Perjuangan Untuk Menghapuskan Frasa “Sudah/Pernah Kawin” sebagai Syarat Pemilih Masih Panjang

0
2483

Siaran Pers

Perjuangan untuk Menghapuskan Frasa “sudah/pernah kawin” Sebagai Syarat Pemilih Masih Panjang

Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dan Koalisi Perempuan Indonesia (KPI)

Jakarta, 29 Januari 2020

Jakarta-Permohonan pengujian Pasal 1 angka 6 UU 8/2015 yang berbunyi “Pemilih adalah penduduk yang berusia paling rendah 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah kawin yang terdaftar dalam Pemilihan”, khususnya terhadap frasa “sudah/pernah kawin” masih akan terus berlanjut.

Hal ini menyusul Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara No.75/PUU-XVII/2019 yang diajukan oleh Perludem dan KPI ditolak Mahkamah Konstitusi (MK).

Sebagai putusan peradilan konstitusi, tentu saja Kami menghormati putusan MK. Dalam prinsip dan semangat untuk terus meneguhkan supremasi hukum, putusan MK mesti dihormati. Tetapi, sebagai sebuah putusan peradilan yang mengikat bagi siapa saja, dan berdampak pada penyelenggaraan negara, khususnya terkait dengan syarat memilih di dalam pilkada, tentu putusan ini juga sangat terbuka untuk dilihat dari berbagai sudut pandang.

Di dalam pembacaan Putusan yang dilakukan pada Rabu (29/1), MK mengatakan frasa “sudah/pernah kawin” dianggap tidak diskriminatif dalam penggunaan hak pilih karena MK menjadikan pengaturan dalam UU Administrasi Kependudukan (UU Adminduk) sebagai pintu masuk di dalam menjawab persoalan konstitusional yang diajukan di dalam permohonan ini.

Menurut MK, kepemilikan kartu identitas kependudukan di dalam UU Adminduk, paling tidak ditentukan oleh dua hal: bagi mereka yang sudah berusia 17 tahun dan/atau sudah pernah kawin. Sejalan dengan hal tersebut, menurut MK, syarat untuk menggunakan hak pilih salah satunya adalah kepemilikan dokumen kependudukan, yaitu KTP.

Kawin juga dianggap MK menandai tingkat kedewasaan seseorang untuk mengambil tindakan hukum dan merupakan pengaturan yang dianggap MK tidak diskriminatif. Di dalam pertimbangannya MK menggunakan pandangan kultural yang menggunakan perkawinan dan kemampuan bekerja atau “kuat gawe” sebagai tanda kedewasaan.

Pandangan ini tentu perlu dilihat dari aspek yang lebih mendalam. Apakah memang pertimbangan kedewasaan itu masih relevan untuk dinilai dari sudah/atau pernah kawin atau sudah kuat bekerja saja.

Dalam konteks hari ini, pandangan ini tentu tidak lagi sepenuhnya tepat atau bisa dibilang sudah tidak relevan. Jika menggunakan pendekatan menekan angka perkawinan anak, menghapuskan diskriminasi terhadap status perkawinan, bahkan melarang memperkerjakan seseorang yang masih berusia anak, pandangan MK ini sangat berdampak signifikan. Dalam batas-batas tertentu, pendekatan MK di dalam mempertimbangkan perkara ini, justru bergerak ke arah yang sebaliknya. Perspektif MK malah mundur ke belakang dalam melihat konteks fenomena perkawinan anak, penghapusan diskriminasi terhadap anak berdasarkan status perkawinan, dan penghapusan memperkerjakan anak.

Jika membaca pertimbangan MK, orang yang sudah kawin meski belum berusia 17 tahun dianggap MK sudah dewasa dan dianggap mampu untuk menggunakan hak pilih di pilkada. Putusan ini bukan kabar yang menggembirakan bagi kami pastinya. Karena MK berfokus pada parameter dewasa secara sederhana dan sempit yaitu “sudah kawin”, padahal paradigma itulah yang harusnya diubah. MK seolah memberi angin segar pada insentif yang bisa diperoleh bagi anak-anak yang kawin usia dini, berupa hak pilih.

Kalau kawin sebelum 17 maka bisa memilih. Padahal kawin sebelum 19 saja merupakan dispensasi karena kondisi yang benar-benar terpaksa. Tapi ternyata dalam pandangan MK, terpaksa yang justru layak diberi kompensasi/insentif berupa hak pilih.

Pertimbangan MK juga tidak terlihat mempertimbangkan penghapusan diskriminasi terhadap terhadap status perkawinan. Padahal, inilah salah satu pokok utama yang dimohonkan untuk dipertimbangkan oleh MK

Kami akan melanjutkan langkah advokasi berikutnya melalui dorongan pada pembuat undang-undang agar dalam Revisi UU Pemilu (UU 7/2017) yang menjadi prioritas legislasi tahun 2020, pengaturan ini bisa diakomodir. Sehingga Revisi UU Pemilu mengatur standar tunggal untuk menjadi pemilih di pemilu maupun pilkada, yaitu berusia 17 tahun pada saat pemungutan suara.

Perludem-Koalisi Perempuan Indonesia

Narahubung:
Fadli Ramadhanil, Manajer Program Perludem, 085272079894.
Dian Kartikasari, Sekretaris Jenderal KPI, 0816759865.

Sumber : Website PERLUDEM

NO COMMENTS