Pengalaman Perempuan Halmahera Tengah atas Energi

0
2304

Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2017 tentang Tingkat Mutu Pelayanan dan Biaya yang terkait dengan Penyaluran Tenaga Listrik oleh PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) mencantumkan besaran Biaya Penyambungan, yaitu untuk 450 VA (Rp. 421.000), 900 VA (Rp. 843.000), 1300 VA (Rp.1.218.000) dan 2200 VA (Rp. 2.062.000). Aturan tersebut tidak sesuai dengan kenyataan, karena setiap rumah tangga di Halmahera Tengah diminta bayar mulai dari Rp.3.000.000 hingga 5.000.000 untuk mendapatkan energi listrik. Pada 1-4 Agustus 2017 Koalisi Perempuan sempat mewawancarai beberapa perempuan di Halmahera Tengah mengenai pengalaman mereka menggunakan energi listrik, inilah pengalaman beberapa anggota Koalisi Perempuan Indonesia.

Ferderika Balamau

Krisis Listrik di Halmahera

Bappenas (2015) mengidentifikasi Maluku sebagai salah satu wilayah dengan pemanfaatan energi terendah. Pada tahun 2015 rasio elektrifikasi di Provinsi Maluku Utara adalah 70,79%, jauh di bawah rata-rata nasional pada tahun 2014 (81,70%). Sebagian masyarakat mencoba memenuhi sendiri kebutuhan listrik dengan genset bermesin diesel untuk menyediakan pasokan listrik. Salah satu penyebab krisis listrik di Maluku Utara adalah ketidaktersediaan infrastruktur yang dibutuhkan untuk menyalurkan energi, serta minimnya pengembangan energi-energi terbarukan.

Bagi Ferderika Balamau (47 Tahun) pelayanan listrik  tak sepenuhnya memuaskan dan dapat memenuhi kebutuhannya, “sudah ada aliran listrik di rumah saya namun sering mati, pernah satu malam mati sampai tiga kali, saya membayar listrik sekitar Rp23.000-Rp30.000/bulan,” ujar Ferderika. Meski tinggal di Desa Fidijaya, Kecamatan Weda, Halmahera Tengah, Ferderika yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga & perempuan nelayan mendapat aliran listrik dengan menyambung dari tetangganya, dia belum sanggup membayar biaya pemasangan listrik baru yang mencapai  Rp3.500.000.

Yulwina Togo

Nasib serupa juga dialami Yulwina Togo, “saya membayar Rp25.000/bulan yang saya gunakan hanya lampu, tapi sering sekali mati lampu dan belum ada perhatian dari pemerintah, tak pernah ada yang datang mengunjungi secara langsung dan melihat kondisi kami,” ujarnya.

Beban perempuan karena krisis listrik

Perempuan adalah konsumen energi utama dalam rumah tangga, hal ini menjadi celah bagi oknum yang ingin mengambil keuntungan tanpa tanggung jawab. Nurhasanan Madjid, Dewan Kelompok Kepentingan Informal Koalisi Perempuan Indonesia asal Desa Were merasa ditipu. Sebelum bulan puasa (Juni 2017) ada petugas yang datang ke desa kami untuk mensosialisasikan tentang kompor LPG, sehingga saya mengumpulkan masyarakat khususnya ibu-ibu ke rumah saya. Lantas petugas itu mensosialisasikan tentang kompor LPG dan menjual alat untuk mencegah kebocoran gas, harganya satu buah Rp75.000. Saat itu kami ibu-ibu sudah beli untuk persiapan LPG mau datang tapi sampai sekarang LPG tidak ada.”

Nurhasanan Madjid, Dewan Kelompok Kepentingan Informal

Tak hanya merasa tertipu dengan tak pernah adanya pasokan gas untuk memasak, kondisi listrik yang tak stabil hidup dan matinya juga membuat Nurhasana kesulitan untuk melakukan usahanya, Nurhasana membuka usaha catering dan memproduksi tesamama (*tesamama adalah obat untuk menambah tenaga dan menurunkan kolesterol). Ketika memproduksi tesamama Nurhasana menggunakan blander dan dengan tak stabilnya kondisi listrik yang hidup mati bisa merusak alat elektroniknya, “sementara ini saya terkendala dengan alat saya yang rusak jadi tidak bisa memproduksi tesamama lagi,” sambungnya.

Nurjanah, Sekretaris Balai Perempuan Klutingjaya

Sekitar 1 jam perjalan dari Were, tim sekretariat nasional Koalisi Perempuan Indonesia menuju Desa Klutingjaya. Desa Klutingjaya hanya memiliki akses energi listrik mulai dari jam 18.00-06.00 WIT, “kadang tengah malam mati 10-30 menit kemudian menyala lagi, bisa juga jam 04.30 sudah mati. Jika listrik tidak menyala maka mengganggu anak saya untuk belajar  dan saya juga sulit untuk memasak,” ujar Nurjanah (48tahun), Sekretaris Balai Perempuan Klutingjaya, “tak hanya itu kalau masak nasi tidak jadi masak karena mati lampu dan blander juga terbakar karena mati lampu.”

Nurjanah menggunakan listrik meteran dengan daya 900 VA, rata-rata dalam sebulan dia membayar Rp70.000-Rp90.000/bulan, tetapi jika sering mati lampu Nurjanah hanya membayar tagihan listrik sekitar Rp30.000. “Ketika listrik mati kadang saya menggunakan mesin diesel yang biasa saya gunakan untuk menyiram air ke lahan pertanian saya, mungkin saat ini saya belum merasakan efek negatif dari penggunaan mesin diesel karena suami saya yang menyalakan mesin tersebut, tambahan biaya yang harus dikeluarkan untuk membeli BBM berkisar Rp.30.000/hari ,” lanjut perempuan yang biasa dipanggil Nur.

 

-Gabrella Sabrina

NO COMMENTS