ARTIKEL OPINI
Pendangkalan Gerakan Politik Perempuan
DIAN KARTIKASARI
15 September 2018
Awalnya, meme yang silih berganti diunggah netizen tentang kelakuan aneh dan kocak ibu-ibu berjudul ”Emak-emak Ini Memang Kocak”, ”Dasar Emak-emak”, dan ”Emak- emak Zaman Now” selalu viral dan jadi gurauan netizen. Lalu, muncullah judul ”The Power of Emak-emak” menjadi julukan bagi kaum ibu yang bertingkah unik, lucu, bahkan melanggar aturan.
Gambar emak-emak naik satu motor tiga orang, emak-emak menerobos jalan tol, emak-emak naik motor menerjang banjir, emak-emak menggotong motor melompati pembatas jalan, dan masih banyak lagi. Pendek kata the power of emak-emak menggambarkan berbagai kisah kaum ibu yang bertingkah di jalanan dengan motornya. Begitu seringnya meme dan video the power of emak-emak ini viral, di 2017 muncullah sinetron bergenre drama komedi berjudul The Power of Emak-emak di sebuah televisi swasta.
Meme-meme dan video tentang emak-emak yang viral karena aksi mereka sebagai raja jalanan ini juga menggambarkan betapa polisi tak berdaya menghadapi emak-emak yang melakukan berbagai pelanggaran di jalan raya. ”Emak-emak jangan dilawan deh. Gak bakal ngaku salah meski dia memang salah!” Begitu pesan yang disampaikan sinetron ini. Kisah-kisah lucu, konyol, dan kadang memalukan ini pun akhirnya menginspirasi beberapa ibu di sejumlah daerah. Video paling viral adalah seorang ibu di Kudus yang berdebat dengan polisi meski salah sampai menggigit polisi saat akan ditilang.
Setelah beberapa bulan vakum, sinetron The Power of Emak-emak muncul kembali di layar TV swasta lainnya. Lain dengan sinetron sebelumnya, sinetron kali ini menyampaikan pesan relasi jender antara suami dan istri dalam rumah tangga. Kisah para emak-emak yang harus selalu benar di mata orang-orang, terutama di mata bapak-bapak. Walaupun salah, para emak-emak tetap membela dirinya dengan berbagai macam alasan sekalipun itu alasannya sangat klasik dan tak masuk akal. Selain itu, emak-emak ini sanggup berhadapan dengan geng motor dan menuntut persamaan hak untuk boleh bertugas ronda malam.
Adegan-adegannya memang lucu mengocok perut, tetapi sungguh, ini adalah satir yang menjungkirbalikkan realitas sosial ketimpangan jender yang selama ini menunjukkan perempuan sebagai sosok yang lemah di bawah kekuasaan suami, kini menjadi penguasa rumah tangga, penguasa kampung, dan penguasa jalanan.
Politik representasi dan politisisasi
Gambaran sosok perempuan yang militan, setia tanpa syarat, ngeyel, dan berani pun akhirnya menarik minat partai politik untuk menjadikan perempuan-perempuan the power of emak-emak sebagai ”aset” untuk pemenangan pemilu sekaligus menjadi peluru penyerang lawan politik. Permak Bodi (Persatuan Emak-Emak untuk PraBowo-Sandi merupakan salah satu perwujudan kekuatan perempuan the power of emak-emak sebagai aset untuk mendukung pemenangan pemilu. Sementara ”The Power of Emak-Emak-2019 Ganti Presiden” merupakan peluru penyerang lawan politik.
Fakta yang berbeda tentang the power of emak-emak muncul dalam Pilkada Jawa Timur (Jatim). Sepuluh perempuan menghimpun kekuatan untuk pemenangan Pilkada Jatim. Lima kepala daerah, yaitu Wali Kota Surabaya, Wali Kota Probolinggo, Wali Kota Batu, Bupati Kediri, dan Bupati Jember, mendukung lima perempuan calon kepala daerah, yaitu calon gubernur Jatim, calon bupati Probolinggo, calon bupati Jombang, calon wali kota Mojokerto, dan calon bupati Bojonegoro.
Fakta ini menunjukkan besarnya kekuatan perempuan, dan pencitraan terhadap perempuan, menjadikan perempuan dapat diorganisasi atau bahkan dimobilisasi dan dimanfaatkan untuk memenangkan kekuasaan bagi calon penguasa laki-laki maupun perempuan. Pada tataran inilah kita perlu kritis melihat fenomena the power of emak-emak sebagai gerakan politik atau sebagai alat pemenangan politik semata.
Gerakan politik perempuan memiliki visi yang jelas, yaitu meningkatkan representasi politik perempuan untuk perubahan kebijakan, program, dan alokasi anggaran untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan jender serta kesejahteraan sosial bagi seluruh masyarakat.
Dalam konteks Pilkada Jatim, jika dilihat dari upaya peningkatan representasi politik perempuan dan tawaran program dan kebijakan dari calon kepala daerah, jelaslah gerakan ini merupakan pengorganisasian kekuatan politik perempuan untuk kesetaraan dan keadilan jender serta kesejahteraan. Tetapi dalam konteks pilpres, di mana the power of emak-emak tak lebih dari alat politik pemenangan, tanpa pengetahuan dan kesadaran tentang program dan kebijakan pihak yang didukung, dapatkah ini disebut gerakan politik kaum emak atau perempuan? Sejatinya, pemanfaatan perempuan sebagai pengumpul suara untuk pemenangan ini tak lebih praktik pendangkalan makna gerakan politik perempuan.
Pendangkalan makna gerakan politik perempuan yang paling signifikan terletak dalam penggantian kata ”perempuan” menjadi ”emak”. Benar, sebagaimana disebutkan Sita Aripurnami, emak atau ibu adalah dua kata yang merupakan panggilan perempuan—bisa oleh anaknya ataupun pihak lain—untuk lebih menaruh hormat kepada perempuan itu. Tetapi, di balik kata ”emak” atau ”ibu” melekat makna status perkawinan ataupun status sosial tertentu. Apabila gerakan politik perempuan digantikan dengan gerakan politik emak (atau ibu), gerakan ini hanya menjadi milik dan memberi peluang bagi perempuan, dengan status perkawinan atau status sosial tertentu. Perempuan dalam status tak kawin, atau tak terhormat, tak dapat menjadi bagian atau memperoleh manfaat dari gerakan ini.
Dari kronologi gerakan, gerakan Suara Ibu Peduli (SIP) jelas sangat jauh berbeda dari Gerakan Peningkatan Representasi Politik Perempuan (GPRPP) dan lebih sangat jauh berbeda lagi jika dibandingkan dengan the power of emak-emak. Dilihat dari aktor atau pelakunya, SIP bukan gerakan yang digagas dan dilakukan oleh kaum ibu atau emak. Gerakan ini murni gerakan yang digagas dan dilakukan oleh aktivis perempuan. Penggunaan kata ”ibu” saat itu semata-mata strategi politik untuk keamanan pelaku gerakan dan agar rencana berjalan mulus. Saat itu, kata ”ibu” dipandang setara dengan kata ”wanita” yang digunakan Orde Baru, yang di baliknya bermakna status tertentu perempuan.
Dilihat dari tujuan akhirnya, SIP sebagai gerakan yang terinspirasi dari peristiwa Plaza de Mayo merupakan gerakan untuk menumbangkan kekuasaan yang militeristik dan otoriter. Sementara isu ”susu” hanyalah isu pilihan, yang dipandang dan diperhitungkan sebagai isu yang akan mendapat respons luas. GPRPP sesungguhnya merupakan generasi kedua, setelah SIP, dengan konteks yang berbeda pula. Jika SIP bergerak dalam konteks politik diktator dan militeristik, GPRPP dilakukan dalam konteks politik yang demokratis dan responsif terhadap ketimpangan jender.
Representasi politik untuk kesejahteraan dan keadilan jender
Benar bahwa peningkatan representasi politik perempuan ditujukan untuk mendorong perubahan kebijakan, program, dan alokasi anggaran yang lebih berpihak pada perempuan, anak, dan masyarakat luas. Terutama mereka yang lemah dan miskin. Benar pula bahwa alokasi anggaran pemberdayaan perempuan pada APBN 2018 hanya Rp 553,8 miliar atau 0,249 persen dari total belanja APBN 2018 karena tugas dan fungsi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak adalah perumusan kebijakan untuk kesetaraan jender, pemberdayaan perempuan, dan perlindungan anak. Bukan kementerian teknis.
Senyatanya, alokasi anggaran pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak tak hanya ada pada satu Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak. Ini karena gender budget atau resminya disebut Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender (PPRG) telah dipraktikkan meski kerangka hukumnya masih sangat lemah.
Alokasi anggaran pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak dalam APBN 2018 juga tecermin pada alokasi anggaran Program Keluarga Harapan yang menyasar 10 juta keluarga, alokasi anggaran untuk Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan (PBI-JKN) yang menyasar 96 juta jiwa, peningkatan anggaran kesehatan mencapai 5 persen dari total belanja APBN, alokasi pendidikan mencapai 20 persen, transfer ke daerah mencapai 26 persen, dan transfer ke desa mencapai hampir 10 persen. Di semua item alokasi anggaran tersebut terdapat anggaran untuk pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak.
Semuanya itu dicapai karena adanya 18 persen perempuan di DPR dan sembilan menteri perempuan di kabinet dan kerja sama di antara keduanya. Sepakat bahwa masih sangat penting meningkatkan keterwakilan politik perempuan mencapai ambang batas minimal 30 persen perempuan di parlemen, eksekutif dan semua lembaga pengambilan keputusan, agar kita bisa menjadikan kemiskinan dan ketimpangan tinggal sebagai sejarah.
Namun, penulis sangat prihatin dengan replikasi aksi the power of emak-emak karena di balik aksi tersebut, seperti meme-meme dan sinetronnya, ada pencitraan negatif yang disematkan pada perempuan. Citra perempuan keras kepala, otoriter, ngeyel, mau menang sendiri, tak mengakui kesalahan, dan melanggar hukum. Sungguh, citra yang sangat buruk bagi perempuan dan merugikan bagi gerakan perempuan.
Dian Kartikasari, Sekjend Koalisi Perempuan Indonesia
Sumber : Harian Kompas edisi Sabtu, 16 September 2018 halaman 7