ketiadaan kemampuan menjangkau layanan pendidikan secara ekonomi maupun fisik, sebagai akibat mahalnya pendidikan dan jauhnya tempat layanan pendidikan. Lebih dari itu, anak-anak perempuan masih terus terjebak dalam praktek perkawinan anak-anak, sebagai akibat dilestarikannya nilai budaya dan ajaran agama yang mendukung perkawinan anak.

Setiap tiga menit sekali perempuan meninggal karena melahirkan dan menjalani nifas. Indonesia menjadi penyumbang terbesar tingginya angka kematian ibu melahirkan. Sesungguhnya, kematian itu tidak perlu terjadi. Jika saja semua pemerintah di dunia menciptakan kebijakan kesehatan yang terjangkau bagi perempuan miskin. Namun seiring dengan kebijakan Pasar Bebas , pendidikan bidang kesehatan dan layanan kesehatan menjadi komoditas bisnis. Kebijakan negara pun mengabdi pada upaya privatisasi layanan kesehatan. Seperti kebijakan di Indonesia : Pembatasan Praktek dokter maksimal di tiga tempat layanan kesehatan, membuat dokter-dokter meninggalkan Layanan Kesehatan untuk kaum miskin seperti Balai Kesehatan Ibu dan Anak (BKIA). Ratusan BKIA pun tutup akibat kebijakan ini. Perempuan-perempuan di dorong untuk masuk ke dalam pendidikan Keperawatan dan kebidanan. Bukan untuk memenuhi kekurangan jumlah Perawat dan Bidan di Indonesia, yang hingga kini masih membutuhkan belasan ribu orang. Tetapi untuk dikirim ke luar negeri, memenuhi perjanjian kerjasama antar negara. Layanan Kesehatan bagi orang miskin pun menjadi lahan bisnis bagi pengusaha asuransi. Akses terhadap obat murah bagi kaum miskin semakin kecil, karena berbagai obat-obatan dikuasai oleh perusahan-perusahaan obat internasional yang memiliki hak paten.

Perempuan dan kaum miskin menjadi kaum terusir dari tanahnya sendiri sebagai akibat dari kebijakan investasi di berbagai bidang-terutama di bidang pertambangan perkebunan, dan perdagangan. Petani kehilangan sawah dan kebunnya akibat kebijakan yang menggusur mereka. Kaum miskin kota diusir dan digusur dengan kekerasan. Nelayan dan masyarakat pesisir dirintangi  melaut melalui kebijakan reklamasi. Derajat kesehatan masyarakat-terutama perempuan di sekitar wilayah pertambangan dan perkebunan secara terus-menerus tergerus akibat menurunnya kualitas lingkungan hidup.

Buruh-buruh perempuan menjadi kelompok yang paling rentan terhadap pemutusan hubungan kerja dan berbagai bentuk kekerasan dengan kondisi kerja yang intimidatif dan eksploitatif. Jutaan buruh perempuan dari berbagai pabrik terlantar akibat perpindahan perusahaan ke kota atau ke negara lain, akibat kebijakan Capital Flight. Sebagian besar dari mereka ditinggalkan tanpa dibayar upahnya.

Pekerja Rumah Tangga di dalam dan di luar negeri mengalami ekploitasi dan diskriminasi secara sistematis. Negara absen memberikan perlindungan terhadap PRT di dalam maupun di Luar Negeri. Kondisi mereka semakin tidak menentu

Atas nama perlindungan lingkungan dan penurunan emisi karbon, negara-negara berkembang dipaksa dan dibeli dengan utang untuk menjaga hutannya, mengosongkan hutan yang berpenghuni dan menjauhkan akses masyarakat adat terhadap sumber penghidupan dari hutan. Perempuan dan anak-anak menjadi korban  paling menderita dari kebijakan ini.

Jutaan masyarakat miskin mengalami gizi buruk, karena hak atas pangan dan air bersih tidak terpenuhi. Kebijakan liberalisasi perdagangan-termasuk perdagangan bahan pangan pokok membuat beban perempuan sebagai pengelola keuangan rumah tangga dan penyedia pangan semakin berat. Pemberlakuan terhadap air bersih sebagai komoditas komersial, mengakibatkan jutaan anak-anak mati akibat kekurangan air bersih. Sementara kebijakan ketehanan dan kedaulatan semakin tidak jelas. Hingga hari ini kebijakan kedaulatan pangan hanya berkutat di ranah teori dan aturan normative,  tidak pernah menjadi kebijakan operasional.

Peran Perempuan dalam Politik dan dilembaga publik semakin dihadapkan pada tantangan akibat politik electoral yang liberal sejajar dengan system politik ekonomi yang berlaku. Kesempatan perempuan untuk menempati posisi-posisi strategis semakin kecil sebagai akibat dari system politik yang tidak mendukung serta menggunaan tafsir agama yang melarang perempuan sebagai pemimpin.

Kekerasan berbasis gender (Gender Base Violence) masih terus berlanjut, kekerasan terhadap perempuan-karena jenis kelamin dan gendernya perempuan dilakukan oleh actor negara maupun actor masyarakat. Kekerasan ini terjadi di dalam rumah, di tempat kerja, di ruang public dan di wilayah-wilayah konflik. Selain itu, dalam tiga tahun terakhir, berbagai bentuk kekerasan atas nama agama terus terjadi. Kebebasan beribadah yang telah dijamin oleh konstitusi pun mengalami ancaman serius.

 

Sehubungan dengan kehidupan perempuan yang semakin terpuruk di Indonesia maupun di berbagai negara di dunia, Koalisi Perempuan Indonesia mendesak pemerintah Indonesia untuk:

1. Melakukan tindakan-tindakan nyata, merumuskan ulang kebijakan termasuk legislasi untuk menghentikan berbagai bentuk ketidak adilan bagi perempuan .

2. Menepati janji untuk melaksankan konstitusi UUD 45, Konvensi Internasional Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan dan konvensi internasional lainnya yang telah diratifikasi oleh Indonesia, serta memastikan upaya percepatan Pencapaian Millenium Development Goal direalisasikan oleh pemerintah Pusat dan Daerah

3. Secara sungguh-sungguh menghentikan segala bentuk kekerasan yang selama ini dilakukan oleh negara maupun actor non negara

4. Memberikan ruang yang cukup bagi perempuan dan organisasi-organisasi perempuan untuk melaksanakan perannya sebagai penggerak untuk mewujudkan perdamaian dan Keamanan Manusia (Human Security)

Bertepatan dengan Hari Perempuan International ini, Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi , mendukung seruan Gerakkan Perempuan di Seluruh dunia dan Seruan 10 Tuntutan PKK (Perempuan Keluar dari Krisis) yang disampaikan oleh Barisan Perempuan Indonesia untuk menghentikan berbagai ketidak adilan dan krisis yang dialami oleh perempuan.

Koalisi Perempuan Indonesia akan senantiasa berjuang di tingkat nasional dan internasional  untuk mewujudkan perdamaian, demokrasi dan keadilan.

 

Jakarta 8 Maret 2011

Dian Kartikasari

Sekretaris Jenderal

NO COMMENTS