Perempuan dalam Lingkaran Kasus Korupsi
Â
PENDAPAT yang berbeda
dinyatakan oleh aktivis perempuan
dan politisi menyikapi
kasus-kasus penyelewengan
anggaran di Indonesia
akhir-akhir ini yang banyak
menyeret kaum hawa ke
pengadilan tinggi tindak
pidana korupsi.
Menurut Ketua Koalisi
Perempuan Indonesia (KPI)
Dian Kartika Sari di Jakarta,
Rabu (18/1), kaum wanita
telah dijadikan alat dari lawan
jenisnya untuk melakukan
tindakan pidana korupsi,
sedangkan anggota Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) Eva
Kusuma Sundari secara terpisah
mengatakan koruptor
perempuan tetap merupakan
koruptor meskipun bukan
merupakan pemain utama.
“Kita saat ini sadar bahwa
perempuan bisa dijadikan
alat bagi laki-laki untuk
melakukan korupsi, mereka
disuruh membagikan uang
kepada anggota DPR, atau
menjadi penghubung antara
aktor-aktor korupsi,†kata Dian
Kartika Sari.
Namun Dian menegaskan
bahwa pernyataan tersebut
tidak boleh ditafsirkan sebagai
dukungan KPI terhadap koruptor
perempuan, dia mengatakan
bahwa korupsi bukan persoalan
gender dan tetap merupakan
kejahatan yang harus dihukum
seberat-beratnya.
“Pada dasarnya kami
tidak memiliki toleransi
terhadap korupsi baik itu
dilakukan laki-laki maupun
perempuan. Namun fakta yang
kita dapatkan adalah kaum
hawa, dalam sebagian besar
kasus, bukan merupakan
pemain utama tindakan tersebut,â€
kata Dian.
Ia juga berpendapat bahwa
ketidak-tahuan perempuan
telah menyebabkan mereka
masuk ke dalam sistem yang
korup dan akhirnya terseret
oleh arus besar sistem itu.
“Yang sekarang bisa dilakukan
adalah menguatkan
pengetahuan perempuan terhadap
korupsi, tentang aturan-aturannya,
mana yang boleh dan
mana yang tidak,†kata dia.
Dengan pengetahuan tentang
korupsi tersebut perempuanperempuan
yang memiliki
jabatan di birokrasi pemerintah
ataupun wakil rakyat ditingkat
pusat maupun daerah bisa
mengatakan “tidak†jika atasannya
meminta untuk melakukan
tindakan yang melanggar
hukum.
Di sisi lain, Eva Kusuma
Sundari yang berasal dari
Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan mengatakan bahwa
korupsi tidak terkait dengan
persoalan gender sehingga
meskipun bukan merupakan
pemain utama dalam tindakan
penyelewengan anggaran
tersebut, perempuan yang
terbukti terlibat harus
diperlakukan sama di hadapan
hukum dengan laki-laki.
“Mereka (perempuan-perempuan
yang terlibat korupsi)
tetap saja mengambil
keuntungan dari tidakan
pidana tersebut sehingga apa
pun alasannya, mereka harus
diperlakukan sama di hadapan
hukum,†demikian pendapatnya.
Selain mendapatkan keuntungan
dari tindakan korupsi,
meskipun bukan merupakan
pemain utama, Eva juga mengatakan
bahwa perempuan-perempuan
tersebut mempunyai
pilihan untuk menolak perintah
dari atasannya.
“Jika dibandingkan dengan
perempuan-perempuan dari
daerah pemilihan saya, para
koruptor wanita ini jelas
mempunyai pilihan yang lebih
baik. Toh jika mereka dipecat
atau diasingkan, mereka tetap
bisa makan karena bukan
orang miskin. Sedangkan di
tempat saya, kaum hawa
hanya punya dua pilihan untuk
bisa makan, melacur atau
menjadi tenaga kerja wanita
di luar negeri,†kata dia.
Eva yang berasal dari
Nganjuk Jawa Timur ini
mengatakan bahwa korupsi
terjadi karena munculnya
kesempatan yang terbuka
lebar jika seseorang menduduki
jabatan publik, sehingga
siapapun siapapun
yang lemah imannya, dan
apapun jenis kelaminnya,
akan tergoda untuk melakukan
tindakan tersebut.
“Kebetulan saja sekarang
ini, perempuan-perempuan
sudah banyak yang menduduki
jabatan strategis dan
oleh karena itu sangat terbuka
kesempatan bagi mereka
untuk melakukan tindakan
korupsi,†kata menjelaskan
kenapa akhir-akhir ini banyak
kaum hawa yang terseret di
pengadilan tinggi tindak
pidana korupsi (tipikor).
Beberapa perempuan yang
saat ini tersangkut korupsi
adalah terpidana korupsi
Wisma Atlet SEA Games Rosa
Manulang, tersangka penyebaran
cek perjalanan ke DPR
Nunun Nurbaeti, dan terdakwa
kasus suap Kementerian
Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Dharnawati. Nama tersebut
belum mencakup sejumlah
perempuan seperti anggota
DPR dari Partai Demokrat
Angelina Sondakh yang disebut
Rosa dan Muhammad Nazaruddin
terlibat korupsi Wisma
Atlet.
Belum lagi perempuan lain
yang dijadikan sorotan publik
karena menghabiskan anggaran
Rp20 miliar hanya
untuk merenovasi ruang rapat
Badan Anggaran DPR berukuran
10X10 meter. Di sisi
lain, terdapat juga perempuan
yang didakwa melakukan
penipuan terhadap nasabah
Citibank, Malinda Dee.
Meskipun banyak kaum
sejenisnya yang melakukan
tindakan korupsi, Eva mengaku
tidak khawatir hal tersebut
akan menurunkan kredibilitas
perempuan sebagai wakil
rakyat menjelang pemilihan
umum DPR dan Presiden/Wakil
Presiden 2014 mendatang.
“Biarkan para pemilih di
Indonesia menjadi pemilih
yang cerdas, jangan sampai
mereka tertipu oleh ‘kulitnya’
dan tidak mempertimbangkan
‘isinya’ dalam pesta demokrasi
rakyat lima tahunan nanti,â€
kata dia.
Pemilih cerdas yang dimaksud
oleh Eva adalah
warga negara yang mendelegasikan
kepentingannya kepada
wakil rakyat yang
mempunyai kapabilitas, kualitas,
visi, dan komitmen untuk
memperjuangkan aspirasi
rakyat tanpa mempedulikan
jenis kelamin, status sosial,
ataupun keturunan.
“Adalah mitos jika wakil
rakyat perempuan pasti akan
memperjuangkan nasib sesama
jenisnya. Banyak juga kok
wanita yang menjadi legislator
hanya karena ikut-ikutan dan
karena jatah suaminya yang
menjadi Gubernur atau Bupati,
yang jenis seperti itu yang
susah,†kata dia.
Oleh karena itu menurut
Eva, batas minimal 30 persen
keterwakilan perempuan dalam
daftar bakal calon peserta
pemilihan umum DPR, sebagaimana
diatur dalam Undang-
Undang No. 10 tahun
2008 tentang Partai Politik,
belum cukup karena tanpa
diimbangi pola pikir yang
benar maka batas tersebut
tidak akan mendatangkan
manfaat.
Pada sisi ini pendapat
Dian Kartika Sari nampak
sejalan dengan pandangan
Eva. Dian mengatakan bahwa
cara berpikir gender lebih
penting ketimbang kuantitas
keterwakilan perempuan dalam
anggota dewan.
“Bukan hanya dalam badan
legislatif pola pikir keadilan
gender ini harus ada,
yang lebih penting adalah
bagaimana menerapkan
‘framework’ ini dalam kebijakan
nyata di tingkatan
eksekutif yang berdampak
langsung pada perempuan,â€
kata dia.
Menurut Dian, lembagalembaga
pemerintah saat ini
belum bisa mengartikulasikan
pola pikir keadilan gender
dalam praktik dan hanya
berhenti pada perkataan.
“Dalam Departemen Pekerjaan
Umum misalnya,
para pengambil kebijakan di
departemen tersebut tidak
tahu bagaimana menerapkan
keadilan gender dalam pembangunan
infrastruktur.
Sebenarnya contoh yang
paling mudah ya di Departemen
Perhubungan, maraknya kasus
perkosaan di angkutan kota
menunjukkan ada sesuatu yang
salah dalam pembangunan alat
transportasi massal di negara
ini,†jelas Dian.
(ant/gm nur lintang
muhammad)
Sumber :
Harian Haluan edisi 19 Januari 2012
Halaman 12Â