Kliping Media

0
1395

Stigma dan Kualitas Politikus Perempuan

Written by Lintas, Politik, ReportaseMar 31, 2014

Caleg atau legislator perempuan lebih tersorot karena keseksiannya oleh media, ketimbang program-program politiknya. Ini tak terlepas dari sistem pengkaderan partai politik yang buruk, selain pula stigma media yang masih bias gender

Sejak reformasi, perempuan dalam kancah politik lebih sering mengundang pilu dan gelak tawa daripada mewarnai dinamika politik dengan program-program nyata. Kita mungkin ingat sosok Angel Lelga yang konyol menjawab pertanyaan-perntanyaan sang pembawa acara di acara talk show. Atau memandang sosok Angelina Sondakh dengan geram, karena tetap berkelit meski bukti korupsi berada di pelupuk mata. Bahkan, politisi perempuan dari artis pun lebih terkenal karena kasus perceraian dan keseksiannya, ketimbang aktivitasnya sebagai politisi. Itulah fenomena yang ditampilkan media sampai hari ini ihwal sosok perempuan dalam kancah politik. Tidak jauh dari seks dan sensasi yang jauh dengan urusan rakyat.

“Mungkin wartawan atau pers sudah bingung harus menyorot apa, karena program-program caleg atau Aleg (anggota legeslatif) minim kapasistasnya sebagai wakil rakyat,” terang Franciska Ria, salah seorang pembicara dalam diskusi yang diadakan oleh  Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta. Diskusi bertema Perempuan, Media dan Pemilu tersebut berlangsung di Gedung Dewan Pers pada 28 Maret 2014. Selain Franciska dari Jurnalis Sinar Harapan, diskusi itu pun menghadirkan aktivis Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Mike Verawati, dan Lia Wulandari dari Perkumulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).

Memang, dalam setiap isu yang ditampilkan media pada pemilu 2009 mengenai perempuan ihwal aktivitasnya dalam pemilu, dengan pemilu 2014 saat ini tidak mengalami perbedaan berarti. Seperti hasil penelitian AJI yang mensurvei 5 media nasional. Hasilnya, hanya 10 persen para caleg atau legislator yang bersuara soal konstituennya di media masa. Seperti masalah reproduksi, kelahiran bayi, dan baru-baru ini soal Tenaga Kerja Wanita (TKW) Satinah yang terancam hukuman pancung di Arab Saudi. Sedangkan sisanya atau 90 persen masih berkutat pada kouta perempuan dalam parelemen. Tak heran jika Franciska sembari mengutip hasil riset, bahwa 90 persen legislator tidak mampu berpolitik substansial. “Apa pentingnya sekarang masih berbicara soal kouta itu,” heran Francsika, Redaktur Eksekutif Sinar Harapan yang juga menyesalkan batal hadirnya para caleg perempuan dalam diskusi.

Namun, Mike Verawati beranggapan jika begitu minimnya kapasitas caleg atau legislator perempuan dalam DPR bukan semata-mata tanggung jawab indvidu perempuan tersebut. Melainkan, akibat dari kaderisasi partai politik yang buruk. Bahkan menurutnya, parpol tersebut yang justru merangkul perempuan-perempuan yang berkecukupan materi saja. “parpol merekrut perempuan sebetulnya hanya untuk memenuhi kuota saja,” ungkap Ketua KPI tersebut. “parpol pun banyak yang masih mencari calon perempuan untuk partainya dua minggu sebelum ditutup oleh KPU (Komisi Pemilihan Umum).”

Peran caleg dan legislator perempuan dalam perpolitikan pun diperparah pula oleh budaya paternalistik yang melekat dalam masyarakat. Persepsi bahwa pemimpin mesti berasal dari laki-laki. Hal ini pun dikemas rata-rata oleh partai yang berasaskan Islam. Akibatnya para caleg atau legislator perempuan pun tak percaya diri.

Seperti yang diungkapkan oleh Mike mengenai pengalamannya berdiskusi dengan para legislator perempuan di DPR, “gender itu bukan kebudayaan kita (Indonesia), tapi dari Barat,” tuturnya menirukan ucapan legislator yang berasal dari partai yang heboh karena kasus korupsi sapi tersebut. Seturut dengan kapasitas para caleg atau legislator perempuan yang rendah itu, menurut Mike dampaknya perempuan pun memilih golput. Angka golput perempuan pun mencapai 43 persen.

Peran media pun dalam citra politik perempuan juga begitu dominan dalam mempengaruhi persepsi masyarkat. Karena sampai saat ini, media tidak selektif dalam pemberitaan. Menurut Franciska, ini tidak terlepas dari orientasi media yang berorientasi rating. “Makanya, wartawan atau media lebih tertarik membicarakan soal keseksian atau pun rumah tanggap politikus perempuan,” tegasnya. Selain itu, ia pun mencontohkan media cetak yang membuat judul, “Caleg Perempuan Masuk Bui”. Fransisca mengatakan, judul berita itu stereotype sekali dengan sosok perempuan, mengapa harus ditinjolkan kata “caleg perempuan”? Apakah caleg laki-laki tak bisa juga masuk bui?

Untuk itu, selain Franciska dan Mike, Lia Wulandari pun menekankan perlunya perbaikan, sedikitnya peran media dan kaderisasi parpol. Untuk media, mesti pula menampilkan sisi kualitas dari sang calon atau legislator perempuan. Selain pula perbaikan sistem pengkaderan dalam tubuh parpol. Pasalnya, pengkaderan bagi politikus laki-laki pun sama buruknya dengan perempuan. Dikarenakan rusaknya pengkaderan parpolah yang mengakibatkan legislator tersebut minim pengetahuan berpolitik apalagi membela kepentingan rakyat. “Itu semua merupakan dosa partai politik,” tegasnya.

sumber : http://www.didaktikaunj.com/2014/03/stigma-dan-kualitas-polikus-perempuan/

SHARE
Previous articleKliping Media
Next articlePernyataan Sikap
Perjuangan menuju kesetaraan gender bukan hal yang tidak mungkin.

NO COMMENTS