Kebijakan Pemerintah Sering Abaikan Kaum Perempuan
Rabu, 21/03/2012 – 16:17
BANDUNG, (PRLM).- Kebijakan yang dikeluarkan baik oleh pemerintah pusat maupun daerah seringkali tidak responsif dan mengabaikan kaum perempuan dan anak. Padahal, Indonesia menjadi salah satu negara yang menandatangani Deklarasi Milenium dimana pada 2015 mendatang delapan tujuan pembangunan milenium (MDGs) harus bisa dicapai.
“2015 Indonesia harus bebas dari kemiskinan dan kelaparan, tidak ada lagi angka kematian ibu atau angka kematian anak. Gizi buruk harus hilang, HIV pun harus diatasi. Kami ingin tahu sejauh mana Pemprov bisa mencapai delapan tujuan ini. Kami pun konsen karena waktu kita tinggal dua tahun. 2015 suka atau tidak suka Indonesia harus mencapai itu,” kata Sekretaris Wilayah Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Jawa Barat Otang Qodarliyah dalam Seminar Sehari Koalisi Perempuan Indonesia Wilayah Jawa Barat “Tantangan dan Peluang Dalam Pencapaian Target MDGs, Melalui Program Percepatan Pencapaian Millenium Development Goals di Jawa Barat”, di Aula Universitas Islam Bandung, Jln. Tamansari Bandung, Rabu (21/3).
Menurut Otang, kebijakan yang ada saat ini dinilai kurang responsif terutama terhadap perempuan yang sebenarnya akan sangat mendukung percepatan delapan tujuan MDGs. Anggaran untuk pangan misalnya yang sangat berkaitan erat dengan kaum perempuan jumlahnya masih sangat minim. Sebab di hampir semua daerah, anggaran untuk pangan ini tidak sampai satu persen dari APBDnya.
“Paling besar hanya mengalokasikan Rp 1 milIar. Garut misalnya yang banyak masyarakat miskinnya, anggaran untuk badan ketahanan pangan tidak sampai Rp 1 M. Bagaimana masyarakat kita bisa terbebas dari kemiskinan kalau pemerintahnya juga tidak menganggarkan dana yang mencukupi,” ujarnya.
Di Jawa Barat, kata Otang, angka kematian ibu dan anak masih cukup tinggi. Di setiap kecamatan setidaknya ada 4-5 ibu meninggal per tahunnya. “Selain itu, ibu rumah tangga di Jawa Barat masih menjadi endemi untuk HIV Aids. Persentasenya memang kecil, tapi penduduk Jawa Barat besar, sehingga angkanya pun cukup besar,” ungkapnya.
Oleh karena itu, kata Otang, pihaknya terus melakukan advokasi untuk mendorong agar pemerintah mengeluarkan kebijakan yang lebih responsif terutama terhadap bidang yang berkaitan erat dengan perempuan dan tujuan MDGs. Sebab ketika negara tidak memberikan alokasi anggaran yang memadai, artinya negara tidak memberikan jaminan terhadap perempuan dan anak. “KPI konsen terhadap perubahan kebijakan, terutama peraturan daerah yang akan dibahas di Pemda. Baik itu berupa usulan gubernur maupun inisiatif parlemen,” ucapnya.
Sementara itu, Kepala Bidang Sosial Bapeda Provinsi Jawa Barat Edi Wahyudi menuturkan, Jawa Barat memang belum terlepas dari sejumlah permasalahan. Di bidang pendidikan misalnya, tingkat pendidikan warga Jawa Barat sampai saat ini masih rendah, yakni baru mencapai rata-rata kelas 2 SMP. “Jabar terus berupaya untuk meningkatkan anggaran pendidikan yakni 20 persen, jumlahnya Rp 1 triliun lebih. Ruang Kelas Baru (RKB) juga terus kita tambah, sekitar 6 ribu per tahun,” ujarnya.
Yang juga masih menjadi masalah di Jawa Barat, kata Edi adalah kultur masyarakatnya yang kurang mendukung. Di Indramayu misalnya, jika orang tua memiliki anak perempuan, biasanya sang anak diminta untuk bekerja. “Jadi mereka hanya sampai kelas 5 SD, karena sudah diminta bekerja oleh orang tua. Belum lagi dalam masalah kesehatan di mana akses masyarakat terhadap fasilitas kesehatan masih rendah selain sarananya yang belum merata,” ungkapnya. (A-157/A-147)***
Sumber : Pikiran Rakyat Online