Perempuan Korban Perkawinan Anak, Gugat Pasal 7 ayat 1 UU Perkawinan

0
8307

 

Pernyataan Koalisi 18+

Permohonan Judicial Review terhadap  Undang-Undang Perkawinan

Tiga Perempuan Korban Perkawinan Anak , Menggugat  Pasal 7 (1) UU Perkawinan di Mahkamah Kostitusi RI

 

 

Hari ini, Tim Kuasa Hukum Koalisi 18+ mewakili tiga orang perempuan korban perkawinan anak mengajukan permohonan pengujian Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan  (UU Perkawinan) Ke Mahkamah Konstitusi. Para korban mengajukan permohonan ini karena negara masih lalai memberikan perlindungan pada perempuan dari praktek perkawinan anak.  Mereka adalah: Endang Wasrinah,  Maryanti dan Rasminah

 

Sampai saat ini, Indonesia belum melakukan perubahan UU yang masih memperbolehkan anak perempuan untuk kawin, (Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) UU Perkawinan). Bahkan keputusan Mahkamah Konstitusi 30-74/PUU-XII/2014 yang menyatakan bahwa Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) UU Perkawinan tidak bertentangan dengan UUD 1945 telah menguatkan Praktek Perkawinan Anak. Situasi ini menimbulkan diskriminasi dan melanggengkan ketidaksetaraan kedudukan hukum bagi  anak perempuan.

 

Presiden Joko Widodo dan DPR begitu cepat merespon kasus-kasus kekerasan seksual terhadap anak perempuan, sehingga mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 1 tahun 2016 tentang Perlindungan Anak. Kemudian DPR RI mensahkannya menjadi Undang-undang Nomor 17 tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-undang.

 

Namun, sebaliknya, dalam konteks perkawinan anak pemerintah belum menunjukkan dukungan nyata dengan mengambil kebijakan strategis yang dapat mengakhiri perkawinan anak. keputusan Mahkamah Konstitusi 30-74/PUU-XII/2014, masyarakat sipil telah mengajukan rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Pencegahan Perkawinan Anak (Perppu Penghentian Perkawinan Anak) sejak tahun 2016. Rancangan tersebut telah didiskusikan bersama Kantor Staf Presiden serta Kementerian Agama, namun rancangan tersebut mangkrak hingga saat ini tanpa kejelasan kelanjutan pembahasan dan pengesahannya. Padahal di dalam perkawinan anak pasti terjadi kekerasan seksual. Koalisi 18+ tetap mendorong langkah-langkah perubahan kebijakan Pencegahan Perkawinan Anak tersebut.

 

Dengan situasi saat ini,  pemerintah Indonesia tidak lagi dapat menutup mata. Fakta Profil Anak Indonesia yang disusun oleh BPS (2015) telah menunjukkan presentase perkawinan anak usia 10-17 di perkotaan yaitu 0.9 persen, sedangkan di pedesaan 2.24 persen. Dari data tersebut 35.83 persen kawin sebelum usia 15 tahun 39.45 persen di usia 16 tahun, dan 24.72 persen di usia 17 tahun.

 

Perempuan yang kawin pada usia anak akan tercabut dari kesempatan menuntaskan pendidikan 12 tahun, berpotensi menanggung beban pengasuhan anak dan keluarga. Selain itu, perkawinan anak turut menyumbang pada tingginya angka kematian ibu dan anak di Indonesia. Perempuan yang melahirkan pada usia 10 – 14 tahun berisiko lima kali lipat meninggal saat hamil maupun bersalin dibandingkan kelompok usia 20 – 24 tahun, dan resiko ini meningkat dua kali lipat pada anak usia 15 – 19 tahun (WHO 2014). Kementerian Kesehatan mengkonfirmasi kehamilan yang terlalu muda sebagai salah satu penyebab kematian maternal. Kenyataan tersebut menunjukan bahwa perkawinan anak telah melanggar hak anak,  antara lain, hak atas pendidikan, kesehatan, tumbuh kembang, dan bebas dari kekerasan seksual.

 

Maka dalam semangat peringatan hari Kartini, untuk memperjuangkan hak perempuan dan melindungi hak anak Indonesia, maka tiga orang perempuan yang menjadi korban perkawinan anak mengajukan Judicial Review atas UU Perkawinan dengan batu uji yang berbeda yaitu Pasal 27 ayat (1) yang berbunyi “Konstitusi pada prinsipnya mengatur tentang Kedudukan warga negara, Penghidupan dan pembelaan terhadap Negara”. Warga negara adalah sama kedudukannya, memiliki hak dan kewajibannya, setiap individu mendapat perlakuan yang sama dari negara. Ketentuan ini secara tegas termuat dalam konstitusi tertinggi kita, yaitu UUD 1945 Bab X sampai Bab XIV pasal 27 sampai pasal 34.

 

Hari ini, negara harus mendengar langsung suara perempuan-perempuan korban perkawinan anak.

 

Jakarta, 20 April 2017

a/n Tim Kuasa Hukum Koalisi 18+

Dian Kartika, SH (0816759865)

Supriyadi Widodo Eddyono, SH (081586315499)

Ajeng Gandini, SH (083816306080);

 

Koordinator Kampanye Koalisi 18+

Freynia,  PKBI (08158320406)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Lampiran

 

Ruang Lingkup Pasal yang Diuji

 

Ketentuan

 

 

Rumusan

 

Pasal 7 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (1)     Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun..

 

Dasar Konstitusional yang Digunakan

 

Ketentuan

UUD 1945

 

 

Materi

 

Pasal 27 ayat (1)

 

Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya

 

 

Alasan – Alasan Permohonan

 

  • Ketentuan Pasal 7 ayat (1) sepanjang frasa “16 (enam belas) tahun” dalam UU Perkawinan telah melanggar prinsip “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum”, sehingga bertentangan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945
  • Ketentuan Pasal 7 ayat (1) sepanjang frasa “16 (enam belas) tahun” dalam UU Perkawinan menimbulkan pembedaan kedudukan hukum dan diskriminasi terhadap anak perempuan dalam hak kesehatan
  • Ketentuan Pasal 7 ayat (1) sepanjang frasa “16 (enam belas) tahun” dalam UU Perkawinan menimbulkan pembedaan kedudukan hukum dan diskriminasi terhadap anak perempuan dalam hak pendidikan
  • Ketentuan Pasal 7 ayat (1) sepanjang frasa “16 (enam belas) tahun” dalam UU Perkawinan menimbulkan pembedaan kedudukan hukum dan diskriminasi terhadap anak perempuan menimbulkan resiko eksploitasi anak perempuan

 

Petitum Permohonan

Para Pemohon dalam hal ini memohon kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia untuk dapat memutus hal-hal sebagai berikut:

  1. Menerima dan mengabulkan seluruh permohonan pengujian undang-undang yang diajukan oleh Para Pemohon untuk seluruhnya;
  2. Menyatakan ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sepanjang frasa “umur 16 (enam belas) tahun”, bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dibaca “umur 19 (sembilan belas) tahun”;

NO COMMENTS