Perempuan, Kelembagaan Adat dan Ketahanan Pangan
Oleh Dr. Lintje H. Pellu, Dosen UKAW/Anggota NTT Policy Forum
Sabtu, 11 Desember 2010 | 13:00 WITA
PANGAN dan perempuan kalau boleh dikaitkan merupakan dua sisi dari satu mata uang. Penjelasannya tentu tidak semata-mata didasarkan pada stereotipe peran perempuan bahwa dialah yang bertugas memasak di dapur. Yang hendak saya kemukakan di sini adalah sebuah relasi simbolik dan asosiatif perempuan dan pangan. Relasi ini cukup memberi pendasaran dalam upaya memahami keterkaitan perempuan dan pangan.
Pemahaman simbolis dan asosiatif ini berasal dari pemahaman kultural masyarakat. Dalam komunitas adat, kearifan lokal dapat ditelusuri dalam berbagai mitos, terkait pangan terdapat mitos tentang asal mula makanan di berbagai komunitas adat di NTT. Misalkan, dalam budaya orang Rote mitos asal mula makanan dikatakan datangnya dari laut oleh dua orang perempuan yang membawa benih-benih. Benih itu kemudian dibawa melewati semua kerajaan (nusak). Penuturan mitos ini dalam bahasa adat dituturkan kisah Pule Sio (sembilan benih).
Seorang penyair (manahelo) yang piawai ketika diminta menuturkan kisah datangnya makanan, pasti akan menuturkan syair adat (bini) ini. Sedangkan bagi Atoin Meto siklus pertanian amat berpengaruh dalam kehidupan masyarakat desa dan memberi fondasi dalam memahami sistim politik orang Timor. Saat yang dipandang paling penting dalam ritus pertanian adalah saat persembahan hasil panen kepada raja yang dipandang sebagai penguasa sakral (sacred ruler) (Schutle-Nordholt 1975).
Perempuan dan Pangan dalam Tuturan Adat
Paralelisme merupakan ciri dominan dalam bahasa adat sehingga setiap elemen syair senantiasa berpasangan. Tuturan tentang Pule Sio misalnya, padi dan jewawut (hade/bete) atau jagung dan jewawut (pela/bete) adalah pasangan benih utama dan ini menyiratkan makanan pokok. Pasangan benih lain yang juga dijumpai dalam syair adat adalah pisang//tebu (huni//tefu), talas//ubi (tale//fia), dan kelapa//pinang (no//pua). Benih makanan pokok ini berasal dari dalam laut dibawa ke darat oleh dua orang perempuan yang dimulai pertama kali dari ujung timur Pulau Rote, yakni Mae Oe dan Tena Lai. Oleh kedua perempuan tersebut, benih itu dibawa berkeliling melewati setiap kampung dan kerajaan dan tumbuh di sana sehingga membawa kebaikan dan kesejahteraan bagi penduduk. Setiap nusak memiliki variasi nama yang berbeda tentang kedua perempuan ini.
Tak lelahnya kedua perempuan ini berjalan menyusuri setiap bukit dan lembah, setelah memperoleh tempat yang cocok mereka ‘menurunkan’ muatannya. Keduanya senantisa dalam pengembaraan, yang dalam bahasa syair, perjalanan ini merupakan juga sebuah ciri bahwa tokoh dan karakter senantiasa bergerak dan mobile. Perpindahan dari suatu lokasi ke lokasi lain kemudian juga memiliki signifikansi simbolis. Dari ujung timur benih itu datang, kemudian mengarah ke barat lalu ke selatan dan utara. Semua kampung dan pemukiman dilalui, semua orang bersukacita karena kehadiran mereka.
Perempuan dan Ritus Pertanian
Peranan kedua perempuan ini dalam mendistribusikan benih juga ditampakkan dalam ritus pertanian. Dalam hal ini, saya hendak menguraikan lebih jauh budaya betek yang juga terkadang dilafalkan sebagai botok dari pada jewawut, karena pengucapan betek terasa lebih kontekstual. Betek (foxtail millet atau L. Setaria italica) merupakan salah satu tanaman pertanian tertua di antara kelompok manusia Austronesia. Domestikasi betek dapat ditelusuri ke belakang dimulai sejak tahun 5000 BC. Ada berbagai jenis betek, namun yang lazim ditemui di wilayah Indonesia Timur adalah jenis ekor rubah (foxtail millet), karena bentuknya yang mirip dengan ekor rubah. Betek merupakan jenis makanan yang diusahakan dengan sistim perladangan.
Walaupun budaya betek ini mulai dan telah tergerus oleh waktu dan zaman, sisa kearifan lokal dan simbolisasi kehidupan tergambar dalam ritus tersebut. Pengetahuan dan kearifan ini masih terpelihara oleh beberapa tetua adat dan merupakan warisan budaya yang penting. Simbolisasi pangan dan perempuan sangat kuat tergambar khususnya saat panen. Terdapat korelasi simbolis antara ritus pertanian dan ritus kelahiran. Sehingga pada saat panen ini dipandang sebagai saat yang krusial.
Dua orang perempuan bertugas memetik betek dan seorang di antaranya merupakan ‘ibu rumah/istri’ yang mewakili ide seorang perempuan hamil yang akan siap melahirkan anaknya. Bakul yang diikatkan pada perut sebagai wadah penampung betek yang akan dipetik, menirukan perempuan yang sedang membawa bayi dalam kandungan. Betek hasil pemetikan kemudian diinjak-injak untuk memisahkan biji dari tangkainya.
Saat mengumpulkan (huru) biji betek ini adalah momen krusial, saat diam secara ritual dimana semua orang harus berdiam diri dan duduk, karena ini adalah fase liminal, fase yang juga sama dalam peristiwa kelahiran yakni fase perjuangan antara hidup dan mati. Hasil dari betek yang terkumpul kemudian ditanyakan oleh para peladang lain yang duduk di luar pondok sama seperti menanyakan jenis kelamin anak yang baru lahir. Selain itu, kata yang dipergunakan untuk tikarpun adalah selimut (lafa) sebagaimana layaknya selimut yang membungkus bayi.
Jadi, dalam ritus betek ini sangat transparan gambaran fertilitas dan peran reproduksi perempuan yang memiliki korelasi dengan fertilitas dalam pertanian. Dalam ritus pertanian ini identifikasi peran perempuan dapat ditelusuri dari mitos dan khususnya berkaitan dengan ritus panen. Dalam ritus ini terdapat perayaan dan pengakuan terhadap kekuatan peran perempuan untuk menghadirkan kehidupan dan harapan baru akan kelangsungan hidup keluarga dan komunitas.
Asosiasi simbolik antara manusia/perempuan dan pangan ini telah lama dikenal oleh komunitas adat di NTT lainnya. Misalkan, pada masyarakat Sumba, manusia dan padi memiliki identitas paralel yang terungkap dalam berbagai metafora. Dalam konsep budaya orang Kodi, ketika manusia atau padi menderita karena bencana, kekerasan atau kematian yang digolongkan sebagai kematian ‘panas’, penghormatan terhadap jiwanya adalah melalui media yaigho, yakni sebuah seremoni nyanyian penghormatan, yang juga sama dipakai untuk memulihkan keberhasilan tanaman (Hoskins 1989).
Perempuan dan Ketahanan Pangan
Kearifan lokal yang tercermin lewat mitos dan ritus pertanian sebenarnya mendudukkan perempuan sebagai penerus kehidupan, sehingga peran dan fungsi reproduksinya mendapat penghargaan dan hal itu pula yang menjadi kekuatan perempuan untuk juga melakukan reproduksi sosial lewat upaya ketahanan pangan.
Dalam kegiatan pertanian orang Rote, dikenal sistim penanaman variasi benih dikenal sebagai ‘sembilan anak Lakamola’ (lakamola anan sio).
Sembilan benih ini adalah benih ‘kesempurnaan hidup’, mulai dari makanan pokok yakni beras atau jagung, kacang-kacangan dan labu. Benih-benih ini dapat ditanam di sawah maupun ladang, mewakili variasi makanan yang dapat diusahakan secara bersamaan dalam suatu lokasi pertanian. Variasi dan pemilihan benih disesuaikan dengan kondisi lahan yang tersedia. Pemilihan benih ini sangat berpengaruh terhadap ketersediaan bahan pangan, pola pembagian kerja serta variasi asupan gizi keluarga. Labu dapat dimasak bersama jagung dan kacang-kacangan. Turis dapat dimasak dengan nasi atau jagung. Selain itu pucuk dan bunga labu atau daun kacang dapat dimasak sebagai sayuran. Waktu panen yang berbeda dari setiap jenis tanaman, merupakan jaminan dan peluang bagi petani untuk merencanakan dan memprediksi ketersediaan pangan sampai pada musim tanam berikutnya. Hasil yang diperolehpun memiliki sistim perhitungan tersendiri sesuai dengan jenis makan untuk padi akan berbeda dari jagung dan betek.
Apabila kemudian makanan tersebut sudah disimpan dalam lumbung atau tempat penyimpanannya, maka perempuan atau istri memiliki otoritas penuh untuk mengambil atau mengeluarkan stok makanan. Hal ini berkaitan dengan pengetahuan dan perhitungannya terhadap batas ketersediaan makanan dalam keluarga. Dalam kehidupan petani yang mengandalkan menyadap lontar, ketika gula lontar telah disimpan dalam guci atau jerigen, maka untuk mengambil gula hasil sadapannya pun seorang suami pantang mengambil sendiri. Ia harus meminta istrinya untuk mengambilkan baginya. Hal ini sebenarnya merupakan penghormatan dan penghargaan peran istri sebagai manager dan pengatur logistik dalam keluarga.
Kuatnya asosiasi simbolik antara perempuan dan pangan dalam berbagai mitos, ritus dan tradisi serta adat kebiasaan masyarakat hendak menegaskan bahwa keberlangsungan hidup sebuah keluarga atau komunitas akan sangat bergantung dari penghargaan terhadap sumber daya kehidupan yang diusahakannya.
Pergeseran nilai dan pemahaman konsep ritus-ritus pertanian yang telah mulai memudar dalam komunitas adat sejalan dengan perjalanan waktu dikarenakan berbagai introduksi baru dalam varietas, teknik pertanian moderen, pengagungan terhadap beras sebagai makanan pokok utama, sampai pada operasi ketahanan pangan berbasis beras (raskin).
Perlu revitalisasi nilai-nilai positif dalam ritus pertanian yang dipakai untuk merayakan kehidupan dan penghargaan terhadap berbagai potensi sumberdaya untuk menjamin kelangsungan hidup dan reproduksi sosial. Salah satu fungsi ritus adalah memperkokoh solidaritas sosial dalam menghadapi berbagai situasi kehidupan.
Kapasitas lokal dan kelembagaan adat yang terdapat dalam berbagai komunitas adat merupakan elemen-elemen kultural yang ada dalam masyarakat. Fertilitas lahan pertanian menjadi masalah krusial dalam menghadapi pemanasan global yang melanda dunia saat ini yang akan berdampak pada krisis pangan. Kondisi tekanan dan kesulitan pangan akan berdampak pada relasi antarmanusia, relasi antarmanusia dan alam, dan relasi manusia dangan Tuhannya. Dalam berbagai upacara dan ritus pertanian penyembahan kepada Tuhan disimbolkan dengan persembahan hasil-hasil pertanian. Pesta dan perayaan panen diperuntukkan bagi distribusi kepemilikan untuk memperkokoh ikatan keluarga dan kekerabatan serta memperbaiki asupan gizi dalam komunitas.
Eratnya korelasi simbolik antara perempuan dan pangan, seharusnya menjadi pertimbangan yang kemudian dapat dipakai sebagai sebuah pendekatan kultural ketika hendak membuat atau merencanakan intervensi kebijakan pangan. Intervensi kebijakan pangan tersebut harus berbasis pengetahuan masyarakat dan perempuan merupakan sebuah pilihan cerdas yang tidak dapat diabaikan begitu saja. *
Sumber : Pos Kupang.com. 11 Desember 2010