Surabaya, 6 Oktober 2014
Kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bahwa posisi perempuan dalam kehidupan sosial masih disubordinasi. Salah satunya dalam bidang kesehatan reproduksi dan seksual. Sebagai perempuan yang memiliki perbedaan secara reproduksi dengan laki-laki, perempuan juga masih banyak mendapatkan diskriminasi. Pembedaan perlakuan yang justru tidak memposisikan perempuan terhargai martabatnya, terpinggirkan dan mendapatkan kekerasan. Diantaranya pelecehan seksual, perkosaan, cemohaan dengan kondisi tubuh perempuan, stigma pada perempuan dengan kebiasaan berbeda dengan mainstream bahkan hingga layanan yang seringkali sulit diakses.
Dalam 3 tahun terakhir ini bahkan tentu tahun-tahun ke depan, penutupan lokalisasi/prostitusi akan semakin gencar. LSM Embun Surabaya menyatakan bila dalam 1 hari telah terjadi sekitar 20 perempuan yang melakukan aborsi pasca penutupan lokalisasi terbesar di Surabaya. Kerentanan perempuan tentu akan semakin meningkat dengan era tersebarnya virus HIV/Aids dan sulitnya petugas kesehatan menjangkau perempuan yang mungkin sedang mengalami HIV/Aids. Mengingat ibu rumah tangga menduduki peringkat ke dua terbesar sebagai penderita HIV/AIDs di jawa timur. Namun yang perlu disadari, bahwa ada tidaknya lokalisasi, ditutup tidaknya lokalisasi, setiap perempuan (dari anak-remaja hingga dewasa) memiliki hak untuk mendapatkan informasi dan layanan mengenai kesehatan reproduksi dan seksual.
Bentuk kekerasan seksual pada perempuan tidak hanya bersifat langsung seperti tersebut diatas. Namun saat ini bentuk kekerasan tidak secara eksplisit nampak, antara lain kebijakan yang tidak pro pada kesehatan perempuan, program dan anggaran yang tidak spesifik ditujukan pada kesehatan perempuan, pembatasan akses-kemerdekaan dan penafsiran yang menguntungkan kelompok fanatik tertentu. Termasuk didalamnya korupsi pada anggaran yang harusnya dapat optimal dilakukan negara kepada perempuan dalam menekan angka kematian ibu dan bayi, mengurangi angka prevalesi inveksimenular seksual dan sebagainya. Ragam kebijakan dan pembatasan perempuan dalam bidang kesehatan reproduksi dan seksual diantaranya pembatasan jam malam perempuan, peraturan wajib mengenakan rok dan jilbab bagi perempuan, sedikitnya edukasi pada masyarakat mengenai kespro dan masih banyak lagi yang tidiak mencerminkan bagaimana negara harus turut melindungi perempuan.
Upaya perlindungan perempuan yang dilakukan oleh negara masih bersifat proteksionis yaitu melindungi perempuan dengan meberi batasan pada ruang geraknya. Kondisi riil yang dihadapi perempuan yakni ketika dia mengalami pembatasan dengan label tugas negara melindungi adalah sebuah perspektif yang belum tuntas dalam memaknai perlindungan dengan kesetaraan. Bagaimana tidak bila kosep perlindungan negara masih layaknya “taman safari†yakti memposisikan perempuan didalam kerangka perlindungan namun para pelaku kekerasan masih bebas berkeliaran. Pengaturan perempuan dianggap sebagai upaya perlindungan. Berbeda dengan “konsep kebun binatang†yang memposisikan perempuan, anak serta kelompok rentan memiliki kenyamanan dalam aktivitasnya yang setara karena para pelaku kekerasan seksual yang mendapatkan pembatasan. Hal ini tentu bertebtangan dengan nilai-nilai HAM dan hak asasi perempuan yang menjamin adanya kesetaraan dan perlindungan. Upaya proteksionis negara tercermin dengan adanya pembiaran pada peraturan daerah yang diarahkan hanya mengatur perempuan berbusana, memposisikan korban perempuan tidak secara komprehensif dalam menerima layanan perlindungan karena sarana perlindungan yang masih minim, penutupan lokalisasi dengan penguatan pedila yang belum menyeluruh. Upaya perlindungan yang bersifat formalitas kerap pula terjadi dengan munculnya banyak peraturan daerah perlindungan perempuan dalam hal layanan korban kekerasan, namun peraturan tinggallah peraturan yang implementasinya belum berjalan. Sehingga perjuangan perempuan tidak pernah berhenti sampai pada terbitnya peraturan daerah.
Kasus yang mengemuka dalam 2 tahun terakhir adalah pelecehan seksual anak, kekerasan seksual, kekerasan perempuan-anak dalam rumah tangga serta maraknya aborsi remaja hingga meningkatnya angka prevalensi HIV/AIDs. Sebagai organisasi perempuan, Koalisi Perempuan Indonesia Jawa Timur berupaya melakukan pendidikan pada kadernya untuk memahami dan mampu mensosialisasikannya kepada perempuan dan masyarakat luas. Kenyataan menunggu negara untuk berbuat lebih baik di era poitik yang carut marut ini, tidak dapat dilakukan oleh perempuan. Karena perempuan telah mendeklarasikan bila dirinya adalah sebuah gerakan, sebuah entitas yang akan senantiasa melakukan pendidikan bagi diri dan lingkungannya. Sehingga sebagai organisasi perempuan, Koalisi Perempuan Indonesia berinisiasi menyelenggarakan pendidikan pencegahan kekerasan seksual dan reproduksi untuk menjawab kesulitan masyarakat utamanya perempuan dalam diskriminasi dan permasalahan yang dialami.
Kegiatan yang bertujuan untuk mencetak kader perempuan yang paham kesehatan reprosuksi dan seksual serta pencegahan dan penanganan peremasalahannya. Serta bertujuan menguatkan posisi kader atas ideologi perempuan dalam organisasi (khususnya) dan dalam masyakarat (pada umumnya) yang terkait dengan isu kesehatan. Kegiatan yang dilaksanakan pada tanggal 27-28 September 2014 bertempat di Wisma Tamu Surabaya dihadiri 35 kader perempuan sejawa timur.
Pelatihan ini dilakukan dengan menghadirkan ibu Sukotjo, seorang tokoh kesehatan reproduksi yang telah mendedikasikan dirinya untuk pendidikan perempuan dalam hal kesehatan reproduksi anak. Usia 82 tahun tidak menjadi rintangan baginya dalam mendidikan perempuan secara umum maupun guru seperti aktivitas yang biasa dia lakukan. selain itu juga terdapat materi mengenai kesehatan reproduksi remaja yang disampaikan oleh Putra Wardana dari Sebaya PKBI dan dilanjutkan oleh Ibu Ida Sholicah dalam materi kesehatan reproduksi perempuan dewasa dan layanan yang dapat diakses, seorang bidan yang berperspektif gender dengan aktivitas sehari-hari selain menjalankan profesinya juga mengkonseling perempuan korban. Selain itu terdapat materi mengenai kanker servik dari Yayasan peduli Kanker Indonesia untuk area jawa timur yang juga memberikan layanan cuma-cuma pemeriksaan / iva tes.
Kegiatan yang difasilitas oleh Wiwik Afifah, sekwil Koalisi Perempuan Indonesia Jawa Timur berlangsung penuh semangat karena dihadiri oleh presidium wilayah dari beberapa kelompok kepentingan, yakni Presidium Kelompok Kepentingan Perempuan yang dilacurkan, Mufida Atmadja, Preswil Ibu rumah tangga ibu Titie Ridho, Preswil anak marjinal ibu Ema Kemalawati, preswil buruh migran ibu Indarsyah Yanti dan preswil informal ibu Choirul Mahpuduah. Semangat ini makin menguat tatkala aktifnya lagi Koalisi Perempuan Indonesia cabang Banyuwangi. Wiwik Afifah menyatakan bila materi-materi yang penting juga disampaikan seperti hak perempuan dan hak kespro, aborsi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indoensia, cegah dan tangani kekerasan reproduksi dans eksual, dan mater mengenai peran kader perempuan. Selain itu, dia menambahkan bila kegiatan pelatihan ini adalah bagian dari upaya perempuan mendidik perempuan untuk kemajuan bangsa. Sampai saat ini banyak perempuan yang sulit mengakses informasi, layanan dan partisipasi dalam impelemntasi kebijakan. Kurangnya hal tersebut akan memposisikan perempuan dalam bentuk-bentuk diskriminasi hingga kekerasan. (Wiwik)
Sumber Foto : FB Titie Ridho