Sebelumnya pada 5 Juli 2017, Koalisi 18+ (Koalisi Perempuan Indonesia merupakan salah satu organisasi yang tergabung di dalamnya) secara resmi mengirimkan surat himbauan kepada pemerintah Indonesia untuk mendukung Resolusi Sidang Umum PBB No. A/HRC/35/L.26 terkait dengan Perkawinan Anak dan Perkawinan Paksa dalam Situasi Krisis Kemanusiaan (Child Early and Forced Marriage in Humanitarian Settings) sebagai perwujudan komitmen Indonesia terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) silahkan baca https://www.koalisiperempuan.or.id/2017/07/05/koalisi-18-mendorong-pemerintah-indonesia-menjadi-negara-pendukung-resolusi-pbb-mengenai-perkawinan-anak-dalam-situasi-krisis-kemanusiaan/
Kemudian hingga 6 Juli 2017 surat himbauan kepada pemerintah Indonesia tersebut juga didukung oleh berbagai organisasi dan individu, di antaranya silahkan dilihat di Surat Dukungan HR Resolution. For english version Surat Dukungan HR Resolution_English
Hari ini tanggal 7 Juli 2017, 88 organisasi masyarakat sipil dan 243 individu menyampaikan surat terbuka kepada Presiden Republik Indonesia, Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia dan Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh, Perutusan Tetap Republik Indonesia (PTRI) untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), mendorong pemerintah Indonesia mendukung Resolusi PBB No. A/HRC/35/L.26 related to Child Early and Forced Marriage in Humanitarian Settings (Resolution on Child Marriage).
Pemerintah Indonesia perlu mendukung Resolution on Child Marriage karena Indonesia merupakan negara dengan angka perkawinan anak tertinggi ketujuh di dunia. Bahwa satu dari lima perempuan Indonesia usia 20-24 tahun telah melakukan perkawinan pertama sebelum usia 18 tahun (BPS 2015). Perkawinan anak membawa pelanggaran hak anak, terutama hak atas pendidikan dan kesehatan. Anak perempuan yang dikawinkan berpotensi besar terhenti sekolahnya, yang pada akhirnya akan mempersempit peluang anak perempuan mendapat pekerjaan yang layak. Anak perempuan juga rentan mengalami kanker serviks karena berhubungan seksual di usia muda, bahkan kematian karena kehamilan di usia muda.
Resolusi PBB No. A/HRC/35/L.26 related to Child Early and Forced Marriage in Humanitarian Settings. Resolusi ini mengakui ketidakadilan gender sebagai akar penyebab perkawinan anak. Mengakui bahwa kesehatan seksual dan reproduksi merupakan kebutuhan dasar manusia untuk berkehidupan secara manusiawi. Mengakui hak perempuan dan anak atas seksualitas dan tubuhnya. Mendorong institusi pendidikan untuk turut aktif dalam menghapuskan perkawinan anak.
Selain itu, dukungan atas resolusi ini sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan khususnya Tujuan 5: Kesetaraan Gender, dimana target 5.3 adalah Menghapuskan semua praktik berbahaya terhadap perempuan seperti perkawinan usia anak. Pemerintah Indonesia telah mengadopsi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan sejak tahun 2015, dan mulai melaksanakannya mulai Januari 2016.
Oleh karenanya melalui surat ini, kami meminta pemerintah Indonesia untuk :
1. Mendukung resolusi PBB No. A/HRC/35/L.26 related to Child Early and Forced Marriage in Humanitarian Settings sebelum 10 July 2017.
2. Melakukan perubahan UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974, khususnya syarat usia menikah minimum anak perempuan menjadi 19 tahun.
3. Mengesahkan PERPPU Penghapusan dan Penghentian Perkawinan Anak
Sebagai masyarakat sipil kami menyatakan dukungan #StopPerkawinanAnak di Indonesia
Jakarta, 7 Juli 2017
Organisasi dan Individu Peduli #StopPerkawinanAnak
Narahubung:
Indry Oktaviani (08151878273)
--