Cerita dari Balai Perempuan Jogoyudan

0
2200

Untuk mewujudkan visi sebagai organisasi massa perempuan yang dapat mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender menuju masyarakat yang demokratis, sejahtera dan beradab,  Koalisi Perempuan Indonesia mendorong anggotanya menjadi agen perubahan yang dapat membela hak-hak perempuan dan kelompok yang dipinggirkan. Koalisi Perempuan Indonesia memiliki sistem Pendidikan Kader Berjenjang untuk anggotanya. Dimulai dari Pendidikan Kader Dasar, Pendidikan Kader Menengah, dan Pendidikan Kader Lanjut, dengan adanya pendidikan kader ini Koalisi Perempuan Indonesia memberikan peningkatan kapasitas dan peluang bagi perempuan untuk menjadi agen perubahan, pemberdaya hak politik perempuan, hingga sebagai unsur penting dalam gerakan masyarakat sipil untuk keadilan dan demokrasi.

Dari liputan redaksi SEMAI di Daerah Istimewa Yogyakarta, Suparti, anggota Koalisi Perempuan Indonesia Kelompok Kepentingan Miskin Kota di Balai Perempuan Jogoyudan mengungkapkan perkembangan pribadinya selama bergabung dengan Koalisi Perempuan, “saya sudah bergabung sejak 2015, pelatihan yang saya ikuti baru Pendidikan Kader Dasar. Sejak bergabung di Koalisi Perempuan Indonesia pengalaman saya bertambah, saudara perempuan juga bertambah, saya tahu mengenai Badan Penyelenggara Jaminan Sosial mulai dari bagaimana cara membayar dan menggunakannya, hingga bagaimana cara orang yang tak mampu harus mendapatkan Jaminan Kesehatan Nasional. Selain itu saya juga mengetahui apa itu Kekerasan dalam Rumah Tangga dan bagaimana cara mencegah serta menanganinya.”

Suparti, anggota Koalisi Perempuan Indonesia Kelompok Kepentingan Miskin Kota

Meski pengetahuan Suparti mengenai Jaminan Kesehatan Nasionalbertambah hal ini tak sejalan dengan pengalaman yang dia rasakan, dia tak pernah merasakan Jaminan Kesehatan Nasional. Selama ini jika ada anggota keluarganya yang sakit Suparti dapat menggunakan Jaminan Kesehatan Daerah, tapi ada kekhawatiran yang membayangi dirinya, “saya khawatir jika walikota atau pemimpinnya berganti dan terjadi perubahan kebijakan, saya takut Jamkesda tak berlaku lagi,” ujarnya.

Suparti yang merupakan ibu rumah tangga memiliki dua orang anak, “suami saya berjualan nasi rames, penghasilan hanya pas untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, jika anak sudah mulai besar dan biaya akan semakin bertambah terutama biaya pendidikan.” Biaya ekonomi, terutama biaya kesehatan dan pendidikan yang selalu meningkat menjadi permasalahan yang menghantui Suparti dan keluarga. Usianya tak muda lagi, tak mungkin bekerja sebagai penjaga toko, lapangan pekerjaan pun makin sempit dan usaha suaminya tak lagi bisa menopang kehidupan mereka selamanya.

“Saya berharap mendapatkan bantuan berupa kartu Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan juga Kartu Indonesia Pintar (KIP), katanya beberapa tetangga saya mendapatkan Program Keluarga Harapan (PKH), tetapi saya tidak dapat program itu. Mungkin sewaktu pendataan, saya dulu sedang bekerja sehingga terlewat atau mungkin rumah saya tinggal dianggap sudah layak, padahal itu hanya rumah kontrakan,” kata Suparti sambil melihat rumah di sekitarnya.

Presidium Wilayah Jogyakarta Kelompok Kepentingan Miskin Kota, De Listiyaningsih

Redaksi SEMAI juga sempat mewancarai Presidium Wilayah Jogyakarta Kelompok Kepentingan Miskin Kota, De Listiyaningsih (56 tahun), atau biasa dipanggil Lis. Lis telah bergabung dengan Koalisi Perempuan Indonesia sejak 2005. Kemudian terpilih dan menjadi presidium wilayah selama 2 periode. “Saya mengikuti banyak pelatihan di Jakarta, pernah ke Semarang untuk mengikuti pelatihan Community Organizer selama 10 hari, dan Pendidikan Kader Menengah di Surabaya. Selama mengikuti Koalisi Perempuan Indonesia saya lebih maju, banyak pengalaman, teman, dan kepandaian.”

Terkait Jaminan Kesehatan Nasional Lis mendaftar secara mandiri, “saya rasa pelayanan dan obatnya bagus. Saya pun mendapat informasi jika ada pemeriksaan gratis seperti untuk mengecek gula darah atau Pap Smear (mendeteksi kanker Rahim).”

Lis bercerita bahwa permasalah perempuan di sekitar Balai Perempuan Jogoyudan cukup beragam, mulai dari kepemimpinan perempuan hingga permasalahn rumah tangga, “kami di Koalisi Perempuan Indonesia memberi tahu solusi tapi keputusan ada di mereka (perempuan). Kepemimpinan perempuan di sini hampir tidak ada, kami terus mendorong supaya perempuan menjadi ketua RT/RW, tetapi belum ada kesempatan karena masyarakat masih mengindolakan pemimpin itu harus laki-laki. Kami berusahan mengubah pemikiran tersebut. Saya pribadi kemarin sempat mencalonkan diri menjadi Ketua RT tetapi tidak diperbolehkan karena saya sendiri (janda). Saya merasa dirugikan, itu hak toh, semua punya hak tapi perempuan di sini masih disingkirkan karena banyak laki-laki yang mampu memimpin.”

 

 

-Gabrella Sabrina

NO COMMENTS