Titik Temu masih jauh

0
991

Kasus Ceriyati, pekerja rumah tangga migran yang disiksa majikan di Malaysia; tewasnya Munti binti Hani karena siksaan majikan; dan Walfrida Soik yang diancam hukuman mati karena dituduh membunuh majikan, tampaknya terus berlanjut.

Migrant Care mencatat, 908 tenaga kerja Indonesia (TKI) tewas di Malaysia, 345 terancam hukuman mati, 6.845 menghuni penjara, dan 4. 532 kasus kekerasan pada tahun 2010. Peningkatan kasus setara dengan peningkatan devisa dari remiten TKI.

Sejak disahkan UU No 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri, terjadi lonjakan kasus 20-30 persen per tahun. Begitu diamati Direktur Eksekutif Migrant Care, Anis Hidayah. Tahun 2010, jumlah remiten Rp 71 triliun, naik dari Rp 63 Triliun tahun sebelumnya.

Migrasi tenaga kerja semakin sama nilainya dengan pergerakan komoditas di kawasan perdagangan bebas ASEAN atau AFTA. Oleh sebab itu, Kelompok Kerja Indonesia dan Gugus Tugas untuk Buruh Migran ASEAN mendesak agar Komite Implementasi Deklarasi ASEAN untuk Perlindungan dan Promosi Hak-hak Buruh Migran (ACMW)—deklarasi ditandatangani di Cebu, Filipina, 13 Januari 2007 oleh 10 kepala negara/pemerintahan ASEAN—segera mengadopsi instrumen perlindungan dan pemajuan hak-hak buruh migran di ASEAN yang sifatnya mengikat secara hukum.

Organisasi Migrasi Internasional (IOM) mencatat sekitar lima juta buruh migran ASEAN di kawasan di ASEAN. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (2010) mencatat ada 2,6 juta TKI bekerja di Malaysia, sekitar 65 persen dari total buruh migran di situ, 80.150 TKI di Singapura dari total 198.000 buruh migran, dan 40.450 TKI dari 148.000 buruh migran di Brunei.

Dengan lebih dari 60 persen migran di sektor informal, integrasi kawasan ASEAN lebih memperlebar jurang kaya dan miskin ketimbang kepentingan bersama kawasan. Begitu kata Ketua Gugus Tugas Buruh Migran ASEAN Sinapan Samydorai dari Singapura.

ASEAN terbelah dengan Indonesia, Filipina, Vietnam, Myanmar, dan Kamboja sebagai negara pengirim; Malaysia, Singapura, Brunei, dan Thailand sebagai penerima. Posisinya timpang karena hanya Filipina yang meratifikasi Konvensi PBB tentang Perlindungan Pekerja Migran dan Keluarganya.

Pertemuan ke-4 ACMW di Jakarta 11-12 April ini tak menunjukkan kemajuan dalam penyusunan draf instrumen perlindungan. Belum ada titik temu tentang cakupan definisi pekerja migran, kata Direktur Pembinaan dan Penempatan TKI Kemenakertrans, Roostiawati.

Malaysia dan Singapura enggan menerima usul Indonesia dan Filipina yang mau tak ada pembedaan antara migran berdokumen dan tak berdokumen kalau terjadi kasus kekerasan, selain menghendaki instrumen hukum yang mengikat.

Soal titik temu mengingatkan pada revisi Nota Kesepakatan (MoU) 2006 antara Indonesia dan Malaysia menyangkut hak-hak TKI yang masih terkatung-katung sampai sekarang.

Tanpa regulasi yang ketat, pekerja migran hanyalah tumbal kemajuan ekonomi, apalagi kalau penempatannya di luar negeri tak didukung kebijakan komprehensif dan transparan di negeri asal untuk melindungi hak-hak dasarnya. Bagaimana mau membangun kehidupan bersama yang adil, setara, dan bermartabat? (Maria Hartiningsih)

 

NO COMMENTS