Catatan Ketimpangan Terhadap Perempuan di Indonesia Hari Perempuan Internasional 2016

0
4647

Jakarta- Peringatan Hari Perempuan Internasional, 8 Maret 2016 mesti menjadi cambuk bagi parlemen dan pemerintah di Indonesia. Masalah ketimpangan Indonesia telah menjadi isu krusial karena terjadi dan mengungkung semua aspek kehidupan masyarakat di Indonesia.

Berdasar data Bank Dunia 2015, ketimpangan makin meninggalkan sekitar 205.000.000 jiwa dan hanya memberi keuntungan pada orang-orang terkaya di Indonesia yang prosentasinya tak lebih dari 10 % jumlah penduduk Indonesia. Kegagalan-kegagalan pembangunan masih lekat dalam ingatan kita terutama kerentanan yang dialami oleh masyarakat miskin terutama perempuan dan anak. Angka Kematian Ibu melahirkan (AKI) masih tinggi (pada akhir MDGs masih 359/100,000), partisipasi politik perempuan tidak pernah mencapai kuota 30%, ketimpangan pendidikan, pelanggaran hak-hak Pekerja Rumah Tangga (PRT) didalam dan luar negeri, perdagangan perempuan, dan kejahatan seksual terhadap perempuan dan anak terus terjadi. Disamping itu, budaya-budaya yang makin mengungkung perempuan terus terjadi, misalnya hampir 50% perkawinan di Indonesia adalah perkawinan anak, praktek sunat perempuan  paling besar jumlahnya diluar negara-negara Afrika (catatan UNICEF UNFPA).

Perlindungan hukum dan arah pembangunan merupakan salah satu penyebab utama dalam kegagalan dalam memenuhi hak-hak rakyat terutama perempuan untuk mendapatkan hak sipil, politik , sosial, ekonomi dan budaya. Pemerintah dan parlemen telah abai terhadap upaya perlindungan perempuan. Hal ini dapat dicermati tarik ulur terkait pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang menjadi tanggung jawab pemerintah dan parlemen dalam mewujudkan kesejahteran sosial dan demokrasi masih sebatas janji belaka. Hal ini terjadi antara lain pada  pembahasan RUU Penyandang Disabilitas, RUU Perlindungan Nelayan, RUU PRT, RUU Kekerasan seksual, RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender dan RUU PPILN. Beberapa legislasi terkait perempuan yang urgent seperti Amandemen UU Perkawinan juga masih belum menjadi agenda prioritas. Kondisi inilah yang menyebabkan ketimpangan yang berujung pada kekerasan dan diskriminasi yang terjadi pada para perempuan di Indonesia.

Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi, namun dalam realitas, diskriminasi terus terjadi. Ketimpangan yang menjadi agenda pembangunan 2030 melalui Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) pada intinya mengarah pada penghentian ketimpangan.  Beberapa catatan ketimpangan yang kami temukan di berbagai wilayah Indonesia antara lain:

Pelayanan publik terutama di wilayah-wilayah terpencil. Buruknya akses kehidupan mereka, banyaknya kekerasan seksual dan kekerasan psikis dan fisik yang dialami perempuan Papua dan wilayah-wilayah serupa lainnya. Cedaw Working Group Indonesia (CWGI) mencatat bahwa pemerintah juga belum memberikan rasa aman bagi para perempuan Papua. Minimnya kepemilikan kartu identitas seperti KTP, akta kelahiran, akta perkawinan dan lain-lain merupakan sumber penghambat bagi perempuan, anak dan kelompok-kelompok marginal dalam mendapatkan pelayanan publik.

Produk-produk hukum yang diskriminatif dan kekerasan terhadap kelompok marginal. Data Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) memperlihatkan belum ada upaya pemerintah dalam menyelesaikan persoalan diskriminasi terhadap kelompok agama dan berkeyakinan di Indonesia. Melalui sejumlah peristiwa pelarangan beribadah dan tidak diakuinya penganut dan kepercayaan tertentu, adanya Peraturan-Peraturan Daerah (Perda) diskriminatif memperlihatkan bahwa pemerintah melakukan pembiaran dalam sejumlah kasus ini. Data Komnas Perempuan menunjukkan bahwa per Oktober 2015, Perda diskriminatif yang dicatat sejumlah 389 perda di berbagai wilayah. Ini merupakan sebuah bentuk dari ketimpangan gender dalam kebijakan di Indonesia. “Permohonan Judicial Review yang diajukan oleh beberapa kelompok masyarakat sipil pada tahun 2015 kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menaikkan batas usia perkawinan menjadi 18 tahun bagi anak perempuan juga ditolak dalam keputusan MK. Dan tahun 2016 ini terjadi masalah krusial yang baru, pelarangan dan diskriminasi terhadap Lesbian, Gay, Biseksual dan Transegender (LGBT) merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan pemerintah tidak turun tangan. Akhir-akhir ini kebebasan berekspresi juga kembali mengemuka, misalnya pelarangan diskusi soal LGBT di beberapa kampus dan yang terakhir pelarangan BelokKiri Festival.

Kejahatan seksual terhadap perempuan dan anak. Data menunjukkan bahwa pada tahun 2014 terdapat 293.220 kasus kekerasan terhadap perempuan atau mengalami peningkatan 10%, adanya praktek impunitas terhadap pejabat/tokoh publik yang diduga menjadi pelaku kejahatan seksual serta ketidakmampuan negara dalam menyediakan layanan pemulihan untuk perempuan. Hal lain yaitu ketika negara melakukan pembiaran pada anak-anak yang menikah di bawah umur, padahal ini membawa anak pada persoalan kesehatan reproduksi yang sangat rentan.

Masalah disabilitas. Ketimpangan lain menimpa para perempuan penyandang disabiltas. Hingga kini data Komnas Perempuan menyebutkan bahwa kurang lebih 40 kasus kekerasan menimpa para perempuan penyandang disabilitas di Indonesia dan 6 perempuan sebagai korban kasus kekerasan seksual yang didampingi LBH APIK. Dari jumlah ini, hanya 1 kasus yang berlanjut ke pengadilan. Fakta ini hanya fenomena gunung es, data sesungguhnya pasti lebih banyak.

Buruh Perempuan. Kekerasan, kejahatan seksual dan pengabaian hak-hak normatif buruh perempuan belum terbendung. Bagi PRT migran di luar negeri, situasi kerja yang tidak layak menyerupai praktek perbudakan masih terus berlangsung, kekerasan fisik dan seksual terus meningkt, kasus trafiking dan hukuman mati bagi buruh migran, pelecehan dan kekerasan yang terjadi pada buruh perempuan pabrik, belum jelasnya status perempuan guru menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), perlindungan bagi Pekerja Rumah Tangga (PRT) dan rentannya posisi perempuan nelayan. Pada kelompok nelayan perempuan, berbagai persoalan juga masih melingkupi kehidupan mereka.

Perempuan Nelayan. Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) mencatat bahwa perempuan mengalami beban berlipat, bekerja mengurus rumah tangga dan mencari nafkah dengan menjual ikan. Namun saayangnya keberadaan perempuan nelayan sering tidak mendapat penghargaan, ataupun pengakuan terhadap profesi mereka. Kondisi yang rentan juga menimpa anak-anak perempuan nelayan. Menurut Dirjen Perikanan Tangkap 2014 terdapat 2,58 juta nelayan berada di garis kemiskinan yang tersebar di 809 kecamatan, 12.179 desa pesisir dengan indeks kemiskinan nelayan lebih tinggi dibanding rata-rata nasional sehingga rentan jatuh miskin.

Pendidikan. Dalam bidang pendidikan, KAPAL Perempuan mencatat Indonesia memang telah mencapai target jika dinilai dari tingginya angka partisipasi sekolah dasar.  Namun dalam perspektif perempuan dicatat 2 masalah serius dalam bidang . Pertama, pendidikan formal masih menunjukkan mvasalah ketimpangan gender, anak-anak perempuan pedesaan dua kali lipat melampaui anak laki-laki yang tidak sekolah.  Persoalan kedua, yaitu pendidikan nonformal-informal yang diselenggarakan di luar sekolah tidak sejalan dengan upaya pembangunan manusia karena Pemerintah hanya berorientasi pada program kecakapan hidup dan tidak dibarengi dengan pendidikan komunitas yang menumbuhkan kesadaran kritis dan memberdayakan perempuan.

Sejumlah ketimpangan ini telah menyebabkan ketimpangan sosial, melemahnya mobilisasi sosial yang berakibat pada kekerasan dan diskriminasi perempuan Indonesia. Maka kami yang tergabung dalam Gerakan Perempuan Melawan Ketimpangan menuntut:

  1. Menuntut pemerintah dan parlemen menghentikan segala bentuk ketimpangan yang berujung pada kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan di Indonesia.
  2. Mendesak pemerintah dan parlemen untuk mendukung pencapaian agenda-agenda pembangunan berkelanjutan (SDGs) untuk mengakhiri ketimpangan dan tidak meninggalkan satupun rakyat Indonesia.
  3. Menuntut pemerintah dan parlemen memberikan akses seluas-luasnya bagi perempuan dan mengakhiri ketimpangan di berbagai bidang.
  4. Mendesak pemerintah dan parlemen menjamin kebebasan berekspresi, berpendapat, jaminan keamanan terhadap agama, keyakinan berbeda, kelompok dengan orientasi dan seks tertentu dan jaminan pada seluruh perempuan Indonesia.

Gerakan Perempuan Melawan Ketimpangan (Organisasi dan Individu)

Organisai:
1. Koalisi Perempuan Indonesia
2. Institut KAPAL Perempuan (Jakarta)
3. Gerakan Peduli Perempuan (Jember)
4. KPS2K ( Jawa Timur)
5. YKPM (Makkasar)
6. LPSDM (Lombok Timur)
7. Pambangkik Batang Tarandam (Padang)
8. Yayasan Alfa Omega (Kupang)
9. AMAN Indonesia (Jakarta)
10. Arus Pelangi (Jakarta)
11. ICRP (Jakarta)
12. Migrant CARE (Jakarta)
13. JALA PRT (Jakarta)
14. KAP (Jakart a)
15. Asosiasi LBH APIK Indonesia
16. Yayasan BaKTI (Makassar)
17. KPI Wil Sulsel (Makassar).
18. FPMP Sulsel.
19. LBH APIK Makassar.
20. DPW Aisyiyah Sulsel
21. Suara Perempuan Desa (SPD) Batu, Jawa Timur.
22. Arika Mahina Ambon.
23. Gasira Ambon.
24. Lappan Ambon.
25. Walang Perempuan Ambon
26. GADIS (Girls Against Discrimination)
27. LBH APIK Jakarta
28. CWGI Jakarta
29. KPI DKI Jakarta
30. Kalyanamitra Jakarta
31. Konde Institut
32. Solidaritas Perempuan
33. INFID
34. Sanubari Sulut (Salut)
35. PKBI
36. LBH APIK SEMARANG
37. Serikat Pekerja Rumah Tangga Merdeka, Semarang
38. Sekolah Perempuan Ciluwung
39. Sekolah Perempuan Jatinegara Kaum
40. Sekolah Perempuan Bidara Cina
41. Puspita Bahari Demak
42. Presidium Sekolah Perempuan untuk Perdamaian Sulawesi Tengah
43. Presidium Sekolah Perempuan.untuk Perdamaian Jawa Barat
44. Presidium Sekolah Perempuan untuk Perdamaian Jakarta
45. GPSP (Gerakan Pemberdayaan Suara Perempuan) Jakarta
46. Yayasan Pelita Kasih Abadi (PeKa) Manado
47. Yayasan pulih jakarta
48. Aliansi Sumut Bersatu
49. Cahaya Erempuan WCC
50. Perkumpulan Panca Karsa Mataram
51. Yayasan Kesehatsn untuk Semua NTT
52. INDIPT, Kebumen
53. Tanoker, Jember
54. SARI, Solo
55. Violence Against Women (VAW) Indonesia
56. Cerita di Balik Lensa
57. Sekolah Gender Bengkulu
58. Yayasan Kesehatan Perempuan Jakarta
59. Pergerakan Indonesia (PI)
60. PUSAD Paramadina (Jakarta)
61. Magenta LRA (Legal Research and Advocacy)-Jakarta
62. Jaringan Buruh Migran (Jakarta)
63. YPPI Jakarta
64. LRC KJHAM
65. KePPaK Perempuan
66. Perkumpulan Pendidikan Pendampingan Untuk Perempuan dan Masyarskat (PP3M) – DKI Jakarta
67. Bali Sruti, Bali
68. Yayasan perempuan “BesKaR Bone
69. LPP Bone, Sulawesi Selatan
70. Obor Perempuan, Mamuju, Sulawesi Barat
71. WRI (Women Research Institute) Jakarta
72. Alimat (Jakarta)
73. Lembaga Partispasi Perempuan (LP2) Jakarta
74. Pusat Kajian Wanita dan Gender UI (PKWG UI),
75. Prodi Kajian Gender UI (PSKG UI),
76. Pusat Riset Gender UI (PRG UI).
77. LBH Jakarta
78. Suara Kita
79. JPIC Gembala Baik Jakarta
80. Forum Pengada Layanan
81. SAPA INDONESIA
82. Association for Community Empowerment
83. Sikola Mombine Sulteng
84. Institut Mosintuwu Poso
85.. Aliansi untuk Perempuan dan Politik (ANSIPOL)
86. Yayasan Pupa Bengkulu
87. Jaringan Kerja Prolegnas Pro Perempuan (JKP3)
88. Bali Sruti, Bali
89. Asppuk, Jakarta
90. Program Studi Kajian Gender UI
91. Koalisi Peduli Perempuan-Korban Kekerasan Seksual (KP2K2S), Bengkulu
92. Yayasan Pulih, Jakarta
93. IPPAI
94. Rahima
95. Rumpun Gema Perempuan.
96. Perkumpulan RUMPUN.
97. HWDI
98. Institut Perempuan, Bandung
99. SCN CREST
100. Aliansi Pelangi Antar Bangsa
Individu:
1. Ela Hasanah (Jakarta)
2. Ratna Saptari
3. Ika Wahyu Priaryani (Bekasi)
4. Veryanto Sitohang (Medan)
5. Nur Imrotus (Jogja)
6. Siti Masriyah Ambara (Jakarta)
7. Irmia Fitriyah (Surabaya)
8. Frisca Anindhita (Palu)
9. Dede Utomo (Surabaya)
10. Saidiman Ahmad (Depok)
11. Maeda Yoppy (Jakarta)
12. Husni Mubarok (Pamulang)
13. Yania Hariza (Tegal)
14. Prof. Mayling Oey
15. George Sicillia (Jakarta)
16. Dewi Nova Wahyuni (Pamulang)
17. Siti Nurjanah (Pamulang)
18. Yuda Irlang
19. Kencana Indrishwari (Jakarta)
20. Pinky Saptandari (Surabaya)
21. Heni Supolo (Jakarta
22. Nur Khosi’ah Gresik
23. Lia Sciortino
24. Alita Karen (Makassar)
25. Lian Gogali
26. Maria Hartiningsih
27. Dwi Ariyani, Karanganyar Jateng
28. Ditta Wisnu, Depok
29. Ermelina Singereta, Jakarta
30. Samsidar, Banda Aceh
31. Arum Rumiyati
32. Sylvana Apituley, Jakarta
33. Ninik Rahayu
34. Sandrayati Moniaga
35. Sita Van Bemmelen
36. Titiek Kartika, Bengkulu
37. Mia Siscawati
38. Vitria Lazzarini
39. Sri Gustini, Aceh
40. Martha Hebi, Sumba
41. Sulistiyani
42. Eva Khovivah, Aceh
43. Prof. Sulistyawati Irianto
44. Tabrani, Aceh
45. Desy, Padang

NO COMMENTS