Makan Bergizi Gratis (MBG): Antara Janji Politik dan Risiko di Piring Anak

0
6

“Ketika program besar negara menjanjikan gizi, namun meninggalkan jejak keracunan, kebingungan, dan ketimpangan”.

Sampai hari ini, program Makan Bergizi Gratis (MBG) masih menjadi bahan perdebatan di ruang publik. Di banyak daerah, laporan keracunan anak sekolah terus bermunculan, sejak diskusi ini dilaksanakan jumlahnya sudah lebih dari 11.500 kasus. Program yang dimaksudkan untuk menanggulangi stunting dan meningkatkan kualitas gizi justru memunculkan persoalan baru: dari tata kelola yang kabur, standar penyediaan makanan yang lemah, hingga kebingungan peran sekolah sebagai pelaksana utama program. Narasi-narasi alternatif pun muncul, mulai dari ajakan untuk menunda pelaksanaan program, sistem yang masih perlu untuk dibenahi, hingga usulan agar pemerintah merancang skema yang lebih adaptif dan transparan.

Atas dasar itulah Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) bersama sejumlah jaringan masyarakat sipil mengundang publik dan media untuk berdialog tentang bagaimana menempatkan MBG sebagai bagian dari Program Besar Negara serta meninjau ulang komitmen negara terhadap kesejahteraan rakyat. Diskusi ini bertajuk, “Polemik Makan Bergizi Gratis dan Komitmen Negara untuk Kesejahteraan Rakyat”. Hadir sebagai pembicara Eva Nurcahyati dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Media Wahyudi Askar dari CELIOS, Armayanti Sanusi dari Solidaritas Perempuan, Ardi Manto Adiputra dari Imparsial, dan Mieke Verawati Tangka dari KPI.

Anak-anak menjadi korban keracunan MBG… program ini, harapannya bisa menjamin pemenuhan gizi dan hak anak, menjamin kesehatan anak, namun fakta yang kita temukan justru sebaliknya, mencederai hak anak”, ujar Ija Syahruni, Koordinator Nasional Famm Indonesia, yang juga sebagai moderator dalam diskusi ini. Kalimat tersebut membuka percakapan panjang tentang program MBG yang semula dielu-elukan sebagai langkah revolusioner. Namun, di balik jargon gizi dan kepedulian, data menunjukkan anak-anak justru mengalami keracunan pangan akibat makanan yang didistribusikan dari program tersebut. Guru dan orang tua kebingungan menentukan kepada siapa harus melaporkan kejadian ini.

Eva Nurcahyati membuka diskusi dengan mengingatkan bahwa MBG merupakan program janji politik dengan skala luar biasa besar dan karena itu menuntut tata kelola yang lebih ketat. “Program ini skalanya sangat besar. ICW belum menemukan konteks tindak korupsinya, tapi kami mencatat beberapa celah”, ujarnya. Ia menyoroti fakta bahwa anggaran pendidikan 2025 mencapai Rp 724,3 triliun dan di dalamnya terdapat alokasi Rp 56,8 triliun untuk MBG, sebagian di bawah fungsi pendidikan yang “tidak berkaitan langsung dengan kegiatan pendidikan”. Keterlibatan Kementerian Pertahanan dalam program pangan menurutnya menambah persoalan akuntabilitas. Eva juga mencatat proses pengadaan Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang dilakukan tanpa tender dan tanpa mekanisme pertanggungjawaban publik yang jelas, sementara itu pemerintah juga belum membuka hasil investigasi transparan atas kasus-kasus keracunan massal.

Dari sisi ekonomi dan desain kebijakan, Media Wahyudi Askar menyoroti absennya dasar kebutuhan masyarakat. “Ada enggak satu data bahwa keluarga butuh MBG dalam konsep makan siang seperti sekarang? Tidak ada”, katanya. Ia mengungkapkan hasil survei yang menunjukkan program MBG bahkan berada di peringkat bawah dalam prioritas keluarga penerima manfaat. Media juga mengingatkan adanya ketimpangan distribusi: sekolah swasta mewah di kota besar ikut menikmati subsidi, sementara sekolah di wilayah miskin justru menghadapi kekurangan fasilitas. “Kebijakan sebesar ini tidak boleh dijalankan seperti rem blong”, tegasnya, mengingatkan bahwa program berpotensi menggerus anggaran pendidikan dan dana kesehatan yang lebih mendesak.

Armayanti Sanusi dari Solidaritas Perempuan mengajak peserta memandang MBG dalam kerangka politik pangan yang lebih luas. Ia menghubungkan program ini dengan sejarah panjang liberalisasi dan korporatisasi pangan yang meminggirkan produsen kecil dan pengetahuan lokal. “MBG bukan pemecah akar persoalan, tapi bagian dari politik transaksional dalam lingkaran oligarki”, ujarnya. Bagi Armayanti, ketiadaan partisipasi bermakna perempuan dalam desain program merupakan cacat mendasar. Ia mendesak pemerintah melakukan evaluasi menyeluruh sebelum memperluas pelaksanaan. “Hentikanlah! Karena partisipasi perempuan dan rekognisi inisiatif lokal seharusnya jadi dasar, bukan hiasan”, tegasnya.

Dari perspektif hak asasi manusia, Ardi Manto Adiputra dari Imparsial menyoroti dimensi militerisasi dalam program ini. “MBG ini bukan gratis dan tidak bergizi, malah berpotensi sebagai ‘makan beracun gratis’”, ujarnya, merujuk pada pelibatan unsur militer yang menurutnya bisa mengaburkan tanggung jawab sipil. Ia menegaskan prinsip HAM bahwa pemenuhan gizi harus sejalan dengan hak-hak lain yang tidak boleh dikorbankan. “Hak asasi tidak bisa dibagi-bagi; jangan sampai pemenuhan gizi mengurangi hak pendidikan dan kesehatan”, katanya.

Di bagian penutup diskusi, Mieke Verawati Tangka dari Koalisi Perempuan Indonesia menegaskan kembali dimensi politik dan ketimpangan gender dalam pelaksanaan MBG. “Ini program politik, program bagi-bagi kemenangan”, ujarnya lugas. Mieke menyoroti kontras yang tajam antara besarnya anggaran MBG, yang bisa “makan satu triliun per hari”, dan kecilnya insentif bagi kader posyandu yang hanya Rp 300 ribu per tiga bulan, sering pula terlambat dibayarkan. “Kenapa bukan mereka yang dikuatkan? Kenapa bukan itu yang diberikan alokasi?” tanyanya retoris. Ia mengingatkan bahwa sistem posyandu, taman gizi, dan kantin sekolah binaan BPOM sudah terbukti berjalan baik dan seharusnya diperkuat, bukan digantikan oleh skema baru yang top-down.

Mieke juga menyoroti bias pangan impor dalam menu MBG, seperti penggunaan edamame di sekolah elit, yang mengabaikan potensi pangan lokal. Bagi KPI, ini bukan semata isu gizi, melainkan persoalan kedaulatan pangan dan keadilan sosial. Ia menyerukan agar program dievaluasi total, bahkan bila perlu dimoratorium sampai ada mekanisme kontrol mutu dan pelibatan masyarakat yang jelas. “Kalau ini tidak diseriusi, bisa menghabisi anak-anak kita”, katanya menutup pernyataannya.

Para pembicara sepakat bahwa MBG hanya akan benar-benar bergizi bila pemerintah berani menata ulang tata kelolanya. Transparansi dan akuntabilitas anggaran harus menjadi prasyarat utama; pelibatan kementerian yang berkompeten dan partisipasi publik mesti dijamin. Penguatan inisiatif lokal, seperti: posyandu, taman gizi, kantin sekolah, serta penggunaan pangan lokal perlu dijadikan fondasi, bukan pelengkap. Mereka juga mendorong dibentuknya mekanisme pengawasan independen dan kanal pengaduan masyarakat, serta pemulihan bagi keluarga korban keracunan.

Koalisi Perempuan Indonesia sendiri menegaskan bahwa negara wajib memenuhi hak gizi anak tanpa mengorbankan hak dasar lain. KPI menyerukan penanganan korban dan kompensasi yang layak; transparansi penuh atas anggaran dan pengadaan; pelibatan bermakna perempuan, guru, dan keluarga dalam seluruh proses program; penguatan ekosistem posyandu dan pangan lokal; serta moratorium terbatas bila perbaikan struktural tidak segera dilakukan. Diskusi hari itu menyingkap paradoks besar antara ambisi negara dan realitas lapangan. Program yang semestinya menjamin hak anak justru menambah beban perempuan, guru, dan komunitas lokal. Gizi bukan hanya urusan nasi dan telur, melainkan ukuran sejauh mana negara menghormati kehidupan warganya. Telur di piring anak bisa menjadi simbol kesejahteraan, atau justru penanda kegagalan kebijakan, semuanya tergantung pada bagaimana kita, sebagai masyarakat, menagih tanggung jawab negara untuk benar-benar memberi makan secara adil dan aman. [KPI]

SHARE
Previous article“Perempuan Bergerak, Bangsa Menguat”
Perjuangan menuju kesetaraan gender bukan hal yang tidak mungkin.

NO COMMENTS

Leave a Reply