BERJUANG DI KAMPUNG 1001 MALAM, SURABAYA

0
7840

Oleh Idealita Ismanto

Tak pernah terlintas di benak Munawardiyah (80) akan menjalani hari-hari tuanya di bawah jembatan. Raut wajahnya yang keras dan matanya yang teduh mengisyaratkan bagaimana kerasnya kehidupan yang dijalaninya.

Mak Nyah, begitu panggilan akrab Munawardiyah dan keluarganya datang dari Mojokerto ke Surabaya pada awal tahun 1986. Pertama kali datang di Surabaya. ia bekerja sebagai kuli bangunan di daerah Pegirian, Surabaya. Kecilnya penghasilan yang diperolehnya, membuatnya tak sanggup untuk membayar uang sewa rumah. Ia pun terpaksa memutuskan membawa serta keluarganya untuk tinggal di bawah kolong jembatan Surabaya gempol yang selalu bising karena banyaknya truk yang lewat.

evergreen
Banyak truk yang berlalu lalang di atas pemukiman

Munawardiyah dan keluarganya adalah keluarga pertama yang datang di bawah jembatan Surabaya Gempol tersebut. “Kolongnya masih bolong, kami menggunakan lampu templok dan suket (rumput)nya tinggi.” Jelas Mak Nyah. Ketika baru pertama tinggal di sana, di depan rumahnya masih bisa ditanami pohon singkong, sawi, pisang dan jagung, untuk menopang kebutuhan keluarnya. Banyak panen dan tanah masih subur. Tapi sekarang, karena sudah padat warga yang tinggal di sana, untuk bercocok tanam kembali rasanya sangat sulit.

Lima belas tahun setelah bekerja sebagai kuli bangunan, Mak Nyah tak sanggup lagi mempertahankan perkerjaannya. Tubuhnya yang mulai melemah seiring pertambahan usianya, hingga akhirnya memaksanya untuk berpindah pekerjaan sebagai pemulung sampah dan barang bekas (rongsokan).

Bekerja sebagai pemulung sampah dan barang bekas, dilakukannya dua kali dalam sehari, di saat pukul 12 malam hingga jam 2 pagi. “Biasanya warga sudah membuang semua sampah mereka, dan Mak bisa mengambilnya, selain itu jam kerjanya 9 pagi hingga jam 11 siang”, jelas Mak Nyah.

Mak Nyah mencari botol
Mak Nyah bekerja sebagai pemungut rongkosan. Ia bekerja dua kali dalam sehari.

Rata-rata selama dua hari, dirinya bisa mendapatkan rongkosan berupa plastik, kardus dan kaleng sebanyak 15 kg. 1 kg plastik harganya Rp 2,500,- dan 1 kg kardus harganya Rp 6.000,-. “Kalau sedang ada rongkosan banyak,ya bisa ditukar selama dua hari, tapi kalau sedang sepi harus menunggu selama seminggu”, Ia menjelaskan.

Dibantu tetangganya, Mak Nyah segera membawa kumpulan barang rongsokannya untuk ditimbang dan dijual kepada pengepul barang rongkosan.
Dibantu tetangganya, Mak Nyah segera membawa kumpulan barang rongsokannya untuk ditimbang dan dijual kepada pengepul barang rongkosan.

Semua suka dan duka yang telah dijalani Mak Nyah, selalu disyukurinya. Sekecil apapun rezekinya, Ia tidak pernah menyerah. Di saat ada bayi tetangganya yang mengeluh kesakitan, Mak Nyah dengan sigap mempersiapkan minyak gosok dan parutan bawang merah untuk memijat sang bayi. Dengan didoakan terlebih dahulu, Ia mulai memijat bayi yang diletakkan di atas kakinya.

Sepanjang hari, ia tak berhenti mengerjakan segala upaya untuk bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. Dini hari sepulang memulung, ia baru beristirahat di kamar yang bersekat sekat, dengan cahaya lampu yang temaram dan pengap. Di dalamnya terdapat kasur dan lemari kecil. Di depan kamar tersebut ada kompor kecil untuk memasak makanan,dan di samping kamar ada dapur kecil seadanya yang dibuat Mak Nyah untuk menaruh piring dan peralatannya.

 Setiap subuh, Mak Nyah selalu bangun untuk menyiapkan kopinya,untuk semangat kerja mengumpulkan rongkosan.
Setiap subuh, Mak Nyah selalu bangun untuk menyiapkan kopinya,untuk semangat kerja mengumpulkan rongkosan.

Mak Nyah tinggal bersama 6 anaknya dan 10 cucu. Rumah keempat anak-anaknya yang telah berkeluarga pun berdekatan dengan tempat Mak Nyah tinggal di kampung di kolong jembatan itu.

Kampungnya berada di Tambak Asri, Kelurahan Dupak, Kecamatan Krembangan. Diberi nama Kampung 1001 malam, terdiri dari kamar-kamar sekat berukuran kurang lebih 2 x 3 meter. Dinamakan 1001 malam karena masuk Jembatan Tol yang gelap, kemudian keluar jembatan terang. Kampung ini berada disebelah sungai. Kini kampung 1001 malam ini dihuni oleh 200 Kelapa Keluarga (KK) dengan jumlah warga hamper 3000 jiwa. Warga tetap memperoleh aliran listrik dan membayar secara resmi, Mereka kini dinaungi Rukun Tetangga (RT) sendiri. Yakni, RT 20.

Selama tiga puluh tahun tinggal di Kampung 1001 Malam, banyak hal yang telah terjadi. Mak Nyah membersihkan semua rumput dan ilalang yang tumbuh liar di kolong Jembatan. Ia pun mendapatkan bantuan dari gereja Kendang sari. “Triplek besar dan kuat, cat kapur, dan semen-semen diberikan secara gratis, oleh gereja” kisah Mak Nyah.

Karena sempitnya atap untuk berjalan di bawah jembatan, warga yang lewat harus menundukkan kepalanya agar tidak terluka.
Karena sempitnya atap untuk berjalan di bawah jembatan, warga yang lewat harus menundukkan kepalanya agar tidak terluka.

Bagi Mak Nyah, hidup di Kampung 1001 Malam yang ada di kolong jambatan ini, penuh perjuangan. Berjuang melawan kemiskinan, menghadapi kebisingan, dan berbagai kejadian yang bisa membuat setiap warga menjadi korban ketidak adilan. Selama lima tahun tinggal di bawah jembatan tersebut, tahun 1989 hingga 1991 ada banyak bajing loncat yang membuat warga bawah jembatan itu resah. Karena para bajing loncat yang biasanya mencuri atau mencopet pasti menyembunyikan barang curiannya di bawah jembatan dan menyebabkan warga menjadi korban, dituduh mencuri. Tapi dengan ketegasan Mak Nyah, ia memberanikan diri menegur para bajing loncat yang berada di atas jembatan, dan meminta mereka pergi. Setelah itu situasi kembali tenang dan aman.

SHARE
Previous articleAgenda G20 Abaikan Perempuan
Next articleMenyoal Keterwakilan Perempuan
Perjuangan menuju kesetaraan gender bukan hal yang tidak mungkin.

NO COMMENTS