Jangan Buru-Buru Sahkan R-KUHP

0
1353

Pentingnya Keterbukaan dalam Pembahasan RKUHP

Oleh : Ria Yulianti

Pada 5 Mei 2019 yang lalu, Aliansi Nasional Reformasi KUHP telah mengadakan pertemuan dengan berbagai media terkait pembahasan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Dalam pertemuan tersebut dihadiri oleh Maidina (Peneliti ICJR), Ninik Rahayu, S.H., M.S selaku anggota Ombudsman RI dan Mohammad Choirul Anam selaku Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM. Sebelumnya, pada tanggal 30 Mei 2018 Pemerintah dan DPR RI telah sepakat untuk menunda pembahasan RKUHP karena proses Pemilihan Umum, padahal saat itu masih terdapat 9 pending issue yang masih harus di bahas. Namun Pemerintah melalui Kemenkum HAM telah melakukan pembahasan RKUHP secara tertutup. Draft RKUHP yang ada saat ini masih versi 9 Juli 2018, bahkan hingga Mei 2019 belum ada draft RKUHP yang dapat diakses oleh masyarakat sipil, Aliansi Nasional Reformasi KUHP sendiri mencatat sedikitnya 18 masalah yang belum terselesaikan di dalam RKUHP. Sulitnya mendapatkan akses terkait dengan pembahasan yang dilakukan oleh Tim Pemerintah menjadi hambatan bagi masyarakat sipil yang mengawal pembahasan RKUHP.

Dalam pertemuan tersebut Ninik Rahayu mengatakan bahwa Ombudsman RI sebagai lembaga pengawas pelayanan publik, maka terkait revisi KUHP menjadi atensi terutama ada beberapa pasal yang bermasalah. Dalam proses penyusunan RKUHP masih ada isu krusial terkait dengan definisi tindak pidana, baik kesehatan, sektor keamanan, korupsi dan pemenuhan hak perempuan yang mendasar tentang aborsi. Menurutnya apakah sudah ada harmonisasi dengan berbagai peraturan yang ada. Dua hal penting dalam penyusunan RKUHP, pertama adalah keterbukaan sesuai dengan Pasal 5 UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Amanah dalam Undang-Undang yang di dalam konsideran menyebutkan bahwa dalam rangka penyusunan perundang-undangan, negara dalam rangka tidak sekedar membuat Undang-Undang tetapi membangun aturan hukum, dan dalam konteks hukum nasional, maka harus dilakukan secara terpadu, berkelanjutan dalam sistem perlindungan HAM.

Ninik juga menegaskan bahwa “Negara diberikan tanggungjawab untuk menyusun sebuah peraturan maka harus terencana, terpadu dan berkelanjutan dalam sistem hukum nasional yang menjamin hak dan kewajiban segenap rakyat Indonesia”. Apabila prosesnya tidak dilakukan dengan terbuka berarti memiliki potensi maladministrasi. Kedua tentang materi, menurutnya masih ada 18 isu krusial yang masih perlu pembahasan seperti harmonisasi dengan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, UU TPPPO, UU PKDRT dan berbagai aturan hukum lainnya sehingga perlu dipastikan proses harmonisasi, ada keterpaduan, ada perencanaan dan sistem hukum yang sama dalam penyusunan RKUHP.

Mohammad Choirul Anam menjelaskan bahwa Posisi Komnas HAM menolak RKUHP terkait pidana khusus dalam pelanggaran HAM yang berat yang masuk dalam RKUHP, jika hal tersebut dilakukan maka penuntasaan kasus pelanggaran HAM berat yang lama maka akan sulit dilakukan. Dalam pertemuan terakhir yang dihadiri oleh Komnas HAM, KPK, BNN, ketiganya menolak RKUHP jika mengatur kekhususan apabila tindak pidana khusus masuk dalam RKUHP, karena hal tersebut dianggap sebagai pelemaham, bukan penguatan. Bahkan ketiga lembaga telah mengirimkan surat kepada Presiden terkait dengan hal tersebut.

Menurutnya saat pertemuan dengan DPR RI, ada anggapan bahwa RKUHP adalah karya agung atau karya besar bangsa Indonesia yang harus dihargai. Tapi persoalannya, timnya berasal dari ahli pidana semua sehingga perlu adanya masukan dari pihak lain. Dalam RKUHP juga membahas soal moralitas yang menjadi tindak pidana, hal ini membahayakan bangsa kita dalam konteks hukum kedepannya, sehingga jangan disahkan dengan tergesa-gesa.

Dalam pertemuan tersebut terdapat 3 (tiga) tuntutan terhadap RKUHP dalam pembahasan di masa sidang ke-V. Pertama adalah RKUHP tidak disahkan buru-buru karena masih ada berbagai masalah didalamnya, kedua semua proses di presentasikan dan catatan rapat sebelum dilakukan pembahasan dan rapat, ketiga adalah hasil pembahasan harus dapat diakses oleh publik yang harus dikawal.

NO COMMENTS