Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan serta Tantangan Intoleransi

0
2815

Koalisi Perempuan Indonesia mendapat kesempatan untuk menghadiri acara Pemutaran Film & Diskusi Publik pada 7 Desember 2015 di Erasmus Huis, Pusat Kebudayaan Belanda, Jakarta. Kegiatan ini dilaksanakan dalam rangka memperingati Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional yang diselenggarakan oleh Wakil Indonesia untuk Komisi Antar-Pemerintahan ASEAN untuk HAM (AICHR) bersama dengan Kedutaan Besar Kerajaan Belanda.

Pemutaran Film & Diskusi Publik Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan serta Tantangan Intoleransi di ASEAN diselenggarakan dengan tujuan untuk meningkatkan pemahaman para pemangku kepentingan mengenai isu kebebasan beragamana dan berkeyakinan di Indonesia dan ASEAN secara luas, serta meningkatkan kesadaran akan pentingnya memajukan toleransi beragama di ASEAN.

cover timbuktu

Acara dibuka dengan pemutaran film berjudul Timbuktu. Film ini berkisah tentang ekstremis agama di Timbuktu, Mali. Daerah ini dikuasai oleh sekelompok fundamentalis agama, kegiatan menghibur diri tak diperbolehkan di Timbukti misalnya memasang musik, tertawa, merokok hingga bermain sepak bola. Tak hanya sebatas itu, kelompok ekstremis agama ini juga melakukan pengadilan dan mengeluarkan vonis yang tak masuk akal. Selanjutnya, banyak hak-hak perempuan dirampas misalnya dipaksa menikah dengan kaum fundamentalis agama serta diberlakukannya aturan setiap perempuan diwajibkan mengenakan sarung tangan dan kaus kaki.

Alur cerita Timbuktu berfokus kepada sebuah keluarga yang hidup tenteram di daerah bukit pasir yang dekat dengan Timbuktu. Keluarga ini menghidupi diri dengan menggembalakan ternak. Suatu hari, kepala keluarga, Kidane tak sengaja membunuh seorang nelayan bernama Amadou. Kehidupan keluarga Kidane berubah drastis ketika nasib Kidane bergantung kepada kelompok jihad dan hukum buatan mereka.

Film ini berdasarkan kisah nyata yang terjadi pada tahun 2012, ketika pasukan Al Qaeda merajam orang tua dua anak sampai mati, dengan alasan pasangan tersebut tidak menikah. Film ini memenangkan beberapa penghargaan, di antaranya, Most Valuable Movie of the Year di ajang Cinema for Peace 2015, serta nominasi untuk Best Foreign Language Film di Academy Awards 2015.

Seusai pemutaran film, Duta Besar Kerajaan Belanda untuk Indonesia, Rob Swartbol memberikan pidato singkat mengenai hubungan antara pemutaran film Timbuktu dengan Universal Declaration of Human Right. Dalam pidato singkatnya Rob Swartbol mengatakan, “budaya bisa menjadi tantangan dalam penegakan Hak Asasi Manusia, semua pihak harus berjuang keras untuk mendorong terintegrasinya Hak Asasi Manusia dalam kebijakan publik.” Rob Swartbol mengungkapkan bahwa dirinya merasa beruntung dapat mempelajari bagaimana bertoleransi dan berdialog dengan Indonesia.

Selanjutnya, Rafendi Djamin selaku Wakil Indonesia untuk ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR) menghubungkan film Timbuktu dengan konteks keberagaman di ASEAN dan Indonesia. Rafendi Djamin juga menjelaskan bahwa acara ini merupakan acara yang terakhir sebelum mandatnya selama 6 tahun selesai. Pada akhir Februari 2015, Rafendi Djamin menghadiri sidang terakhir komisi HAM (AICHR) di Kuala Lumpur. Dalam sidang tersebut terjadi penyerah-terimaan  tugas yang sebelumnya dipegang oleh Malaysia, kemudian diserahkan kepada Laos.

Anggota AICHR di antaranya adalah Indonesia, Brunei Darussalam, Kamboja, Laos, Myanmar, Philipina, Singapore, Thailand, dan Vietnam. Sidang AICHR di Kuala Lumpur tersebut membahas hasil dari ASEAN Summit yaitu adanya Konvensi ASEAN yang merupakan dokumen legal dan mengikat untuk mengurangi perdagangan manusia di ASEAN. AICHR mengambil sikap proaktif untuk mempelajari dokumen tersebut dan mengisi action plan untuk memerangi perdagangan manusia.

Setelah itu, kunjungan kerja Rafendi Djamin berlanjut ke Bangkok, meneruskan pembahasan hasil ASEAN Summit tersebut menjadi Kuala Lumpur Declaration ASEAN 2025: Forging Ahead Together, yang merupakan suatu visi ASEAN untuk 10 tahun ke depan. Deklarasi ini merupakan misi lanjutan dari kerjasama yang dibentuk 5 tahun terakhir untuk menuju masyarakat ASEAN.

Rafendi Djamin mengatakan, “satu Januari 2016 adalah awal masyarakat  ASEAN,  pada pembahasan tersebut AICHR, juga membahas resiko-resiko yang akan dihadapi kelompok rentan yaitu penyandang disabilitas dan anak-anak (rentan pelanggaran HAM). Selain itu, bagaimana agar dua kelompok rentan tersebut semakin terorganisir dan melibatkan diri, diikut sertakan dalam proses komunitas ASEAN.” Rafendi juga menambahkan, “tak hanya mengenai integrasi ekonomi, politik. Namun juga sepakat akan common sense universal tentang demokrasi, good govermence, dan hak asasi manusia.”

Cetak biru ASEAN manjelaskan bahwa masyarakat ASEAN sebagai suatu komunitas masyarakat yang inklusif dan responsif, serta komunitas yang merangkul toleransi dari masyarakat yang moderat, penuh penghargaan pada perbedaan berdasarkan agama, budaya, dan bahasa dengan menjunjung tinggi nilai bersama dalam semangat bersatu dalam keberagaman.

H. M. Machasin, MA (DirjenBimbingan Masy. Islam Kementerian Agama), Rafendi Djamin (Wakil Indo u AICHR), Dr. Abdurrahman M. Fachir (Wakil Menteri Luar Negeri RI)

Acara kemudian dilanjutkan dengan diskusi panel yang dimoderatori oleh Rafendi Djamin dengan dua narasumber yaitu DR. H. M. Machasin, MA, (Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Kementerian Agama Republik Indonesia) dan Dr. Abdurrahman M. Fachrir (Wakil Menteri Luar Negeri Republik Indonesia).

Dalam diskusi panel DR. H. M. Machasin mengatakan bahwa masyarakat Indonesia dikenal sebagai orang yang toleran sejak zaman Kerajaan Majapahit. “Ketika Indonesia merdeka, ada golongan-golongan yang punya keinginan untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara, tapi akhirnya bisa diganti dengan nasionalisme tanpa keributan yang berarti,” ujar DR. H. M. Machasin menjelaskan tentang perubahan sila “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” (Piagam Jakarta) yang kini menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” pada sila pertama Pancasila.

Dr. Abdurrahman M. Fachrir juga mengatakan bahwa kita semua terlahir pluralis, kita harus sadar bahwa kita terlahir dengan beragam agama dan budaya, harus menghormati minoritas. “Sebelum merdeka, pendiri bangsa sudah memposisikan diri sebagai warga dunia yang baik. Konstitusi kita (Indonesia) yang paling detail mengenai hak asasi manusia, serta penghormatan yang luar biasa bagi keberagaman,” tutur Dr. Abdurrahman M. Fachrir.

Dr. Abdurrahman M. Fachrir juga mengingatkan bahwa seiring berkembangnya teknologi dan era global, sebagai penerus bangsa sudah seharusnya kita menyebarkan kebaikan bukan kebencian, serta membuka diri dengan berdialog & merangkul orang lain untuk berdialog, sehingga dialog dan toleransi akan terus terjalin.

 

 

G.S.

NO COMMENTS