Refleksi 2010 & Catatan Awal Tahun 2011 Koalisi Perempempuan Indonesia Menjaga Harapan Mewujudkan Keadilan Diantara Deraan Bencana

0
1122

Sepanjang Tahun 2010 silih berganti peristiwa bencana terjadi,  dalam bentuk bencana alam ataupun bencana buatan manusia. Catatan demi catatan atas peristiwa-peristiwa ini, menunjukkan kenyataan bahwa Keadilan, merupakan persoalan yang paling mengemuka, selama kurun waktu satu tahun ini. Keadilan yang seharusnya menjadi hak bagi setiap manusia, menjadi barang langka dan mewah untuk dinikmati.

Refleksi Tahun 2010

Pemiskinan dan Bencana berwajah Perempuan

Sepanjang tahun 2010 proses pemiskinan terjadi secara meluas di berbagai wilayah di Indonesia. Akar Pemiskinan terutama disebabkan oleh Kebijakan perdagangan yang sangat liberal di Indonesia, mengakibatkan berbagai harga pangan pokok seperti beras, minyak, kedelai, tepung, gula, sayuran dan bahan bakar minyak terus meningkat,  jauh di atas daya beli masyarakat. Perempuan Indonesia, yang secara tradisional tetap berperan  sebagai penyedia dan pengolah pangan keluarga mengalami tekanan dan ketidak berdayaan untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga.

 

Beban kerja perempuan semakin bertambah, seiring dengan tekanan yang mengharuskan perempuan mencari alternaif bahan pangan pokok dan sarana pengolah pangan. Daya tahan dan derajat kesehatan perempuan dan anak-anak yang masih dalam tanggungannya semakin menurun drastis, akibat tekanan keadaan ini. Kebijakan liberalisasi perdagangan mengakibatkan jumlah penderita sakit dan kematian karena kekurangan pangan dan gizi terus meningkat. Kesengsaraan perempuan semakin bertambah seiring dengan berbagai peristiwa ledakan tabung gas –terutama yang berukuraan 3 kg -yang digunakan oleh kalangan masyarakat berpendapatan rendah.  Kebijakan Konversi Minyak Tanah ke LPG (baca: elpiji) dilakukan pemerintah sejak tahun 2007, adalah Proyek utang dari Bank Dunia : Domestic Gas Market Development Project (Loan No 4810-IND) untuk menghapuskan subsidi bahan bakar minyak (BBM) ini. Proyek ini mengakibatkan terjadinya pengalihan penggunaan kompor dan minyak tanah menjadi kompor dan gas yang sejatinya  merupakan perampasan penguasaan dan kontrol perempuan terhadap alat produksi untuk memasak di dapur. Sebelumnya, perempuan memiliki kemampuan untuk memastikan keamanan kompor minyak tanah sebagai  alat produksinya. Namun alih penggunaan alat produksi ke kompor dan tabung gas, yang mudah terbakar, tidak disertai dengan pemampuan perempuan untuk mengontrol dan memastikan keamanan tabung gas tersebut.

 

Kasus-kasus ledakan tabung Gas[1]ibarat BOM di Dapur Rakyat Miskin, terjadi meluas di semua wilayah keluarga miskin di Indonesia.  Data Bareskrim Polri menyebutkan, sejak Januari–Juli 2010[2], telah terjadi 55 kasus ledakan gas di seluruh Indonesia. Monitoring Kasus ledakan Gas yang dilakukan oleh Koalisi Perempuan Indonesia sepanjang tahun 2010 ini, menunjukkan sedikitnya 20 orang meninggal, lebih dari 100 orang terdiri dari perempuan, laki-laki  di usia anak-anak hingga lanjut usia luka-luka dan cacat tetap, dan ribuan orang mendadak kehilangan tempat tinggal akibat ledakan tabung Gas. Berbagai protes sudah dilakukan- hingga hadirnya Susi Haryani (29) beserta anaknya Ridho Januar (4,5) yang luka bakar ke Istana Presiden. Namun penanganan dan ganti rugi terhadap korban dilakukaan secara diskriminatif dan tidak memulihkan kehidupan mereka. Ironisnya, pada saat yang sama, pemerintah dan Pertamina meraup keuntungan dari penghapusan subsidi BBM dan mengekspor 14 juta kilo liter (KL) minyak tanah ke luar negeri.

 

Kebijakan libaralisasi perdagangan pangan dan konversi minyak tanah ke Gas ini, sejatinya  merupakan pengabaian tehadap Hak Atas Pangan. Padahal pemerintah telah meratifikasi Konvensi internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya melalui Undang-undang No 11 Tahun 2005, yang didalamnya menuntut tanggung jawab negara untuk memenuhi hak atas pangan yang layak.

Peningkatan harga pangan ini kemungkinan masih akan berlanjut di tahun 2011. Jika pemerintah tidak segera mengambil inisiatif untuk mengubah sistem perdagangan pangan pokok menjadi lebih terkendali, masyarakat akan semakin jatuh dalam kemiskinan.

 

Koalisi Perempuan Indonesia meminta pemerintah untuk segera mengambil langkah-langkah strategis yang diperlukan guna mengatasi lonjakan harga pangan yang semakin tidak terkendali ini.  Pemerintah dan pertamina juga berkewajiban untuk memastikan setiap keluarga memiliki kemampuan mengontrol dan menjamin keamanan kompor dan tabung  gas. Ganti rugi dan pemulihan keadaan bagi korban langsung dan tidak langsung akibat ledakan kompor gas diberikan tanpa diskriminasi.

Pemiskinan dan bencana juga terbaca di wajah pekerja rumah tangga ( Domestic worker) yang ada di dalam dan di luar negeri. Pekerja Rumah Tangga (PRT), baik di dalam maupun di luar negeri telah memberikan kontribusi besar dalam ekonomi negara dan ekonomi rumah tangga. Tanpa keberadaan PRT, jutaan keluarga di Indonesia akan terganggu kelancaran aktifitas ekonominya. Demikian juga dengan jutaan keluarga di berbagai negara yang menjadi tujuan pekerja migran- khususnya PRT asal Indonesia. Lebih dari itu,negara memperoleh keuntungan dalam bentuk devisa dan remitan atas penempatan PRT di luar negeri. Namun sumbangan besar PRT ini tidak memperoleh pengakuan yang layak dari negara. Hal ini terlihat dari tidak adanya perlindungan hukum secara layak dari negara. Kasus-kasus penganiayaan, eksploitasi dan penelantaran terhadap PRT didalam maupun di luar negeri terus terjadi. Sudah banyak korban  jatuh, dari luka hingga meninggal, namun perlindungan  hukum belum juga diberikan. Alih-alih memberikan perlindungan, presiden mengumumkan akan memberikan HP bagi PRT migran. Padahal dapat dipastikan bahwa HP bukanlah solusi yang tepat.

 

Seharusnya pemerintah dan DPR segera membahas dan mengesahkan RUU PRT, merevisi UU tentang Penempatan Tenaga Kerja Ke Luar Neger (PTKLN) dan meratifikasi konvensi Internasional Perlindungn Buruh Migran dan Keluarganya serta membuat perjanjian antara negara dengan negara (G to G) untuk perlindungan buruh migran.

 

Kekerasan berbasis Fundamentalisme dan intoleran

 

Bencana serius yang melanda selama satu tahun ini adalah semakin menguatnya Fundamentalisme dan hilangnya toleransi dalam kebabasan menjalankan ibadah dan kepercayaan. Padahal hak atas kebebasan melaksanakaan ibadah dan kepercayaan setiap orang di negeri ini dilindungi oleh UUD 1945. Kasus penyerangan dan larangan beribadah terhadap jemaat dan pimpinan HKBP, Penyerangan, pengusiran dan penyegelan tempat ibadah Ahmadiyah adalah pelanggaran konstitusi dan merupakan tindak pidana. Namun pemerintah pusat dan daerah, serta aparat keamanan melakukan pembiaran atas pelanggaran tersebut. Bahkan beberapa Pemerintah Daerah, secara nyata menunjukkan keberpihakannya kepada kaum penyerang dan perusuh.

 

Sehubungan hal ini Koalisi Perempuan telah menyampaikan penyataan sikap dan meminta dihentikannya berbagai tindakan kekerasan berbasis pada diskriminasi dan fundamentalisme agama tersebut.

Fundamentalisme agama juga secara langsung menyerang dan mengekang perempuan. Beberapa daerah masih tetap memberlakukan Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur cara perempuan berpakaian. Padahal persoalan pakaian bukanlah persoalan publik yang dapat diatur melalui aturan publik. Sayangnya, Kementrian Dalam Negeri yang selama ini memiliki kewenangan untuk membatalkan Peraturan Daerah tidak membatalkan Perda tersebut.  Pembatalan hanya dilakukan terhadap Perda yang menimbulkan ekonomi biaya tinggi atau merintangi investasi.

 

Selain itu, atas nama pelaksanaan Syariat Islam, seorang pimpinan DPRD di Bireun-Aceh mendesak diturunkannya Dra Anisah, perempuan yang menjabat sebagai Camat di Pelimbang, Bireun-Aceh. Disaat yang hampir bersamaan, anggota DPRD Jambi mewacanakan test keperawanan bagi siswa yang akan masuk ke jenjang pendidikan.  Kedua tindakan DPRD tersebut menunjukkan sikap kontra produkttif terhadap upaya memperjuangkan keadilan dan kesetaraan gender  serta pemenuhan Hak Asasi Manusia.

Koalisi Perempuan Indonesia menilai bahwa anggota DPRD hasil rekruitment Pemilu 2009 masih belum memahami tugas, kewajiban dan kewenangannya,-terutama dalam hal membuat kebijakan publik. Koalisi Perempuan Indonesia berharap agar pemerintah dan partai politik, baik secara bersama-sama atau sendiri-sendiri melakukan serangkaian upaya peningkatan kapasitas bagi anggota DPRD. Karena rendahnya kualitas anggota DPRD akan mengakibatkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap proses politik yang sedang dibangun untuk mewujudkan demokratisi.

Kekerasan dan Pelanggaran HAM

Berbagai bentuk kekerasan dan ancaman kekerasan, yang dilakukan negara, maupun oleh anggota masyarakat semakin meningkat. Kekerasan yang dilakukan oleh negara antara lain adalah : berbagai penggusuran di berbagai wilayah, dengan berbagai bentuk alasan seperti penempatan ruang terlarang, menghapuskan  permukiman kumuh dan penggusuran dengan alasan proyek pembangunan untuk kepentingan umum atau untuk melindungi investor.

Di setiap penggusuran, perempuan dan anak-anak menjadi korban yang paling menderita. Penggusuran merupakan salah satu bentuk pelanggaran terhadap Hak Atas Perumahan dan Permukiman yang layak yang dilindungi oleh Konstitusi, UU No 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Konvensi Internasional Hak Ekonomi Sosial dan Budaya yang telah diratifikasi oleh Indonesia.

Kekerasan juga dilakukan oleh kelompok warga,  seperti penyerangan berkedok agama terhadap kelompok masyarakat lain : a.l penyerangan pada Seminar ILGA di Surabaya- Jawa Timur , penyerangan terhadap pertemuan kelompok seksual minoritas dalam rangka pencegahan HIV/AIDS di Yogyakarta, penyerangan dan pelarangan seminar HIV/AIDS  di Papua dan berbagai bentuk serangan lainnya.

 

Meskipun telah ada undang-undang tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UUPKDRT), namun kasus KDRT tetap terjadi. Peran media dalam mensosialisasikan KDRT membuat perempuan menyadari akan haknya untuk tidak mengalami KDRT. Respon aparat Kepolisian terhadap kasus KDRT mulai mengalami perbaikan. Tingginya angka kasus KDRT yang dilaporkan oleh berbagai lembaga, lebih disebabkan oleh kesadaran perempuan dan anak sebagai korban dan peran serta masyarakat untuk menghentikan KDRT.  Pembentukan P2PTKP, dimasukkan UU PKDRT dan UU Perlindungan anak sebagai bagian dari materi pendidikan pra perkawinan oleh beberapa Gereja dan Kantor Urusan Agama (KUA) turut membantu mencegah terjadinya KDRT. Selain masih harus terus-menerus disosialisasikannya UUPKDRT, problem yang masih belum terselesaikan dalam penangaanan KDRT adalah penyediaan rumah aman dan pendampingan bagi korban KDRT.

 

Percepatan  Pencapaian MDG

Komitmen Pemerintah Indonesia dalam mencapai target-target tujuan pembangunan millennium (Millennium Development Goal-MDG) dihadapkan pada kenyataan indikasi kegagalan dalam mencapai beberapa target MDG, pada[3]:  Goal 1,  target 1C, mengurangi Proporsi penduduk dengan asupan kalori di bawah tingkat konsumsi minimum, Goal 5, target 5a menurunkan Angka Kematian Ibu per 100,000 kelahiran hidup dan target 5B meningkatkan angka pemakaian kontrasepsi (CPR) pada perempuan menikah usia 15-49 tahun saat ini, cara modern, dan menurunkan jumlah penduduk yang tidak terlayani kebutuhan Keluarga Berencana, Goal 6 Menurunkan Prevalensi HIV/AIDS (persen) dari total populasi, meningkatkan penggunaan kondom pada hubungan seks berisiko tinggi, meningkatkan proporsi jumlah penduduk usia 15-24 tahun yang memiliki pengetahuan komprehensif tentang HIV/AIDS, meningkatkan Proporsi penduduk terinfeksi HIV lanjut yang memiliki akses pada obat-obatan anti retroviral, meningkatkan Proporsi anak balita yang

 

NO COMMENTS