Oleh Rizky Noor Alam (Media Indonesia)
Pengantar:
Perempuan perkasa tidak mesti diukur lewat karier, tetapi justru mereka yang sehari-hari berjuang menjadi kepala keluarga dan tulang punggung pendapatan. Tidak jarang pula mereka mampu menjawab kondisi penuh beban itu hingga melahirkan kemajuan lingkungan. Dalam memperingati HUT ke-47 Media Indonesia, apresiasi untuk para perempuan perkasa kami hadirkan lewat ke-48 sosok di antara mereka. Berikut sosok ke-28
Berkecimpung di dunia aktivis sejak SMA, Dian Kartikasari bertekad menggenjot pemberdayaan politik dan kesadaran sebagai warga negara di kalangan perempuan.
Dian Kartikasari bukanlah sosok asing di dunia aktivis. Perempuan dengan potongan rambut pendek ini menjabat Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) sejak 2009.
Kini diperiode kedua jabatannya, Dian terus konsisten melaksanakan berbagai program pemberdayaan perempuan, khususnya untuk pemberdayaan politik dan kesadaran sebagai warga negara. Semangat Dian yang begitu besar dalam dunia aktivis nyatanya memang sudah tumbuh sejak masa remajanya.
Berbicara kepada Media Indonedia di Kantor Koalisi Perempuan Indonesia di Jakarta Selatan, Senin (14/8), perempuan berusia 51 tahun ini bercerita mengenai awal perkenalannya dengan kegiatan relawan. “Ibu saya, selain pekerja di perusahaan, ikut Prayuwana, semacam relawan untuk anak-anak korban kekerasan yang dimiliki polisi, dan kemudian saya membantu kegiatan ibu saya itu,” imbuh perempuan asal Madiun, Jawa Timur ini.
Bagi Dian muda, kegiatan kerelawanan ataupun kegiatan lain yang berhubungan dengan bidang sosial sangat menyenangkan. Ketertarikannya pada bidang itu bisa dilihat pula dengan keaktifannya di Ekstrakulikuler Palang Merah di sekolah. Selain menjadi coordinator untuk kegiatan sekolah, ia bertugas mengorganisasi kelompok-kelompok marginal di wilayah sekitar Kali Code, Yogyakarta.
Saat Dian lulu kuliah pada 1992, aktivitas sosialnya sempat terhenti.Ia focus bekerja untuk bisa menyekolahkan empat adiknya. Dian yang merupakan anak kedua berjanji kepada sang ibu yang saat itu menderita sakit kanker untuk bisa tetap menjamin kelangsungan pendidikan adik-adiknya. Ketika kemudian sang ibu meninggal setelah enam bulan berjuang melawan kanker, Dian pun berkomitmen menunaikan janjinya, bahkan hingga menjadikan adik-adiknya sarjana.
Lulusan sarjana dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada ini melakoni berbagai pekerjaan, mulai menjadi editor sebuah majalah hingga bekerja di perusahaan penerbangan.
Bukan hanya lapisan atas
Kerinduan Dian akan dunia aktivis baru terpuaskan lagi mulai 1998. Saat itu ia bergabung dengan Lembaga Bantuan Hukum-Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH-APIK). Ia menjadi relawan di bidang komunikasi.
Setelah setahun bersama LBH-APIK, Dian bergabung dengan Koalisi Perempuan Indonesia di bidang advokasi kebijakan publik. Di lembaga yang focus pada pemberdayaan politik perempuan dan kesadaran bagi warga negara itu, Dian mendapat pemahaman lebih dalam tentang kerja aktivisme termasuk faktor-faktor penting yang menentukan keberhasilan program.
“Dari situkah saya mulai mengatur kegiatan aktivisme ini tidak akan berjalan baik jika hnaya menyentuh lapisan atas, tapi juga harus mengorganisasi yang di desa-desa sehingga kita bisa membantu mereka yang benar-benar membutuhkan dan bisa terorganisasi menyelesaikan masahnya itu,” jelasnya.
Seiring dengan waktu Dian makin memahami kekuatan dalam sosok perempuan, termasuk dampak besarnya jika kaum perempuan mampu memberdayakan diri dengan baik. Maka lewat lembaganya, Dian mendorong para perempuan agar dapat memahami kekuatan mereka dan meraih segala hal yang mereka bisa.
“Mereka bisa kita dorong, semua hal yang sebenarnya kita ingin mengatakan peremopuan itu sebebnarnya bisa apa saja kalau mau berusaha,” cetusnya.
Kerja Dian tidak mulus begitu saja, Ia harus menghadapi berbagai macam tantangan mulai dari adat istiadat hingga stigma akibat pola bantuan bedasarkan uang yang kerap dilakukan organisasi kemasyarakatan lainnya.
“Ada kendala di saat sebuah daerah merupakan daerah yang banyak proyek donor. Donor yang datang itu memberi masyarakat uang. Jadi kalau kami kan tidak punya uang tapi mereka akhirnya tahu bahwa kegiatan kami ini penting, kemudian merekan iuaran dan tidak memikirkan soal uang,” imbuhnya.
Terkait dengan adat dan budaya tantangan beratnya ditemui di daerah perdesaan. Dia menuturkan kerap kali para pria yang menjadi tokoh di perdesaan bersikap seolah menyetujui dan menerima program. Namun, persetujuan dan dukungan hanya dalam ucapan, tidak dalam tindakan.
“Jadi membangun waktu unutk berkomunikasi saja sulit, kecuali di perkampungan miskin kota itu masih ada ruang untuk bertemyua dan beriuran. Masyarakat perkotaan itu biasanya menjadi solid jika sedang mengjhadapi masalah bersama, misalnya penggusuran,” jelasnya.
Namun, sederet tantangan itu nyatanya belum dianggap terberat. Justru, bagi Dian tantangan terberat ialah membangun komunikasi dengan para kader yang sudah sukses.
Akibat beratnya komunikasi, Koalisi Perempuan Indonesia kerap harus melakukan pengaderan dari bawah lagi untuk menggantikan para kader yang sudah suskes tersebut. Saat ini Koalisi Perempuan Indonesia memiliki 45 ribu anggota aktif yang tersebar di 20 provinsi, 181 kabupaten, dan 1.220 desa di Indonesia.
Di sisi lain, dia juga mengaku harus menghadapi kendala lain terkait dengan statusnya sebagai orangtua tunggal. “Ada orang-orang yang punya kecenderungan untuk bicara negative, tapi buat saya selama saya tidak mengganggu dia dan saya tidak terganggu, biarkan saja. Toh nanti dia akan tahu sendiri, jadi saya jalani saja hidup saya. Terserah mereka mau menilai bagaimana, itu urusan mereka,” cetus perempuan yang kehilangan pasangannya pada 2004 akibat bencana tsunami di Aceh itu.
Sebagai orangtua tunggal dari dua anak, Dian memilih menjalani hidup dengan penuh optimism sekaligus keihklasan. Baginya, segala peran di dunia ini merupakan bagian dari perjalanan yang sudah digariskan. Dengan cara pandang itu pun dia tidak hanya menjadi perempuan yang berdaya bagi dirinya sendiri, tetapi juga bagi keluarga dan masyarakat.
“Hidup ini sebenarnya bagian dari perjalanan. Kalau memang yang harus dihadapi seperti itu, ya harus dihadapi,” ucapnya (M-3)
Keras dalam Mendidik Anak
Berperan sebagai orangtua tunggal tentu bukan hal mudah. Dian Kartikasari berusaha menjalani peran itu sebaik mungkin lewat tiga prinsip yang ia tekankan kepada dua anaknya. “Pertama adalah kejujuran, kedua toleransi, ketiga mandiri,” utur ibu Rista dan Syaharani Justisia ini.
Ketiga prinsip itu ia ajarkan lewat berbagai hal yang telah terjadi di kehidupan sehari-hari. Salah satunya dalam mengejar nilai pelajaran.
Bagi Dian, nilai bagus tidak akan berarti tanpa kejujuran, Makai a lebih memilih mengutamakan sikap jujur ketimbang nilai tinggi di sekolah.
Berapa pun nilaimu tidak masalah asalkan kamu jujur. Lebih baik jujur daripada mendapatkan nilai yang bagus untuk lebih baik mengerti pelajarannya daripada tidak jujur.
“Jadi berapa pun nilaimu tidak masalah asalkan kamu jujur. Kan banyak anak menyontek dan mengorbankan kejujuran untuk mendapatkan nilai yang bagus. Namun , bagi saya lebih baik jujur daripada mendapat nilai yang bagus dan lebih baik mengerti pelajarannya daripada tidak jujur,” jelasnya.
Dian mengaku sebagai sosok yang agak keras dalam mendidik anak. Hal itu ia lakukan karena kondisi kehidupan saat ini yang juga kian keras.
Dalam mendidik anak, ia pun mengambil inspirasi dari mendiang ibunya.
“Ada satu hal yang belum saya jalankan amanah dari ibu saya, yaitu ibu ingin saya membangun sekolah karena dari sekoalh itu pendidikan nasionalisme dan kesetaraan bisa diwujudkan. Sekarang belum terwujud, semoga nanti bisa setelah urusan KPI ini selesai,” pungkasnya. (Riz/M-3)