Media Rilis ” Komitmen Aleg Perempuan Terhadap Batas Usia Perkawinan untuk Akhiri Perkawinan Anak “

0
1330

Pernyataan Media Koalisi Perempuan Indonesia

“ALEG PEREMPUAN BERKOMITMEN REVISI TERBATAS UU PERKAWINAN
UNTUK AKHIRI PERKAWINAN ANAK”

Pada Rabu, 9 Januari 2019 lima (5) orang Anggota Legislatif Perempuan: Diah Pitaloka (Fraksi PDIP), Hetifah (Fraksi Golkar), Nihayatul Wafiroh (Fraksi PKB), Irma Suryani Chaniago (Fraksi Nasdem), dan Ratu Hemas (DPD dan Ketua Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia), bersama Dian Kartikasari (Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia), Titi Anggraini (Perludem), Yuda Irlang (Maju Perempuan Indonesia), dan Anggara (ICJR/Kuasa Hukum Pemohon),  menyatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara No. 22/PUU-XV/2017 tentang Pengujian Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) perlu segera ditindaklanjuti. Dalam putusannya Mahkamah Konstitusi menyampaikan bahwa batas minimal usia 16 tahun bagi perempuan, dan perbedaan  batas  usia perkawinan antara perempuan dan laki-laki tidak sesuai dengan undang-undang dasar, serta mengamanatkan pembuat undang-undang untuk segera melakukan revisi UU Perkawinan.  Anggota legislative perempuan bersepakat bahwa tidak ada alasan lagi untuk menunda revisi terbatas UU Perkawinan, untuk menaikan batas usia perkawinan perempuan.

Perkawinan anak, menurut Yuda Irlang, merupakan persoalan nyata di Indonesia dan berpotensi menghambat pembangunan di Indonesia. Bahkan, 8 Tujuan dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan akan sulit dicapai jika Indonesia lambat mencegah dan menghentikan perkawinan anak. Tentunya hal ini akan membawa kerugian bagi pembangunan Indonesia secara keseluruhan.

Koalisi Perempuan Indonesia mengapresiasi komitmen DPR RI untuk memprioritaskan revisi UU Perkawinan sesuai dengan amanat Mahkamah Konstitusi, sesuai dengan Pidato Ketua DPR RI dalam Rapat Paripurna DPR RI Pembukaan Masa Persidangan III Tahun Sidang 2018 – 2019, pada 7 Januari 2019, yang pada intinya akan memprioritaskan pembahasan dan pengesahan undang-undang yang diamanatkan Mahkamah Konstitusi, salah satunya UU Perkawinan. Untuk menindaklanjutinya perlu pengawalan Anggota Legislatif Perempuan di DPR RI.
Hal ini sejalan dengan pandangan Titi Anggraini, Anggota Bawaslu/Perludem, bahwa kehadiran anggota parlemen perempuan hari ini meneguhkan keterwakilan politik perempuan. Dimana perempuan lebih memahami dan dapat mengartikulasikan secara baik persoalan perempuan dan anak. Untuk itu, anggota legislatif perempuan perlu mengawal putusan Mahkamah Konstitusi, perlu memastikan pengamanan putusan MK sehingga tidak ada penolakan, perlawanan, maupun tafsir yang berbeda. Khususnya jika ada kecenderungan untuk melakukan politisasi pemilih dengan syarat perkawinan. KPPPRI, perlu bersinergi dengan organisasi perempuan dan masyarakat sipil untuk mengawal putusan MK.
Bagi kelompok perempuan, suara perempuan di parlemen sangat menentukan. Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia, Dian Kartikasari, berharap untuk melakukan pertemuan dengan Kaukus Perempuan Parlemen RI dan organisasi perempuan lain untuk menyatukan pendapat mengenai batas usia perkawinan perempuan. Revisi kebijakan nasional yang menghapuskan praktek perkawinan anak akan menegaskan penegakan substansi dan membangun budaya hukum yang menolak praktek perkawinan anak.
Irma Suryani dari Komisi IX DPR Fraksi Nasdem, menyatakan kemiskinan dan upaya melepaskan diri dari beban ekonomi, sering dijadikan alasan orang tua mengawinkan anak-anaknya yang masih usia anak. Padahal, faktanya perkawinan mereka tidak berusia panjang dan kembali ke orang tua dengan menambah beban orang tua. Perkawinan anak, juga mengakibatkan perempuan tidak memperoleh pendidikan, sehingga perempuan terpaksa menjadi pekerja informal, seperti buruh Migrant. Sebagai Sekjend Kaukus Perempuan Parlemen Indonesia (KPPRI), menyatakan KPPRI  berkomitmen untuk mengawal revisi undang-undang Perkawinan yang akan menaikan batas usia minimal perkawinan perempuan.
Hetifah, Komisi X menyatakan ketika akses terhadap pendidikan masih sulit, masyarakat mengutamakan pendidikan bagi anak laki-laki, sampai saat ini masih berlangsung. Meski akses pendidikan sudah bagus ternyata angka perkawinan anak masih tinggi dan memiliki kecenderungan naik. Indonesia, sebagian masyarakat masih belum memahami kerugian perkawinan anak. Undang-undang Perkawinan perlu segera diubah, merupakan symbol bahwa Indonesia memiiki komitmen untuk mendorong kesetaraan gender di Indonesia. Upaya ini dapat sebaiknya diselesaikan dalam masa bakti DPR 2014 – 2019, kehadiran aleg perempuan di sini merupakan komitmen aleg perempuan. Usulan batas usia dapat mempertimbangkan minimal menyelesaikan wajib belajar 12 tahun, sehingga minimal 18 tahun.
Ratu Hemas, Ketua KPPRI, menyatakan perkawinan anak dapat diselesaikan jika ada sinergi antara pemerintah, masyarakat sipil, dan tokoh masyarakat serta agama. Sementara di tingkat nasional, perempuan harus bekerja untuk merevisi UU Perkawinan. Kaukus Perempuan Parlemen akan memperjuangkan agar bisa mewujudkan revisi undang-undang perkawinan yang akan melindungi anak dari Perkawinan Anak.
Diah Pitaloka, yang juga merupakan anggota Komisi VIII, anggota legislative perempuan, dipastikan memiliki komitmen untuk mendorong revisi UU Perkawinan Anak. Namun diantara anggota perlu disatukan terlebih dahulu, apakah batas usia akan diubah menjadi sama 18 tahun, atau 19 tahun atau 21 tahun. Perlu  dipikirkan dua hal: batasan usia anak dan dewasa, serta pentingnya menyeragamkan semua undang-undang sehingga tidak ada perbedaan antar regulasi. Selain itu, Kita juga harus menghindari potensi negative, jangan sampai perkawinan siri menjadi pilihan, karena usia perkawinan di naikkan. Diah Pitaloka menyatakan, butuh langkah konkrit untuk memulai pembahasan RUU Revisi Terbatas UU Perkawinan, yaitu menjadikannya sebagai inisiatif dewan dan mengusulkan agenda pembahasan.
Anggara, Kuasa Hukum dari pemohon JR UU Perkawinan no perkara xxxx menyatakan bahwa putusan MK adalah hal yang baik karena merupakan jawaban atas perjuangan penghapusan perkawinan anak sepanjang 90 tahun, sejak 1928. Kini DPR memiliki peran untuk segera melakukan perubahan UU Perkawinan. Di sisi lain,  kita masih perlu mewaspadai potensi kriminalisasi atas anak yang melakukan atau dicurigai melakukan perkawinan anak, sehingga jalan keluar yang dipilih adalah melakukan perkawinan anak.
Selain itu, Nihayatul Wafiroh, mengingatkan masyarakat bahwa selain budaya hukum perlu mengubah budaya di masyarakat yang memudahkan praktek perkawinan anak. Oleh karenanya, perubahan kebijakan perlu dibarengi dengan sosialisasi dan mempengaruhi tokoh agama serta tokoh masyarakat agar turut melakukan pencegahan perkawinan anak.
Langkah selanjutnya, aleg perempuan  akan mengawal proses di DPR RI. Jika melakukan pertemuan seharusnya tidak ada perbedaan pendapat, untuk itu menunggu inisiatif Komisi VIII untuk melakukan pertemuan dengan kelompok perempuan. Komisi VIII akan menindaklanjuti dengan melakukan revisi terbatas dan memasukannya ke dalam daftar pendek Prolegnas sebagai revisi undang-undang Perkawinan berdasarkan tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi. Hal ini sudah menjadi komitmen DPR yang telah dibacakan dalam Sidang Paripurna Pertama tahun 2019.
Jakarta, 9 Januari 2019

Dian Kartikasari
Sekretaris Jenderal
HP: 0816759865

NO COMMENTS