Menyingkap Tabir Perkawinan Anak di Kab Tuban, Kab Bogor dan Kab Mamuju

0
1714

“Perkawinan anak merupakan masalah yang terpenting bagi orang Indonesia. Akibat maraknya perkawinan anak, gadis berumur 11 atau 12 tahun dikeluarkan dari sekolah oleh orang tuanya karena hendak dikawinkan.”

Mugarumah

Dalam  Kongres  Perikatan  Perkumpulan Istri Indonesia pada 1928 di Yogyakarta

Perjuangan  kesetaraan  antara  laki  –  laki  dan  perempuan  dalam  rejim hukum   perkawinan   masih   memerlukan   perjuangan   panjang   dan berliku. Salah satu bukti ketidak setaraan antara perempuan dan laki – laki adalah mengenai batas usia minimum untuk dapat menikah. Pasal 7  ayat  (1)  UU  Perkawinan  menyebutkan  “Perkawinan  hanya  diizinkan bila  pihak  pria  mencapai  umur  19  (sembilan  belas)  tahun  dan  pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun.”

Usia  19  tahun  untuk  laki  –  laki  sudah melewati batas  ambang sebagai anak,   namun   batas   usia   16   tahun   untuk   perempuan,   ini   masih termasuk anak-anak. Konvensi Hak Anak, UU Hak Asasi Manusia, dan UU  Perlindungan  Anak  juga  membuktikan  hal  tersebut.  Batas  usia menikah  yang  sangat  minim  untuk  perempuan  adalah  bagian  dari kompromi  politik  pada  masa  UU  Perkawinan  dibuat.  Kompromi  itu dilakukan karena pemerintah pada saat itu mendapatkan tekanan yang kuat dari PPP yang didukung oleh Ormas – Ormas Islam yang dengan keras menolak batas usia minimum untuk menikah.

Akibat dari hukum formal yang melegalkan perkawinan anak memberi andil  negatif  yang  tidak  kecil.  Saat  ini,  Indonesia  termasuk  10  negara dengan    jumlah    perkawinan    anak    tertinggi.    Pada    2015,    UNICEF menyebutkan   1   dari   6   anak   perempuan   di   Indonesia   telah   kawin sebelum   menginjak   usia   18   tahun.   Persoalannya,   penelitian   yang dilakukan   Rumah   Kitab   juga   menunjukkan   jika   dua   per   tiga   dari perkawinan   anak    itu   kandas    dan    bercerai.   Resiko   lainnya    juga

membayangi  perempuan  yang  menjadi  pengantin  anak.  Di  seluruh dunia, sekitar 50.000 remaja perempuan di usia 15-19 tahun meninggal setiap  tahunnya  karena  kehamilan  atau  pada  saat  proses  persalinan. Sekitar satu juta bayi yang lahir dari remaja perempuan juga meninggal sebelum usia mereka mencapai satu tahun. Bayi dari seorang ibu yang melahirkan di bawah usia 18 tahun, 60 persen lebih berisiko meninggal sebelum berusia satu tahun.

Soal  lain  yang  tak  kalah  gawat,  UU  Perkawinan  juga  memberikan ruang bagi anak perempuan di bawah usia 16 tahun untuk dinikahkan dengan  cara  mengajukan  Dispensasi  ke  Pengadilan  atau Pejabat  Lain. Regulasi ini pada dasarnya malah membuat Indonesia tak punya batas usia  minimum  untuk  menikah.  Alasan  moralitas  menjadi  dasar,  pada saat pembahasan di 1973 regulasi dispensasi ini.

Masyarakat   pun   tak   tinggal   diam,   upaya   constitutional   review   ke Mahkamah Konstitusi diajukan pada akhir 2014 untuk mengubah batas usia minimum dan memperketat prosedur dispensasi. Sayangnya pada media    Juni    2015,    Mahkamah    Konstitusi    menolak    “petisi”    dari masyarakat.    Alasannya    sama    dengan    alasan    klasik    pada    masa pembahasan  pada  1973,  moralitas.  Pengadilan  konstitusi  itu  seperti sama  sekali  tidak  percaya  bahwa  anak  –  anak  Indonesia  sama  sekali tidak  punya  problem  moral.  Alih  –  alih  menunjukkan  buktinya  yang memadai,  Mahkamah  Konstitusi  begitu  saja  mengambil  kesimpulan yang berpotensi merusak proses perlindungan anak – anak Indonesia.

Hasil   riset   yang   dilakukan   Koalisi   Indonesia   untuk   Penghentian Perkawinan Anak (Koalisi 18+) di Kabupaten Bogor, Kabupaten Tuban, dan  Kabupaten  Mamuju  mengkonfirmasi  hal  tersebut.  Dalam  periode 2013-2015,  ada  377  permohonan  dispensasi  pernikahan  ke  Pengadilan Agama.     Sebanyak     367     permohonan     dispensasi     disetujui     oleh Pengadilan   Agama.   Umumnya   yang   mengajukan   dispensasi   adalah pihak  perempuan  dan  rentang  usia  yang  dimintakan  dispensasi  ada pada  rentang  10  –  15  tahun.  Yang  cukup  membuat  kejutan  adalah selisih    usia   subyek   pengaju   perempuan   dengan    calon   pasangan nikahnya,  5-30  tahun.  Yang  tertinggi,  selisih  usianya  6-10  tahun.  Tak heran  jika  secara  implisit,  penelitian  ini  menunjukkan  bahwa  proses dispensasi perkawinan malah membuka pintu legal bagi para pedofil.

Lupakan soal moralitas, karena hasil riset menunjukkan jika alasan permohonan dispensasi yang terbesar adalah mengenai “pacaran” dan

“ditolak KUA”. Dan alasan terbesar yang digunakan Pengadilan untuk mengabulkan permohonan dispensasi adalah mengenai “kekuatiran orang tua” yang sulit diukur tentang bagaimana membuktikan kekuatiran tersebut. Hasil penelitian tak menampik bahwa ada alasan kehamilan dan berhubungan seksual yang digunakan, namun jumlahnya justru sangat kecil. Hal ini membuktikan bahwa alasan para penentang batas usia minimum yang layak untuk kawin atas dasar moralitas anak – anak yang terdegradasi justru tidak menemukan basis yang ilmiah kalau tak hendak dikatakan sebagai mitos dari para orang tua.

Hasil riset juga menunjukkan selain Pengadilan begitu gampang mengabulkan permohonan dispensasi ada soal lain  yang  tak  kalah pelik yaitu soal perkawinan yang tak tercatat. Jumlah perkawinan yang tercatat ini diyakini sebagai fenomena gunung es, karena data  mengenai ini tak pernah mudah untuk divalidasi.

Persoalan ini tentu menjadi tantangan yang harus dijawab oleh Pemerintah, DPR, dan juga masyarakat. Perlu ada  pembaruan kebijakan untuk mengatur lebih  rinci  mengenai  pencatatan perkawinan dan upaya untuk mendorong diperbaikinya batas usia minimum perkawinan dan prosedur dispensasi yang lebih  rigid.  Selama ketiga hal tersebut diperbaiki, maka pertaruhannya adalah keselamatan anak – anak Indonesia dan tentu dalam skala yang lebih luas adalah peradaban dari masyarakat Indonesia sendiri.

Naskah dapat diakses melalui link : https://drive.google.com/file/d/1IOtqDB0pdz8cgdWGKdrIV7qsNrY6UaqZ/view?usp=sharing

Koalisi 18+

Koalisi Perempuan Indonesia

NO COMMENTS