Pengesahan RUU Penyandang Disabilitas

0
3059

Akhirnya,  pada  17 Maret 2016 lalu DPR RI dan pemerintah bersepakat untuk mengesahkan naskah RUU Penyandang Disabilitas menjadi undang-undang. Pengesahan ini menutup perjalanan panjang RUU Penyandang Disabilitas sejak tahun 2011, dan akan menggantikan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat (UU No. 4 /1997).

 

Sebagai organisasi yang memiliki anggota yang tergabung dalam Kelompok Kepentingan Perempuan Penyandang Disabilitas, Koalisi Perempuan Indonesia, memberikan apresiasi pada semua pihak yang telah mewujudkan pengesahan RUU Penyandang Disabilitas. Secara substansial, rancangan undang-undang ini merupakan tonggak perubahan dalam memenuhi, melindungi dan memajukan hak asasi perempuan penyandang disabilitas.

 

Tonggak pertama adalah pendekatan substansi UU Penyandang Disabilitas baru, berbasis pemenuhan hak asasi penyandang disabilitas. Sangat berbeda dengan UU No. 4 tahun 1997 yang menggunakan pendekatan charity. Hal ini menunjukkan pemerintah telah mengubah cara pandangnya dan melihat penyandang disabilitas sebagai subyek dari pembangunan serta kehidupan sosial, budaya, politik dan ekonomi. Perubahan ini sejalan dengan Convention on the Rights of People with Disability (Konvensi hak-hak penyandang disabilitas) yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui undang-undang No. 19 tahun 2011.

 

Kedua, UU Penyandang Disabilitas baru, mengakui bahwa perempuan dan anak perempuan pada umumnya mengalami kerentanan yang lebih tinggi ketimbang penyandang disabilitas laki-laki dan dewasa. Perempuan penyandang disabilitas dan anak dengan disabilitas, mengalami diskriminasi berlapis. Pengakuan ini tertuang dalam pasal tentang hak-hak penyandang disabilitas, dimana perempuan dan anak mendapatkan perlindungan khusus atas kesehatan reproduksi. Perempuan penyandang disabilitas berhak menerima atau menolak penggunaan alat kontrasepsi, serta perlindungan lebih dari perlakuan diskriminasi berlapis, serta tindak kekerasan, termasuk kekerasan dan eksploitasi seksual. Dengan pasal ini, pemerintah dapat melindungi perempuan penyandang disabilitas dari praktek-praktek sterilisasi dan penggunaan kontrasepsi paksa. Lebih jauh lagi, pemerintah Indonesia dapat memenuhi hak perempuan penyandang disabilitas untuk memiliki keturunan (Pasal 5, 11, 12 dan 16 CEDAW).

 

Ketiga, UU Penyandang Disabilitas baru, mengatur khusus perlindungan bagi anak dan perempuan. Didalamnya tertuang tindakan-tindakan perlindungan khusus yang perlu dilakukan oleh pemerintah ketika perempuan dan anak penyandang disabilitas menjadi korban kekerasan, termasuk penyediaan rumah aman dan upaya reintegrasi perempuan dan anak penyandang disabilitas yang harus terpisah dari keluarganya karena situasi kekerasan yang dialaminya.

 

Keempat, UU Penyandang Disabilitas baru, menjamin hak politik penyandang disabilitas untuk dipilih, memilih, serta menduduki jabatan publik. Bagi perempuan, jaminan atas hak politik ini harus melekat dengan hak atas perlindungan lebih dari diskriminasi berlapis, baik sebagai penyandang disabilitas maupun perempuan. Dengan demikian, negara telah mengambil upaya yang layak untuk mengembangkan dan memajukan perempuan sepenuhnya di bidang politik, serta penghapusan diskriminasi dengan dasar persamaan perempuan dan laki-laki (Pasal 3 dan 7 CEDAW).

 

Di sisi lain, UU Penyandang Disabilitas baru, menyisakan banyak pekerjaan rumah bagi pemerintah dalam pelaksanaannya. Koalisi Perempuan Indonesia mencatat setidaknya UU Penyandang Disabilitas baru ini, memerintahkan penyusunan 14 Peraturan Pemerintah (PP), 2 Peraturan Presiden (Perpres), dan 1 Peraturan Menteri (Permensos). Peraturan lebih lanjut diperlukan, antara lain, untuk penyediaan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas dalam proses peradilan, pendidikan maupun rumah aman; Pemberian insentif dan penghargaan kepada perusahaan swasta, badan hukum, pemerintah, maupun individu yang memenuhi hak-hak penyandang disabilitas; Rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial bagi penyandang disabilitas; Pemukiman; pelayanan publik; kebencanaan; habilitasi dan rehabilitasi; pemberian konsensi; kartu penyandang disabilitas.

 

Banyaknya peraturan turunan tersebut memerlukan pengawalan serius dari masyarakat sipil, terutama untuk memastikan substansinya menggunakan pendekatan berbasis hak, sejalan dengan UU Penyandang Disabilitas baru. Koalisi Perempuan Indonesia berharap, pemerintah melaksanakan prinsip keterbukaan dan partisipasi dalam penyusunan peraturan pelaksan UU Penyandang Disabilitas.

 

Pengawalan selanjutnya adalah dalam pembentukan Komisi Nasional Disabilitas (KND). Masyarakat sipil perlu memastikan bahwa pemerintah menggunakan azas tanpa diskriminasi dan partisipasi penuh bagi penyandang disabilitas, dan azas perlakuan khusus bagi penyandang disabilitas perempuan dalam proses pembentukan maupun pemilihan anggota Komisi tersebut.

 

Melalui pernyataan ini, Koalisi Perempuan Indonesia menyampaikan penghargaan setinggi-tingginya pada DPR RI, pemerintah, dan masyarakat sipil yang telah mengupayakan pengesahan RUU Penyandang Disabilitas yang telah menjadi tonggak perubahan yang menjamin penikmatan Hak-hak Penyandang Disabilitas secara penuh.

 

Koalisi Perempuan Indonesia menyatakan kesungguhannya untuk memenuhi, melindungi dan memajukan hak asasi perempuan penyandang disabilitas. Koalisi Perempuan Indonesia mengajak segenap bangsa Indonesia, khususnya perempuan, untuk sama-sama mengawal pembentukkan peraturan turunan dan Komisi Nasional Penyandang Disabilitas. Sehingga pada akhirnya akan terwujud kesetaraan dan keadilan gender menuju masyarakat yang demokratis, sejahtera dan beradab.

 

Jakarta, 25 Maret 2016

 

 

 

      Dian Kartika

Sekretaris Jenderal

Maulani Rotinsulu

Presidium Nasional Kelompok Kepentingan Perempuan Penyandang Disabilitas

 

NO COMMENTS